(Laporan dari Pertemuan Kaum Adat dan Pesantren di Pesantren Kaballangan Sulawesi Selatan)
Tanggal 27 Desember 2003 bertepatan pada hari Sabtu diadakan petemuan antara kalangan adat/lokal dan pesantren yang dilaksanakan oleh Forum Maiki Mappisanre di Pondok Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Peserta yang diundang pada pertemuan tersebut sebanyak dua puluh orang yang terdiri dari sepuluh dari kalangan adat/komunitas lokal dan sepuluh dari kalangan pesantren. Sekalipun cuaca kurang bersahabat, karena hujan yang turun terus-menerus beberapa hari di Sul-sel yang mengakibatkan banjir, namun peserta tetap saja antusias menghadiri acara ini. Bahkan salah satu peserta dari komunitas adat Cikoang Takalar Tuan Sagala Alam Aidid yang mengendarai motor harus balik dan mengambil jalan berputar untuk sampai di tujuan, Kabalangan Pinrang, karena terhalang banjir.
Pada pembukaan acara tersebut yang berlangsung pada pukul 08.00 WITA, ketua Forum Maiki Mappisanre Sudirman memulai sambutannya dengan memperkenalkan Forum yang diketuainya tersebut. Forum Maiki Mappisanre adalah forum yang dibentuk oleh alumni pelatihan Madrasah Emansipatoris (ME) tentang hak-hak kultural. Oleh karena itu yang terlibat di dalamnya semuanya adalah dari alumni pelatihan ME tersebut. Tujuan dibentuknya forum tersebut adalah untuk menyambungkan dialog dan komunikasi antara komunitas lokal/adat dengan kalangan pesantren. Karena selama ini komunikasi dan dialog antar kedua kalangan tersebut kurang terjalin, bahkan dapat dikatakan tidak ada sehingga antara yang satu dengan yang lainnya saling mendominasi bahkan ada kalanya dilakukan penyingkiran.
Setelah dilakukan pembukaan dan dilanjutkan dengan perkenalan antar peserta dan panitia oleh fasilitator, maka diskusi pun dilanjutkan dengan memberikan kesempatan pada para peserta untuk mengungkapkan harapan-harapannya dalam pertemuan tersebut. Kemudian satu-persatu mengungkapkan harapannya, baik dari kalangan pesantren maupun dari kalangan komunitas adat/lokal. Pertemuan tersebut cukup unik karena semua peserta turut aktif untuk berbicara meskipun dengan menggunakan bahasa daerah bagi mereka yang kurang mampu untuk berbahasa Indonesia.
Dari harapan-harapan yang mereka ungkapkan baik dari kalangan komunitas adat/lokal maupun dari kalangan pesantren, semuanya berharap agar apa yang dilakukan oleh Forum Maiki Mappisanre harus didukung karena forum semacam ini sulit untuk kita dapatkan, apalagi yang konsen terhadap rekonsiliasi antara kalangan komunitas lokal dan kalangan pesantren.
Tepat pada pukul 10.00 WITA, Samsul Rijal Adh’an selaku fasilitator kemudian melanjutkan forum dengan memberikan kesempatan yang sebanyak-banyaknya kepada peserta untuk memaparkan dan mengungkapkan masalah-masalah yang sering mereka alami dalam komunitasnya masing-masing. Sessi ini dimanfaatkan oleh Puang Wali dari komunitas Haji Bawakaraeng untuk memaparkan dan mengklarifikasi tentang stigma yang selalu dia dapatkan dari orang-orang disekelilingnya.
Meskipun dia harus menggunakan bahasa daerah (Bugis) karena tidak lancar dalam berbahasa Indonesia, beliau mengungkapkan bahwa ketika dia dan teman-temannya naik ke puncak gunung Bawakaraeng, niatnya adalah untuk beribadah kepada Allah karena rasa syukur nikmat yang telah dianugerahkan kepada mereka. Bukan untuk menyembah batu dan tidak ada niat untuk berhaji di puncak gunung Bawakaraeng tersebut, meskipun ada keyakinan bahwa kalau di Mekah adalah tanah kelahiran Nabi Muhammad sedangkan di Bawakaraeng adalah tanah kesayangan Rasulullah. Oleh karena itu lanjut beliau yang menamakan Haji Bawakaraeng dan mengatakan, “kami naik untuk menyembah batu adalah mereka yang tidak tahu-menahu sama sekali tentang apa sebenarnya yang kami lakukan”.
Dari pemaparan Puang Wali tersebut maka dari kalangan pesantren yang selama ini sangat stereotipe terhadap komunitas Haji Bawakaraeng tersebut, sedikit banyak telah mengetahui dan memahami apa sesungguhnya yang selama ini dilakukan oleh komunitas tersebut. Dalam sessi ini yang banyak berbicara tentang problem yang mereka alami adalah dari kalangan komunitas lokal/adat, karena memang realitasnya untuk konteks Sulawesi Selatan, merekalah yang sering mendapatkan diskriminasi.
Tuan Sagala Alam Aidit dari komunitas Maudhu Lompoa Cikoang juga mengungkapkan bagaimana tekanan yang selalu mereka dapatkan terutama pendapat yang mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah bid’ah karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun sampai saat ini tradisi “Maudhu Lompoa” tetap eksis di tengah-tengah kehidupan mereka dan bahkan jama’ahnya sampai ribuan orang.
Juga dari komunitas adat Pappuangan Mandar yang diwakili oleh Daming, mengungkapkan bagaimana diskriminasi yang mereka alami khususnya dari aparat keamanan. Beberapa bulan yang lalu ketika mereka sedang melaksanakan ritual adat, aparat keamanan dari kepolisisan datang memporak-porandakan acara ritual mereka hanya karena alasan tidak memberikan uang keamanan. Padahal lanjut Daming mereka telah mendapatkan surat ijin dari instansi pariwisata dan kebudayaan.
Setelah break untuk memberikan waktu istrahat kepada peserta, maka pada pukul 13.30 forum dibuka kembali dan diskusi dilanjutkan yang dipandu oleh Emil Salim selaku fasilitator. Sessi ini adalah sessi lanjutan yang memberikan kesempatan kepada para peserta lain untuk memberikan tanggapan dari problem-problem yang telah diungkap oleh beberapa orang dari komunitas lokal. Bahkan sessi ini juga diarahkan untuk melihat dan mengkritisi secara jeli tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Kerukunan Umat Beragama dan beberapa peraturan daerah serta campur tangan pemerintah daerah terhadap komunitas lokal.
Ustadz Andi Adrus Lc. dari pon-pes Al-Badar, Bilalang, Pare-Pare ketika memberikan tanggapannya mengatakan bahwa antara adat/budaya dan agama sebenarnya tidak ada masalah jika keduanya saling terkait. Artinya bahwa agama harus akomodatif terhadap adat/budaya begitupun sebaliknya. Banyak kalangan yang sering mencap bid’ah hal-hal yang dilakukan oleh komunitas adat/lokal, padahal itu bukan bid’ah tapi itu adalah salah satu bentuk dari syiar. Misalnya peringatan isra’ dan mi’raj, melaksanakan halal bihalal itu adalah hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, namun itu dimaknai sebagai bagian dari syiar, dan itu sama dengan ketika komunitas Maudhu Lompoa Cikoang melaksanakan perayaan Maulid Nabi Muhammad secara besar-besaran. Dan negara seharusnya jangan terlalu agresif dalam mengintervensi persoalan kebudayaan karena keterlibatan yang berlebihan dari negara dapat mematikan kreatifitas masyarakat lokal/adat.
Bersamaan dengan itu Ustadz Drs. Sudarman dari pon-pes Al-Urwatul Wusqa, Benteng, Sidenrang Rappang memberikan tanggapan dengan lebih praktis, yaitu jika ada pertemuan semacam ini seyogyanya orang-orang yang selalu mendiskriminasi kelompok-kelompok adat/budya dihadirkan, agar bisa dimintai klarifikasinya dan mereka itu bisa menimba pelajaran dari pertemuan-pertemuan semacam ini. Karena selama ini mungkin mereka kurang mendapatkan wacana-wacana yang berkaitan dengan pluralisme.
Ketika forum diskusi hampir berakhir maka seluruh peserta mengambil beberapa kesimpulan sebagai hasil kesepakatan bersama dari pertemuan tersebut, termasuk dari hasil kritikan terhadap RUU KUB yang ditandatangani bersama. Hasil keputusan bersama yang sempat kami catat antara lain: pertama, agama-agama yang dianggap resmi harus akomodatif terhadap kalangan komunitas lokal/adat. Kedua, negara/penguasa jangan berlebihan dalam mengintervensi komunitas lokal/adat karena akan berdampak pada matinya aktifitas dari kalangan komunitas lokal/adat tersebut. Ketiga, memberikan ruang yang selebar-lebarnya kepada komunitas lokal/adat untuk mengekspresikan keyakinannya tanpa ada diskriminasi kepada mereka. Keempat, negara (pemerintah) harus merubah semua aturan termasuk rancangan aturan yang diskriminatif terhadap agama dan kebudayaan tertentu.
Kesepakatan ini ditulis dalam “Pandangan Bersama Masyarakat Adat dan Pesantren Mengenai Intervensi Negara Terhadap Kebebasan beragama dan Kebebasan Mengekspresikan Kebudayaan”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta yang hadir.Desantara-Emil Salim Weweunga (Aktifis Maiki Mappisanre)