Kami Bertapa dalam Hiruk-pikuk Kehidupan

desantara-default

Desantara.or.id

Masyarakat adat Karuhun (leluhur) Sunda dengan pusat kegiatannya di Cigugur merupakan komunitas adat yang dilandaskan “spiritual value” yang dinamis. Dalam arti kehidupan bermasyarakat tidak terkungkung pada kekolotan masa lampau, namun tetap berpegang pada nilai spiritual dari leluhur.

Upaya melestarikan adat warisan karuhun, dalam era modern sekarang ini memang bukan sesuatu hal yang mudah. Apalagi dengan derasnya arus globalisasi itu. Namun bagi generasi muda warga Karuhun, dengan mempertahankan budaya spiritual leluhur, hal itu merupakan tantangan tersendiri!

Dalam perkembangannya kini budaya sunda makin asing dan tererosi oleh tradisi budaya lain. Kenyataan ini membuat karakter manusia sunda “saat ini” cenderung menjadi peniru budaya asing. Mungkin ini disebabkan karena karakter dasar manusia sunda yang pada umumnya “mudah menyerap sesuatu hal yang baru” (adaptif-luwes) dan selalu berupaya “ingin seperti”. Atau manusia sunda terbentuk manja oleh suasanan geografis yang tidak terlalu menuntutnya untuk harus bekerja keras dan berfikir cerdas? Seperti yang dikatakan rohaniawan katolik dari Bogor: “Bahwa Tuhan menciptakan bumi Parahyangan saat Dia tersenyum, maka keindahanlah yang terpancar, kesuburanlah yang terhampar”. Mojang dan jajaka Sunda yang terkenal cantik dan tampan pun saat ini terkesan bagai “pohon tanpa akar” yang telah kehilangan karakter “Kasundaan” yang “nyunda”, karena tererosi oleh peradaban materialistik dan kebendaan dan tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk melangsungkan peradaban yang berlandaskan hukum adikorati Maha Pencipta.

Dorongan untuk cenderung meniru orang lain disebabkan krisis kepercayaan kepada diri sendiri, bahkan memang mungkin tidak pernah mengenal cara-ciri diri itu siapa? Padahal dalam filsafat Sunda itu sangatlah penting untuk mengenal “asal usul diri” atau Sangkan Paraning Dumadi.

Dalam filsafat sunda, lingkaran hidup tersimpul dalam Sangkan Paraning Dumadi, yang berisi :

  1. Asaling Dumadi (asal mula wujud)
  2. Sangkaning Dumadi (dari mana datangnya hidup)
  3. Purwaning Dumadi (awal kehidupan)
  4. Tataraning Dumadi (derajat martabat wujud manusia)
  5. Paraning Dumadi (bagaimana dan kemana setelah kehidupan)

Ada perasaan teriris dan miris manakala melihat kenyataan yang ada sekarang. Karena karakter “sunda” yang kami tahu terbentuk karena proses pengenalan diri pribadi dengan alam dan Maha Pencipta serta nilai tradisi geografis yang sesuai dengan karakter masyarakat kami sebagai masyarakata kepulauan.

Kami memaknai globalisasi tidak untuk menjadikan carut-marutnya budaya suatu bangsa, sehingga satu dengan lainnya tidak berkarakter utuh. Disilang dan terpotong (cross-cutting) dengan nilai tradisi dari tempat lain sehingga tahap “penyesuaian nilai budaya” (baik Adopsi dan Adaptasi) yang sebetulnya tahap mendasar menjadi prematur dan artifisial. Dalam analog para sesepuh kami seperti: memasak sayur asem dengan menggunakan vanili, yang mana dua entitas itu sebenarnya tanpa proses penyesuaian namun dipaksa bercampur dan ketikan penjajahan (termasuk budaya) itu sekarang terjadi. Sudah jelaslah di depan mata kita “kehancuran sebuah bangsa” sehingga tidak akan ada lagi “freedom for all nation”. Dimana setiap bangsa selayaknya memiliki kemerdekaan untuk mempertahankan dan melestarikan budaya bangsanya. Dan makin samarlah kita sebagai pewaris masa depan dalam berpijak dan menapaki kehidupan.

Namun bila mau melihat ke belakang bukan untuk mundu, tetapi seperti pesan leluhur “dina kiwari ngancik bihari, sejak ayeuna pikeun jaga” yang berarti “masa kini harus berkaca pada masa lalu, karena untuk mempersiapkan masa depan ditentukan oleh apa yang terjadi pada masa kini”.

Berangkat dari amanat itulah kami sebagai manusia yang telah dikaruniai rasa dan fikir, memiliki perasaan dan pikiran bahkan mampu merasakan dan memikirkan, terus menerus berupaya mengevaluasi perkembangan dari waktu ke waktu, kami memakai kini dan disini sebagai kodrat kami sebagai manusia dan suatu bangsa yang memegang hukum-hukum adikorati dari Maha Pencipta yang harus memiliki kesadaran diri selaku manusia dan kesadaran pribadi selaku suatu bangsa.

Adapun landasan pijak kesadaran kemanusiaan kami pada cara-ciri manusia sebagai makhluk Tuhan yang sempurna adalah bahwa kami memiliki cinta kasih, tatakrama, undak usuk, budi daya budi bahasa, serta wiwaha yuda na raga yang berarti pengendalian dalam memerangi ego di dalam diri. Sedangkan landasan kesadaran pribadi suatu bangsa berdasarkan karakteristik dari bangsa itu sendiri yang unik yakni memiliki rupa bahasa, adat, aksara/huruf dan kebudayaan”.

Ada saat kami melewati kenyataan yang “berbeda” bahkan “diperlakukan beda” dengan masyarakat lain. Baik hak sipil, ekonomi hingga hak budaya kami. Meski dengan tekanan seperti kami merasa hal tersebut sebagai tahap struggle for living. Dan kamin menyemangati kami bahwa kami ini memang terpilih untuk bertapa di bukan di puncak gunung yang sepi, namun kami ditakdirkan bertapa di tengah hiruk pikuk kehidupan modern. Desantara / Dewi Kanti Satria Djati

BAGIKAN: