Melawan Lupa

desantara-default

Desantara.or.id

Muslim Sulawesi Selatan mungkin yang paling kreatif. Coba bayangkan al-Qur’an yang dibakukan dan diberlakukan di seluruh belahan dunia hanya 30 juz, dikreasi menjadi 40 juz. Sepuluh juz sisanya diturunkan bukan di tanah Arab melainkan di bumi tempat berpijak Bugis-Makassar-Mandar. Mungkin Anda marah dan menganggap mereka keterlaluan, durhaka, menentang wa inna lahu lahafidhun sekaligus menantang Tuhan. Atau, sebaliknya, tak ambil pusing dan membiarkan cerita itu sebagai lelucon yang tak lucu.

Tetapi mungkin kita tak pernah membayangkan bagaimana kalau cerita itu diletakkan dalam konteks keberagamaan suku bangsa atau komunitas tertentu di belahan ekologis yang berbeda dari tempat diturunkannya al-Qur’an. Apalagi, seperti yang tersajikan selama ini, tak seorang pun bisa menjamin bahwa realitas sosial dan kultural suatu bangsa akan tunggal dan given; kenyataannya selalu warna-warni, cair dan mengalir. Muslim Sulawesi Selatan tentu bukan muslim Arab, dan bukan pula muslim Jawa, Minang, Sunda atau yang lainnya. Mereka tetap muslim Bugis, Makassar, Kajang, Mandar dan sebagainya. Memang, bisa jadi mereka, sebagai sesama muslim, memiliki kesamaan-kesamaan dalam sejumlah hal tertentu, tetapi juga tak mustahil diantara mereka terdapat perbedaan-perbedaan penting dalam beberapa hal yang lain. Oleh karena variasi dan prulalitas dalam keberagamaan adalah keniscayaan yang tak perlu diingkari oleh siapa dan dengan alasan apapun.

Dalam konteks ini, siapa tahu bahwa hal itu sungguh merupakan kreativitas genius dan berani muslim Sulawesi Selatan yang mungkin tak pernah terjadi dalam kalangan muslim manapun. Sebuah kreativitas yang melebihi kreativitas pemaknaan apa yang disebut agama atau penafsiran teks-teks suci oleh berbagai suku bangsa dan komunitas bahkan individu sesuai latarnya masing-masing yang tak harus seragam dan dalam kenyataannya memang tak pernah sama. Walaupun berbagai kepentingan memotivasi kelompok-kelompok tertentu, di banyak tempat, seringkali atas nama Tuhan, memaksakan keseragaman. Bukankah al-Qur’an sebagai mushaf utsmani lebih merupakan kreativitas yang terbangun justru dalam setting sosial-politik yang, meminjam istilah sejumlah pengkritik al-Qur’an, kacau dan ditawarkan sebagai alternatif (disana masih banyak mushaf-mushaf lain).

Tambahan10 juz made in Sulawesi Selatan itu tentu bukan dalam arti harfiah. Karenanya wujud fisik berupa sederet ayat berbahasa Arab seperti 30 juz lainnya tak mungkin dapat ditemukan dalam al-Qur’an Sulawesi Selatan. Ia lebih bermakna subtansial, dalam konvensi sosio-kultural, dalam nilai-nilai yang dianut, dan dalam pegangan hidup mereka. Meski semua itu terbangun melalui proses perenungan panjang saat atau seusai berinteraksi dengan lingkungan sosial dan ekologis, tidaklah mustahil bila berbagai ajaran yang masuk ke dalam jaringan mereka berperan penting. Islamisasi di Sulawesi Selatan, seperti halnya di beberapa tempat lain, tidaklah langsung dengan menyadap al-Qur’an sebagai sumber terpenting tetapi melalui sajian berbagai interpretasi yang dilakukan oleh para da’i awal. Da’i legendaris yang sangat populer di Sulawesi Selatan, Syekh Yusuf, misalnya, lebih tertarik untuk membawa penafsiran-penafsirannya yang sufistik hingga ajaran-ajarannya kini dikenal sebagai tarikat khalwatiyah. Begitu pula Gurutta M. As’ad Sengkang, sang perintis pesantren pertama di Sulawesi Selatan, yang mengibarkan pembaharuan Islam di awal abad ke-20.

Karena itu, isi 10 juz al-Qur’an Sulawesi Selatan tidaklah tunggal. Ia tersebar menjadi berbagai varian dan atau aliran dengan karakteristiknya masing-masing. Islam Kajang berbeda dengan Islam Cikoang, berbeda pula dengan Islam Bugis, berbeda lagi dengan Islam Khalwatiyah, dan seterusnya. Islam Makassar, dalam beberapa hal, tidak sama dengan Islam Bugis dan tidak serupa dengan Islam Mandar. Bahkan ketika berbicara tentang syariat Islam di Sulawesi Selatan kita tak mungkin berpaling dari kemungkinan variasi ini. Dan kalau ditarik ke belakang, sejarah Islam Sulawesi Selatan, kenyataan variasi keberagamaan seperti itu, seperti dalam liputan utama nomor ini, adalah sesuatu yang niscaya dan sah dari sudut manapun.

Keberagaman Islam di Sulawesi Selatan, sekali lagi, memang lebih didorong oleh kemampuan dan keberanian kreatif muslim periode awal di sana, ketika mereka mengawali rintisan bangunan keislaman yang ternyata mampu bertahan hingga hari ini. Tanpa kreativitas, bisa dipastikan keislaman di Sulawesi Selatan tak sekaya sekarang. Soalnya adalah bagaimana kekayaan dan kekampuan kreatif itu terjaga.

Lalu bagaimana dengan hasrat sejumlah kelompok muslim untuk menegakkan syariat Islam? Bukankah keinginan itu, seperti yang kemukakan salah seorang tokoh KPPSI kepada Desantara beberapa waktu lalu, terdorong justru untuk mengembalikan corak keislaman di Sulawesi Selatan yang tunggal. Akankah muslim Sulawesi Selatan kehilangan kekayaan corak kultural keislamannya? Akankah pula mereka kehilangan kemampuan dan keberanian kreatifnya yang sungguh sangat diperlukan bukan saja dalam menyapa agama, tetapi juga ketika berhadapan dengan apapun yang hadir. Semoga kita mampu melawan lupa.BE / Desantara

BAGIKAN: