Sejarah agama adalah sejarah pertarungan antara aliran melawan aliran untuk memperebutkan posisi hegemonik dengan cara memproduksi idiom-idiom teologis seperti ‘sesat’, ‘kafir’, yang biasanya berujung pada tuduhan murtad. Politik penyesatan dalam praktiknya dipakai sebagai senjata untuk memberangus dan mengenyahkan lawan-lawan mereka yang berselisih di medan doktrinal. Celakanya, jika penyesatan dianggap sebagai ajaran dan perintah agama.
Dalam konteks Indonesia, idiom-idiom seperti itu bertebaran kemana-mana secara serampangan. Tak ayal, idiom yang menyimpan prasangka negatif dan tudingan miring ini pun menjadi fenomena yang menggetarkan jagad keagamaan. Pemantiknya tak lain adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan memosisikan diri, seolah, sebagai institusi yang paling berhak merepresentasi otoritas keagamaan, MUI belakangan ini kian gemar melafalkan idiom-idiom tersebut lewat fatwanya.
Hampir setiap fatwa yang digelontorkan MUI segera disambut dengan riuh-gemuruh emosi masyarakat –yang umumnya masih dibelenggu oleh doktrin fikih klasik— dan berujung pada tindak anarkhis. Akibatnya, banyak aliran yang stigma sesat itu harus rela kehilangan masjid, musholla, dan tempat ibadah lainnya karena dirusak dan dihancurkan massa. Kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin oleh konstitusi dan HAM sirna tertimbun amarah massa. Nasib aliran-aliran itu pun harus mengapung di negara hukum.
Fenomena ini sejatinya mudah dijumpai dalam sejarah Islam, utamanya pasca abad 10 M, ketika aliran Sunni mendominasi pemikiran keagamaan kala itu. Para ulama Sunni membuat batasan ketat untuk menghakimi dan tak segan-segan untuk menghukum siapa saja yang berbeda darinya. Mengapa fatwa itu menjadi sedemikian efektif mengobarkan emosi masyarakat? Jawabannya tentu beragam. Untuk menyibak kehebatan sihir fatwa yang mampu melelapkan cognisi masyarakat ini, mau tidak mau kita harus berurusan dengan ruang kebahasaan dengan segala makna yang direproduksinya. Bagaimana permainan bahasa itu tengah berlangsung di medan diskursif untuk mengokohkan sebuah proyek pengetahuan tertentu? Serta bagaimana idiom teologis (penyesatan) digunakan sebagai politik wacana?
Untuk itulah, pertama-tama kita harus melacak akar epistemologi istilah ‘aliran sesat’ beserta konteks kelahirannya. Bagaimana istilah tersebut dimunculkan dan digunakan dengan maksud dan tujuan tertentu? Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menjernihkan dan melepaskan istilah ‘aliran’ dari jerat ‘sesat’ yang sudah sedemikian rekatnya.
Caranya? Kita harus memreteli dua kata tersebut (‘aliran’ dan ‘sesat’) dan kemudian meletakkan masing-masing dalam posisi netral –sesuai arti asalnya–, sebelum ada intervensi pemaknaan. Dua istilah ini sesungguhnya terpisah sama sekali, juga tak berhubungan. Kata ‘aliran’ membangun makna yang menandai sebuah gerakan. Sementara kata ‘sesat’ membangun makna yang menandai adanya perbuatan menyimpang.
Tapi sayangnya, kepala kita sudah terlanjur melihat dua kata itu sebagai talian-erat yang alami, karenanya tak mungkin dipisah. Ini wajar. Sebab, ketika dua kata itu selalu disandingkan dan secara terus-menerus diusung ke ruang publik, maka cognisi masyarakat tentu akan menerimanya secara tunggal. Bahkan yang lebih hebat lagi, sekalipun kata ‘aliran’ tanpa diembel-embeli kata ‘sesat’, ia sudah mengandung konotasi yang begitu negatif.
Sebelum memulai pelacakan, ada baiknya terlebih dahulu mengenali beberapa istilah lain yang mempunyai kesamaan dan kemiripan arti serta maksud, atau yang berhubungan dengan istilah ‘aliran sesat’. Hal ini dimaksudkan demi menghindari kesimpangsiuran yang berujung pada kebingungan dalam menghadapi sekian banyak terminologi ketika menyoal fenomena tersebut.
Martin van Bruinessen misalnya pernah menggunakan istilah ‘gerakan sempalan’ ketika melakukan penelitian terhadap fenomena maraknya aliran keagamaan yang muncul di Indonesia. Menurutnya, istilah "gerakan sempalan" sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap "aneh", alias menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata "sekte" atau "sektarian". Karenanya, lanjut Martin, berbicara tentang "gerakan sempalan" berarti bertolak dari suatu pengertian tentang "ortodoksi" atau "mainstream" (aliran induk); karena ‘gerakan sempalan’ adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku.
Akar Kata Sekte dan Ajaran Sesat
Berpijak dari apa yang dituturkan Martin van Bruinessen, bahwa istilah ‘gerakan sempalan’ merupakan terjemahan dari kata ‘sekte’ atau ‘sektarian’, maka penulis akan memulai pelacakan ini dari kata ‘sekte’, meskipun tidak mudah memberi definisi serta batasannya. Sebab kata yang satu ini tidak dilahirkan dari satu rahim, namun kemunculannya dipakai dalam beragam konteks yang memiliki kesejarahan dan maksud yang berbeda pula. Jika dilihat dari kacamata sosiologi agama, sekte umumnya adalah sebuah kelompok keagamaan atau politik yang memisahkan diri dari kelompok yang lebih besar, biasanya karena pertikaian tentang masalah-masalah doktriner.
Dalam sejarah, di lingkungan agama Kristen, penggunaan istilah ini mengandung konotasi penghinaan dan biasanya merujuk kepada suatu gerakan yang menganut keyakinan atau ajaran yang sesat dan yang seringkali menyimpang dari ajaran dan praktik ortodoks. Sementara dalam konteks India, sekte merujuk kepada suatu tradisi yang terorganisir.
Namun sebelum kita berurusan dengan berbagai definisi, ada baiknya menggali akar katanya terlebih dahulu. Menyarikan dari tulisan di Wikipedia, kata sekte berasal dari istilah bahasa Latin secta (dari sequi, mengikut), yang berarti (1) suatu langkah atau jalan kehidupan, (2) suatu aturan perilaku atau prinsip-prinsip dasar, (3) suatu aliran atau doktrin filsafat.
Keberbedaan penggunaan dengan maksud dan tujuan yang tidak seragam membuat kesulitan tersendiri untuk menetapkan sebuah definisi yang tegas atas istilah sekte. Namun paling tidak, kita bisa mengikuti beberapa definisi dan deskripsi sosiologis untuk istilah ini yang pernah dibuat oleh tokoh-tokoh terdahulu. Salah seorang yang pertama mendefinisikannya adalah Max Weber dan Ernst Troeltsch (1931). Dalam tipologi gereja-sekte, mereka digambarkan sebagai kelompok-kelompok keagamaan yang baru terbentuk untuk memprotes unsur-unsur dari agama asalnya –biasanya suatu denominasi. Motivasinya cenderung terletak dalam tuduhan kemurtadan atau ajaran sesat dalam denominasi asalnya. Mereka seringkali memprotes kecenderungan-kecenderungan liberal dalam perkembangan denominasi dan menganjurkan umat untuk kembali ke agama yang sejati.
Sosiolog Amerika Rodney Stark dan William Sims Bainbridge menegaskan bahwa "sekte-sekte mengklaim dirinya sebagai kelompok yang otentik dan bersih, sebagai versi dari iman yang telah diperbarui,
yang daripadanya mereka memisahkan diri". Sedangkan, sekterianisme kadang-kadang didefinisikan dalam sosiologi agama sebagai suatu pandangan dunia yang menekankan keabsahan unik dari kredo dan praktik-praktik orang percaya, dan hal itu meningkatkan ketegangan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tindakan mereka dalam membangun praktik-praktik yang menegaskan batas pemisahnya.
Pengertian tentang sekte seperti demikian tentu saja berbeda dengan pemaknaan sekte dalam konteks India. Axel Michaels, seorang Indolog, menulis dalam bukunya tentang Hinduisme bahwa dalam konteks India kata "sekte tidak menunjukkan adanya perpecahan atau komunitas yang terasingkan, melainkan lebih pada suatu tradisi yang terorganisir, yang biasanya didirikan oleh si pendiri yang melakukan praktik-praktik asketik." Dalam paparan berikutnya ia menegaskan bahwa, "Sekte-sekte India tidak memusatkan perhatian pada ajaran sesat, karena tidak adanya pusat atau pusat yang menuntut membuat hal ini tidak mungkin. Sebaliknya, fokusnya adalah pada para penganut dan pengikutnya."
Perbedaan yang lain dalam mengartikan kata sekte ini juga bisa kita jumpai di dalam negara-negara yang memiliki tradisi Katolik cukup kuat. Di Amerika Latin, kata ini seringkali digunakan untuk merujuk kelompok keagamaan non-Katolik Roma manapun –tak peduli berapa besar kelompok itu– seringkali dengan konotasi negatif yang sama dengan yang dimiliki kata 'kultus' dalam bahasa Inggris. Demikian pula di beberapa negara Eropa, di mana Protestanisme tidak pernah benar-benar populer. Gereja-gereja Ortodoks (baik Yunani maupun Katolik) sering menggambarkan kelompok-kelompok Protestan, khususnya yang lebih kecil, sebagai sekte. Hal ini, antara lain tampak di Rusia, Ukraina, Belarus dan Polandia.
Sekadar untuk diketahui, dalam bahasa-bahasa Eropa (Polandia, Perancis, Spanyol, Jerman, Belanda, dan Rumania –selain Inggris) kata padanan untuk 'sekte', adalah seperti: "secte", "secta", "sekta", atau "sekte", digunakan untuk merujuk kepada sekte keagamaan atau politik yang berbahaya, dalam pengertian yang sama ketika orang di negara-negara berbahasa Inggris menggunakan kata kultus (cult).
Setelah mengurai akar kata sekte, berikutnya kita akan melacak akar istilah ‘ajaran sesat’ (bahasa Inggris: Heresy) atau Bid’ah yang secara harfiah berarti memulai. Kenapa? Karena memperhatikan setiap fatwa yang digelontorkan MUI biasanya pertama-tama menunjuk kesesatan itu dari ajarannya. Ajaran menjadi titik pijakan untuk kemudian menyematkan label ‘sesat’ kepada aliran atau organisasi yang menjadi alamat fatwa tersebut.
Secara etimologi, kata "heresy" berasal dari bahasa Yunani αιρεσις, hairesis (dari αιρεομαι, haireomai, "memilih"), yang berarti pilihan keyakinan atau faksi dari pemeluk yang melawan. Kata ini banyak dipergunakan oleh Ireneus dalam risalahnya Contra Haereses (Melawan Penyesat). Ia menggambarkan posisinya sendiri sebagai yang ortodoks (dari ortho- "lurus" + doxa "pemikiran") dan posisinya akhirnya berkembang menjadi posisi Gereja Kristen perdana.
Sedangkan bid’ah/bidaah dalam konteks agama Islam berarti sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Hukum dari bid’ah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud adalah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.
Di kalangan para ulama salaf, ada beberapa definisi bid’ah. Muski definisi-definisi tersebut memiliki lafaldnya yang berbeda-beda (dalam tulisan Arab), namun sebenarnya mempunyai kandungan makna yang sama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Syathibi, Ibnu Rajab, dan Imam as-Suyuthi adalah para ulama salaf yang pernah membuat definisi bid’ah.
Pergeseran Alamat Sesat Dan Sejarah Lahirnya Aliran Dalam Islam
Awalnya, kata ‘sesat’ ditujukan kepada mereka-mereka yang menolak seruan para pendakwah (da’iyullah) yang menawarkan jalan baru, bernama Islam, dalam konteks masyarakat Arab waktu itu. Jelasnya, mereka-mereka itu biasanya disebut Kafir Quraisy. Namun pada perjalanan berikutnya, kata ‘sesat’ berpindah alamat kepada para aliran yang tumbuh di tubuh Islam sendiri. Sungguh sulit dimasukakal, bagaimana mereka yang sudah melewati pintu syahadatain bisa dikata sesat.
Coba lihat surat al-Ahqaf (46): 32. Di situ dengan terang tertulis, barang siapa yang tidak menjawab atau tidak menerima seruan da’iyullah (orang yang mengajak kepada Allah), maka mereka itu tidak bakal lepas dari azab Allah di bumi—mereka ada dalam kesesatan yang nyata. Di Al-Quran sendiri memang disebutkan banyak kata “sesat”, kata dhall, dhalal, mudhill, dan kata-kata yang seakar. Ada seratus kali lebih, bahkan hampir 200-an.
Kenapa kata dhalal/’sesat’ itu tiba-tiba dilabelkan kepada aliran/kelompok di dalam Islam sendiri?
Untuk menjawab itu, kita harus merelakan waktu sejenak untuk menelusuri sejarah panjang kemunculan beragam aliran dalam tubuh Islam, atau yang dikenal dengan istilah firqah. Namun jika diringkas, kisahnya kira-kira seperti demikian: Pasca terbunuhnya khalifah ketiga, Syaidina Usman, lalu digantikan oleh Syaidina Ali sebagai khalifah keempat, konflik di internal Islam mencapai titik kulminasi yang akhirnya melahirkan berbagai aliran (firqah). Sebagaimana yang telah ditulis Ramli Abdul Wahid, kelahiran berbagai firqah ini lebih dilatari oleh perselisihan dalam memahami ilmu kalam yang membahas tentang Tuhan, rasul-rasul, wahyu, akhirat, iman dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Sementara paham-paham yang berseteru di medan fikih disebut mazhab.
Kala itu, tepatnya pada tahun 37 H, terjadi perang antara Ali sebagai Khalifah dan Mu‘awiyah sebagai Gubernur Syam. Perang itu terjadi di Siffin, sehingga lebih dikenal dengan nama perang Siffin. Karena pasukan Mu‘awiyah terdesak dan sudah siap untuk mundur, tangan kanannya yang terkenal licik, Amr ibn al-Ash minta berdamai dengan mengangkatkan Al-Quran ke atas. Para qari di barisan Ali minta agar perdamaian itu diterima Ali. Ali dan sebagian pengikutnya keberatan. Tapi, karena desakan, akhirnya Ali menyetujuinya. Disepakati bahwa Abu Musa al-Asy‘ari mewakili Ali dan Amr ibn al-Ash mewakili Mu‘awiyah. Dengan alasan menghormati orang tua, Amr meminta Abu Musa lebih dahulu berdiri memakzulkan Ali dan kemudian Amr memakzulkan Mu‘awiyah. Setelah Abu Musa memakzulkan Ali, Amr berdiri mengukuhkan Mu‘awiyah menjadi Khalifah.
Kekacauan pun tak terhindarkan
. Pasukan Ali yang sejak semula tidak setuju dengan perdamaian tipu itu keluar dari barisan Ali dan kemudian menjadi penentangnya, juga sekaligus penentang Mu‘awiyah. Kelompok yang keluar ini disebut Khawarij. Mereka memandang Ali, Mu‘awiyah, Abu Musa, Amr ibn al-Ash dan orang-orang yang setuju dengan perdamaian yang disebut dalam sejarah arbitrase (tahkim) sebagai kafir.
Tak selang lama, Khawarij ini pecah pula menjadi beberapa sekte yang antara satu dengan lainnya saling mengkafirkan dan menghalalkan darahnya. Persoalan kafir pun berkembang. Awalnya, istilah kafir dipakai dan ditujukan kepada orang yang tidak berhukum kepada Al-Quran. Namun istilah ini akhirnya melebar, pelaku dosa besar (murtakib alkabirah), yakni pembunuh Usman pun dihukum kafir. Ternyata, persoalan ini menimbulkan tiga aliran.
Pertama, Khawarij yang memandang pelaku dosa besar kafir. Kedua aliran Murji’ah yang memandang pelaku dosa besar tetap mukmin dan hukumannya ditangguhkan kepada Mahkamah Allah untuk mengampuninya atau tidak mengampuninya. Ketiga aliran Muktazilah yang memandang pelaku dosa besar berada di antara dua posisi mukmin dan kafir (almanzilah bain almanzilatain). Di luar tiga golongan ini, masih tinggal golongan yang mengikuti paham mayoritas umat Islam yang kemudian dikenal dengan golongan Ahlus Sunnah wa al-Jama‘ah. Al-Hasan al-Basri (w. 110 H) Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) adalah di antara tokoh-tokoh Ahlus Sunnah.
Paham Ahlus Sunnah ini kemudian dipertegas oleh Abu al Hasan al-Asy‘ari (w. 330 H). Selain al-Asy‘ari, dikenal pula Ahmad at-Tahawi (w. 322 H) di Mesir dan Abu Mansur al-Maturidi as-Samarkandi (w. 333 H), yang ketiganya disebut dalam sejarah sebagai pendiri aliran Sunni. Namun karena antara mereka terdapat juga perbedaan, maka yang lebih tepat paham mereka dibanggakan kepada masing-masing. Misalnya, paham Asy‘ariyah, paham Maturidiyah dan paham Tahawiyah.
Sebagai pengaruh penggunaan akal yang semakin besar dalam memahami nas, muncul pula paham Qadariyah dan Jabariyah. Orang pertama berpaham Qadariyah adalah Ma‘bad al-Juhani yang terbunuh pada tahun 80 H. Sementara orang pertama berpaham Jabariyah adalah Ja‘d ibn Dirham (w. 124 H).
Demikianlah sejarah kelahiran aliran/firqah dalam tubuh Islam. Dari sini pula, pergeseran alamat sesat/kafir itu terjadi. Pertikaian ini terus berlangsung hingga hari ini, tentu dalam ruang dan waktu yang berbeda. Dan, senjata penyesatan/pengkafiran masih terus-menerus digunakan muski ia adalah warisan yang terlahir dari peradaban Islam kelam.
Aliran Menyesatkan Aliran
Pertikaian dan pertarungan di ranah doktrinal (teologis) dengan memakai senjata ‘sesat’ dalam konteks Indonesia ini tidak lebih dari pertarungan antar aliran. Apa yang senyatanya kita anggap sebagai yang mainstream dengan segala bendera kebenarannya pernah juga mengalami nasib serupa, sebagai sebuah aliran kecil yang dianggap menyimpang di tengah arus besar yang mendominasi pemikiran keagamaan kala itu.
Faham aqidah Asy'ari adalah contohnya. Faham yang masuk aliran Sunni ini memang saat ini tengah mendominasi dan merajai dalam konteks Indonesia. Namun, pada masa 'Abbasiyah ia pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu'tazili (yang waktu itu didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan.
Kenyataan sejarah seperti ini tentu bisa menjungkirbalikkan logika dan pemahaman kita tentang kebenaran yang dicitrakan melekat pada setiap fatwa MUI. Sehingga kita pun senantiasa mengamini fatwa tersebut serta mentahbiskan MUI sebagai sebuah institusi perwakilan keagamaan yang tidak perlu diragukan apalagi disangsikan kebenaran fatwanya. Dan, kita pun buta hingga tak bisa lagi membedakan secara jernih mana kebenaran agama sebagai manifestasi kehadiran Tuhan, dan mana kebenaran pemikiran keagamaan sebagai hasil budi daya manusia. Kebenaran yang pertama bersifat mutlak, sementara yang kedua bersifat relatif adanya. Akibatnya, perbedaan pemikiran keagamaan –apalagi jika berseberangan dengan mainstream pemikiran—dianggap sebagai heterodoksi, penyimpangan, dan sebentuk pelecehan terhadap agama.
Kenyataan sejarah demikian memperlihatkan pula bahwa kata ‘sesat’ bukanlah suatu penanda atas esensi kesesatan itu sendiri, namun ia adalah senjata yang dipakai untuk memenangkan pertarungan ideologis tersebut. Siapapun bisa menggunakannya, dan siapapun pula bisa menjadi obyek bidikannya.
Jika kenyataannya adalah aliran melawan aliran, maka tidak tepat kiranya jika kita menyebut pertarungan itu antara kebenaran melawan kesalahan, lurus melawan sesat, dan haq melawan batil. Tapi, ini adalah perang kebenaran melawan kebenaran.[] Desantara / M. Kodim