Bagaimanakah bila politisi sedang membual dan tidak memiliki komitmen dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan? Atau para pejabat pemerintah yang hipokrit, yang menjalankan tugas tidak berdasarkan hati nurani dan kebenaran, melainkan atas dasar perintah atasan? Tampaknya banyak para pejabat publik kita yang patuh pada legalisme hukum, tanpa mengkritisi isinya: apakah hukum legas itu sesuati dengan prinsip kemanusiaan dan hak asasi atau tidak.
Pada 28 Maret lalu, Desantara bersama Pakuan Jawa Barat menyelenggarakan Dialog dan Hearing dengan Pejabat Pemda, pejabat PAKEM, calon anggota DPD dan anggota legislatif se-Jawa Barat di Balaikota Bandung. Dialog dan hearing ini mengetengahkan persoalan relasi agama, adat dan negara yang pada realitasnya melahirkan praktek-praktek diskriminasi yang terjadi di Jawa Barat dan menimpa komunitas adat dan keyakinan agama minoritas. Praktek diskriminasi tersebut terutama terlihat dari berbagai macam regulasi dan produk hukum dan produk kebijakan lainnya mulai dari tingkat hingga daerah yang tidak memihak kepentingan mereka. Regulasi itu diciptakan untuk memberi keuntungan politik kelompok mayoritas dan penganut agama resmi belaka. Regulasi-regulasi itulah yang kemudian dijadikan argumen dan pembenaran bagi pihak yang berkepentingan, baik pemerintah ataupun institusi agama “resmi” untuk menghalangi dan bahkan menghilangkan hak-hak yang sepatutnya didapatkan sebagai warga negara Indonesia.
Hadir pada waktu itu, para calon anggota legislatif: Krisnayadi (Sekum Partai Patriot Jabar), Ruhan Asdar (Dewan Penasehat Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia), Aah Hidayatullah: (DPD Partai Bintang Reformasi), (Abay Mulyono Fraksi PDIP), Syaiful Huda (Caleg PKB untuk wilayah Sumedang), Teten Setiawan dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (PAKEM Jabar), dan Neneng dari Mahkamah Konstitusi yang sedang melakukan pembahasan dalam rangka amandemen UUD 1945.
Adapun dari komunitas adat, hadir Kang Kemo (komunitas Adat CIsuru Ciamis) dan 8 orang rombongan lainnya, Gumirat Barna Alam (komunitas Adat Karuhun Urang Cigugur) bersama 12 orang rombongan, Baban Ransas (komunitas penghayat kabupaten Garut) bersama 17 orang robongannya, Yayat Ruhiyat (ketua Organisasi Penghayat Kepercayaan Ajidipa) bersama 2 orang korban diskriminasi Bapak Asep dan ibu Neneng yang sampai sekarang masih menunggu putusan pengadilan, Adang Amu (organisasi Penghayat Kepercayaan Perjalanan), Nana Nasir (Ketua Jemaat Ahmadiyah Tasikmalaya) bersama dengan 3 orang rombongan. Beberapa tokoh agama ikut hadir.
Pertemuan ini menjadi semacam dialog terbuka dalam rangka mencari akar-akar diskriminasi yang menimpa masyarakat adat dan penghayat kepercayaan, yang lalu berupaya untuk secara bersama-sama mencari solusi pemecahannya secara dialogis. Banyak permasalahan dan keluhan-keluhan yang diungkapkan para peserta yang masing-masing mewakili komunitas ini.
Komunitas Adat Cisuru Ciamis, misalnya mengeluhkan bahwa sejak tahun 1982 hingga sekarang mengalami kesulitan dalam proses pencatatan pernikahan, yang meskipun sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mendialogkan dan mempertanyakan persoalan tersebut kepada instansi terkait, toh tidak membuahkan hasil. Demikian juga komunitas penghayat kabupaten Garut juga mengungkapkan permasalahan-permasalan perkawinan, KTP, juga pendidikan. Dalam bidang pendidikan banyak anak-anak mereka yang menerima tekanan untuk memeluk agama”resmi” tertentu, mulai dari tingkat SD, SLTP dan SMU. Bila tidak dituruti akan berpengaruh pada nilai mata pelajaran agama. Hal ini akhirnya berdampak pada prestasi siswa di sekolah dan yang lebih parah adalah dampak psikilogis yang berkepanjangan dari siswa yang merasa terasing dan dianggap “orang lain” oleh lingkungannya. Demikian juga Jemaat Ahmadiyah juga mengeluhkan kekerasan dan perusakan tempat ibadah dan rumah tinggal serta pengucilan dari lingkungan sekitarnya.
Ada beberapa tanggapan yang menarik. Ada yang memakai gaya kampanye, menawarkan kepemimpinan Capres tertentu, dan ada pula yang menegaskan komitmennya menghapus diskriminasi. Syaiful Huda, Caleg PKB Sumedang, misalnya menyesal kecenderungan dakwah agama-agama resmi atau mayoritas yang secara kasar menghancurkan tradisi-tradisi masyarakat lokal, yang mungkin dianggap oleh agama mayoritas sebagai tradisi kecil. Oleh karena itu, katanya, model dakwah seperti itu harus dihentikan. Justeru, tegasnya, praktek diskriminasi itu disebabkan karena agama di tarik-tarik dan dipaksa-paksa untuk masuk ke ruang publik, pada ruang negara. Karena itu Syaiful pun mengajak agar seluruh peserta membangun komitmen bersama menghapus diskriminasi.
Namun sayangnya tidak semua partai memiliki pandangan serupa. Yang menarik adalah bahwa ada kecenderungan partai yang selama ini memakai azas Islam justeru bersikap sangat hipokrit. Sebut saja misalnya, PBR. Mereka dengan lantang menyatakan anti diskriminasi dan Islam bukanlah agama yang menganjurkan sikap diskriminasi. Akan tetapi pada sisi lain ketika diminta komitmennya secara sungguh-sungguh dalam kontrak sosial, mereka malah mengelak dan menyatakan harus meminta persetujuan dulu atau harus ada kesepakatan DPP partai politiknya. Akhirnya, caleg dari PBR ini dengan alasan yang tidak jelas meninggalkan ruangan dialog untuk menghindari desakan masyarakat adat.
Tanggapan yang tidak kalah menariknya disampaikan Teten Setiawan, pejabat Pakem Jawa Barat. Dalam tanggapannya, Teten mengakui masih banyak perundang-undangan yang bernada diskriminatif terhadap masyarakat adat maupun penghayat kepercayaan. Misalnya, dalam pencatatan nikah dan akta kelahiran. Namun demikian ketika diajak menciptakan komitmen bersama melawan perundang-undangan diskriminatif ini, anehnya ia justeru menolak. Alasannya, karena undang-undang yang ada masih begitu (belum dirubah), sehingga ia tidak mungkin melanggar ketentuan perundang-undangan yang ada, meski UU tersebut diskriminatif.
Melalui dialog dan hearing tersebut, di samping telah dicapai kontrak sosial atau kesepakatan bersama antara tokoh agama, masyarakat, calon DPD dan anggota legisltif, tampaknya ada banyak tantangan dalam upaya mereformasi hukum kita yang masih diskriminatif.
Tantangan pertama berasal dari partai-partai politik yang seringkali mengatasnamakan atau menggunakan nama Islam untuk mengeruk konstituen sebanyak-banyak. Tanpa menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam praktek-praktek politiknya. Jika manipulasi politik mereka berhasil dan meraih suara signifikan, kebijakan legislasi yang dikeluarkan pun akan cenderung konservatif pula. Tantangan kedua adalah mentalitas birokrasi kita yang hanya tunduk pada atasan dan menjadi bagian dari sekrup kekuasaan. Mereka tidak bersikap kritis terhadap kekuasaan dan kebijakan politik yang tidak memihak pada masyarakat.
Karena itu dialog dan hearing adalah bagian dari membangun negosiasi dan tekanan kepada pemerintah untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat. Ia bisa menjadi sarana memperbarui kontrak sosial agar sejalan dengan kepentingan rakyat.
Akhirnya komitmen membangun gerakan anti diskriminasi itu dibuat tanpa keikutsertaan pejabat PAKEM dan Caleg PBR yang keluar ruangan sebelum penandatanganan kesepakatan bersama. Desantara
(Catatan dari Dialog dan Hearing masyarakat adat-Pemda-Caleg di Bandung).