Salah satu kehebatan ludruk sebelum 1965, seperti yang diungkap James L. Peacock, adalah konsistensinya sebagai pertunjukan proletar, improvisasi-kreatif, suka memainkan simbol untuk menyampaikan pesan-pesan perubahan kehidupan di tengah hiruk-pikuk kota Surabaya dan sekitarnya. Pertunjukan ludruk selalu tampil bukan hanya memikat tetapi juga mampu membangkitkan emosi dan semangat penontonnya yang plural.
Bahkan lebih dari itu, simpul Peacock pula, ludruk adalah pendorong, agen atau mediator perubahan massa rakyat Jawa Timur. Komunitas ludruk sendiri yang semula berada dalam kehidupan kampung yang homogen dan komunal mulai beringsut ke arah ekstra kampung yang heterogen dan rasional-spesifik. Perlu dicatat bahwa ketika modernitas menjadi idaman terpenting saat itu, ludruk dan komunitasnya menjadi modern sekaligus agen yang mengantarkan.
Tentu saja kita tidak berharap ludruk tetap modern ketika modernitas dikritik seperti sekarang ini lantaran ia justru lebih ‘mencelakakan’ kelompok terbanyak umat manusia. Apa yang ingin ditekankan dengan prolog seperti di atas adalah peran-peran ludruk dalam himpitan berbagai persoalan yang justru menimpa bagian terbanyak tadi. Karakter dan semangat proletarian yang melekat dalam setiap pertunjukan ludruk waktu itu, meski acapkali harus disajikan secara simbolik, akan berarti penting dalam kehidupan kini terutama kehidupan massa rakyat yang semakin terjepit dan terpuruk seperti para korban semburan Lumpur panas di Sidoarjo, salah satu kandang ludruk sejak dulu.
Seorang teman, peneliti kebudayaan di Jawa Timur, pernah bilang: “sia-sialah kita berharap ludruk seperti dulu. Ludruk sekarang memang masih digemari banyak warga di beberapa tempat, tetapi seluruhnya murni tontonan yang sesekali memancing gelak-tawa dan kadangkala memuakkan.” Para mantan pemain ludruk 60-an, seperti dilansir liputan ngaji budaya kali ini, hanya termangu sedih, menangis, dan mungkin marah-marah membaca betapa ludruk sekarang mandul tanpa mempunyai peran apapun kecuali menghibur, itupun hanya sebatas ketika pertunjukan berlangsung.
Mungkin tidak bijak mengalamatkan kesalahan itu hanya pada pemain ludruk. Seperti halnya komunitas seni pada umumnya, mereka adalah para warga yang pasca 65 direngkuh, dibina, dan dibangun oleh rezim politik untuk menjadi ‘rakyat yang baik’. Akibatnya, seperti kita ketahui bersama, para seniman dan rakyat pada umumnya pasca 65 menjadi terbelenggu, tidak kreatif-dinamis, dan sepenuhnya dependen, bergantung pada kekuatan-kekuatan di luar diri mereka baik struktural maupun kultural terutama negara.
Wajar jika yang kita saksikan sekarang adalah kemunduran yang begitu jauh dibanding kenyataan sebelum 65. Tetapi, siapakah yang dengan sadar menginginkan kemunduran? Sudah pasti para seniman ludruk tidak menghendakinya. Kemunduran mereka tercipta melalui proses politik yang dibungkus label pembangunan manusia seutuhnya. Persoalannya, di ruang kebebasan yang relatif terbuka ini, mungkinkah karakter proletar ludruk dan kemampuan senimannya menggurat peran seperti dulu dapat dibangkitkan? Hanya para seniman ludruk sendiri yang mampu menjawabnya. Bisri Effendy / Desantara