(Catatan dari FGD RKUHP di Makassar)
Thamrin mengeluh. Sebagai bagian dari komunitas Kajang, tentu ia sering meradang ketika komunitasnya ditengarai sebagai yang “menyimpang” dari Islam. Banyak hal yang diungkap sebagai bentuk kecaman itu; Kajang tidak bisa ngaji Alqur’an dengan baik, Alqur’annya saja 40 juz, sudah gitu hajinya tidak di Mekah, tapi di bukit Bawakaraeng, layakkah Kajang menjadi Islam?
Kecaman itu hadir dan telah puluhan tahun hilir-mudik di kawasan Sulawesi Selatan semenjak Islam yang dari Mekkah itu datang. Meskipun kecaman itu tidak menimbulkan reaksi yang frontal dari komunitas Kajang, tapi hardikan itu tentulah sangat melukai. “Kalau sudah begini, kemana kami harus minta perlindungan?” tanya Thamrin.
Thamrin hanya salah satu dari sekian deret komunitas lokal yang mengalami hal yang sama. Puang Toa Saidi, tokoh utama komunitas Bissu Sulawesi Selatan pun demikian. Keyakinan mereka seringkali ditampik hanya karena perilaku beragamanya yang tidak selaras dengan Islam mainstream. Performance Bissu yang identik dengan peleburan femininitas dan maskulinitas juga menjadi pemantik dari hardikan kelompok lain, yang menurut Puang Toa Saidi tidak sedikit yang berasal dari pesantren. “Apa yang salah pada kami ketika falsafah kami memang mengharuskan kami hidup seperti ini?” tanya Bissu Saidi.
Kegalauan Thamrin dan Puang Toa Saidi muncul beriring dengan kegelisahan dari beberapa orang Ahmadiyah. Berawal dari fatwa MUI, salah satu aliran Islam ini menuai kecaman bahkan tindakan kekerasan dari kalangan muslim yang lain. Dalam konteks tafsir terhadap pelaksanaan ajaran agama, semestinya Kajang, Bissu, dan Ahmadiyah tidak berhak ditampik. Tapi persoalan itu muncul justru dari kepungan massa yang tidak mengharapkan kemurnian Islam ternodai.
Persaksian itulah yang mengemuka dalam diskusi terbatas mengenai tema Kejahatan terhadap Agama, Keyakinan, dan Ras dalam Rancangan KUHP (RKUHP) di Makassar, 31 Agustus 2006 yang lalu. Noda, hina, leceh, dan jahat merupakan deret kata yang cukup menuai tanya karena beberapa istilah kunci tersebut tidak memiliki kejelasan mengenai makna dan operasionalisasi makna itu sendiri. Agama hanya didefinisi sebatas sekumpulan ajaran yang merujuk pada Kitab Suci, Nabi?Rasul, dan Tuhan yang telah disepakati. Sementara komunitas lain yang kitab agamanya bersumber dari kitab kehidupan berupa falsafah kearifan yang diwarsisi secara turun-temurun tidak mendapat tempat sebagai yang didefinisi komunitas beragama. Alih-alih ingin membuat perubahan dan perbaikan terhadap aturan hukum, justru tema kejahatan terhadap agama dalam RKUHP ini – di dalamnya terdapat 8 pasal – semakin memperluas kerumitan dari persoalan yang sebelumnya tercantum dalam pasal 156a KUHP.
Cermati saja beberapa ketentuan ini:
Pasal 341
Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III (Rp. 30.000.000,-)Pasal 342
Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp. 75.000.000,-)Pasal 343
Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, rasul, nabi,
kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp. 75.000.000,-)Pasal 344
(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar,
sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga terdengar
oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal
343, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih
diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp. 75.000.000,-)
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan
tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak
adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa
pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.
Selain tidak mengakomodir pluralitas hidup beragama dan berkeyakinan yang ada di Indonesia, perlindungan dan pengaduan terhadap tindak kejahatan ini hanya diasumsikan terbatas pada enam agama “yang dianut” di Indonesia. KUHP dan RKUHP tidak pernah sadar bahwa di tengah-tengah kita terdapat Sapto Dharmo, Wetu Telu, Parmalim, sunda wiwitan, dan lain yang jamak. Eksistensi mereka hanya diakui sebagai sebuah pertunjukan pariwisata bahwa Indonesia terkenal dengan keragamannya.
Hina dan pengaduan terhadap penghinaan itu hanya boleh dilakukan dan diajukan oleh mereka yang terkategori enam agama itu. Sementara deretan yang lain tidak berhak mendapatkan perlindungan dan hak mengadukan persoalan ketika sewaktu-waktu mereka mendapatkan kecaman. Belum lagi jika harus memandang subjek pelaku kegiatan keagamaan, maka ia akan rawan lagi terhadap hujatan yang serupa. Waria (di Makassar terkenal dengan adanya komunitas Calabai), gay, homoseksual, bisa diserang dengan pasal-pasal RKUHP ini ketika kelompok mainstrem mengadukan kelompok terpinggir itu sebagai yang melecehkan agama.