Fatwa Buat Inul, Adilkah?

Inul Daratista. Itulah nama magma itu. Ibu seorang anak ini tidak hanya sukses ‘mengebor’ panggung dangdut Indonesia, melainkan juga menggoncangkan Istana Megawati (dan Taufik Keimas tentu saja), dan tak ketingalan (sekaligus yang menarik) jagat ulama! Dengan goyangan maut yang tenar dengan sebutan ‘ngebor’ itu, wanita berusia 24 tahun ini juga sukses membuat sebagian ulama yang tergabung dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI) geger. Setelah ulama Pasuruan (tempat dimana Inul tinggal) ‘mengharamkan’ warga Jatim mementaskan Inul, giliran ulama Yogyakarta membuat ‘perhitungan’ dengan Inul.
Pemerintah Kota Yogyakarta beberapa hari lalu lewat Wakil Walikota HM Syukri Fadholi mengimbau warganya agar tidak mengundang Inul mentas. Bila nekat, Pemkot tidak akan memberikan izin kepada penyelenggara. Sementara itu meski memiliki alasan berbeda Ketua MUI DIY Drs H Thoha Abdurrahman sependapat atas pencekalan terhadap penyanyi yang bernama asli Ainul Rokhimah itu. Menurut Syukri Fadholi tindakan mencekal Inul harus dilakukan demi menghindari kerusakan moral masyarakat Yogya. Goyangan Inul, kata Syukri, sangat kontraproduktif dengan budaya kraton yang adiluhungserta ikatan agama yang kuat dari masyarakat Yogya. Syukri juga menilai goyangan Inul terlalu sensual dan erotis dan bisa membangkitkan syahwat laki-laki yang melihatnya. “Goyangan Inul melecehkan harkat dan martabat perempuan,” tegas Syukri yang juga dikenal sebagai penceramah agama itu.
Sementara itu Thoha Abdurrahman yang juga Staf pengajar IAIN Sunan Kalijaga ini mengistilahkan goyangan Inul mengarah pada pornoaksi. “Porno itu bukan hanya dalam bentuk pornografi saja, tetapi juga pada pornoaksi,” paparnya. Karena itulah, kata Thoha, kini MUI DIY sedang membicarakan goyang Inul itu. “Bukan tidak mungkin MUI DIY akan mengeluarkan fatwa pada pemerintah untuk melarang Inul tampil di seluruh wilayah DIY,” tegas Thoha. Thoha juga mencontohkan bahwa di daerah Inul sendiri, yakni di Pasuruan, Inul sudah dilarang tampil. “Jadi bukan tidak mungkin kita juga akan melarangnya. Kecuali kalau Inul mengubah penampilan,” kata Thoha.
Apakah sikap pemerintah dan ulama ini cukup adil? Inul dan juga masyarakat layak mempertanyakannya. Mengapa? Tidak sekali dua kali, di republik ini terjadi penjatuhan vonis atas nama nilai-nilai normatif, terhadap orang, kelompok, atau kebudayaan tertentu. Padahal seringkali paramater yang digunakan tidak begitu transparan, dan juga yang memiliki kewenangan untuk memvonis hanya ada di tangan segelintir orang. Entah sudah berapa ratus aliran kepercayaan dan agama diberangus Soeharto. Begitu pula entah sudah berapa ratus buku dinyatakan terlarang oleh Soeharto. Di zaman Harmoko menjadi Menteri Penerangan, entah sudah berapa penyanyi dirugikan. Betharia Sonata, Pantje Pondaag, Obbie Messakh mungkin masih ingat betapa menyakitkannya kebijakan Harmoko saat itu. Kini haruskah Inul menyusul cerita pedih mereka?
Persoalan musik dangdut, termasuk Inul di dalamnya, tentulah persoalan kebudayaan. Dalam artinya yang luas, ia merupakan konstruksi bersama, bukan satu konstruksi segelintir elit (agama ataupun negara) saja. Karenanya semua orang haruslah diberi hak yang sama untuk memberikan penilaian. Apakah rakyat luas juga memiliki pandangan demikian terhadap keberadaan Inul?
Tampaknya tidak. Menurut laporan detik.com, beberapa saat setelah pelarangan terhadap Inul dikeluarkan, pedagang VCD di Yogya justru meraup rezeki yang besar. Masyarakat kota gudeg berebut VCD Inul, sehingga omzetnya melampaui musisi yang sudah ngetop lebih dulu. Menurut laporan tersebut, jika VCD Chrisyse, Sheila On 7, Dewa atau Slank rata-rata terjual di bawah 10 keping perhari, VCD Inul bisa terjual sampai 20 keping perhari. Entah sudah berapa juta kopi VCD Inul dijual pedagang. Padahal VCD yang dijual itu rata-rata VCD bajakan. Karena itu Inul tak memperoleh apa-apa dari hasil penjualan VCD itu.
Bahkan ketika kepada para pedagang itu ditanyakan tentang kebijakan Pemkot dan MUI DIY yang melarang Inul mentas di Kota Yogyakarta, jawaban mereka sangat mengejutkan. “Kalau di kota Yogya dilarang, ya dipindahkan saja pentasnya, di Bantul atau Sleman yang tidak dilarang.” Jika masyarakat sudah bersikap begitu apa yang bisa dilakukan ulama?
Inul sebagai seorang penyanyi dangdut, mungkin bisa saja direpresi, dilarang mentas, dilarang joged dan seterusnya. Tetapi untuk apa? Atas dasar apa? Jika alasannya merusak moral, bukankah sajian yang jauh lebih erotis dari goyangan Inul setiap hari sudah kita saksikan di layar televisi secara gratis? Jika kita jujur bukankah goyang India atau aserje ala Spanyol atau goyang Latin yang aduhai itu juga bisa menimbulkan kerusakan moral? Tetapi mengapa ulama dan penguasa seakan membutakan diri terhadap realitas ini?
Di sinilah kita mungkin harus bercermin, bahwa kasus Inul sebenarnya bukan persoalan agama yang eksklusif milik ulama (apalagi MUI). Persoalan Inul merupakan persoalan kepentingan kita semua, persoalan kebudayaan kita. Para ulama boleh saja membuat fatwa. Tetapi biar adil, para entertainer, para perngusaha hiburan (showbiz), para penikmat musik dangdut, para pedagang VCD, pendek kata semuanya, harus juga diberi hak yang sama untuk mengeluarkan pendapatnya. Mau diapakan Inul. Dan mungkin sekali lagi harus dipertanyakan mengapa hanya Inul yang kita respons? Mengapa tidak pada tayangan-tayangan goyang India, asereje Spanyol, dan goyang Latin yang lain? Dan seterusnya dan seterusnya.
Yang jelas, jika hanya ulama saja, atau pemerintah saja yang boleh berfatwa, sementara rakyat tak boleh menyatakan pendapatnya, apa itu adil Pak Kiai? Desantara

BAGIKAN: