Oleh Sandhy
Tahun 2004 lalu, di salah satu desa (sebut saja desa T) yang masuk dalam wilayah Dompu, Nusa Tenggara Barat, tengah bersiap-siap menggelar hajatan besar: pemilihan Kepala Desa. Saat itu, ada tiga Calon yang maju dan siap meramaikannya. Setelah mendaftar, ketiganya dinyatakan lulus secara administratif.
Usai tes administrasi, ketiga calon bersama para istrinya masing-masing diharuskan ke kantor kabupaten untuk mengikuti tes berikutnya, yaitu tes membaca al-Qur’an.
Mulailah satu per satu dari calon beserta istrinya diuji. Dua calon dan masing-masing istrinya dinyatakan lulus dengan hasil yang memuaskan. Namun tidak demikian dengan calon ketiga (sebut saja Pak Ali). Meski Pak Ali lancar melafalkan sebagian teks al-Qur’an sebagaimana yang diminta oleh Si Penguji, namun ia harus terkendala lantaran istrinya dinyatakan gagal oleh Si Penguji. Istrinya dianggap belum lancar mengaji, karenanya disuruh belajar lagi selama dua minggu.
Kepanikan pun segera membias di wajah Pak Ali. Sebab, waktu pemilihan tinggal empat hari lagi. Dari sisi waku, itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Karenanya, Pak Ali pun menanyakan hal tersebut ke pihak kabupaten. Namun usahanya sia-sia belaka, tak mendapat tanggapan. Atas kenyataan ini, ia hanya bisa pasrah.
Sikap pasrahnya ini didasarkan atas pertimbangan agar masalah tersebut tidak semakin panjang. Jika diperpanjang, ada kekuatiran ia bakal ditangkap Satpol PP. “Karena, kalau kita terlalu mendebatkan hal tersebut akan ditangkap Satpol PP atas tuduhan menentang Bupati dengan wajah Islaminya. Saya pun pulang dengan Sangat kecewa, aku Pak Ali dengan nada lemah.
Sebenarnya, Istri Pak Ali bukannya tidak pintar mengaji, Tapi mungkin karena ya…yang namanya orang kampung yang jarang ke kota, apalagi sampai ke Pendopo, mungkin dia grogi saat itu, paparnya.
“Itu juga yang membuat saya tidak habis pikir, padahal istri saya itu sangat lancar mengaji. Silakan tes dia kalau Ndai mu (Anda) tidak percaya, tantangnya. Pak Ali, yang meminta supaya identitas diri dan kampungnya disamarkan itu, akhirnya tak bisa mengikuti pencalonan kepala desa gara-gara persyaratan “wajib mengaji.
Padahal, Pak Ali sebenarnya memiliki massa yang lumayan banyak. Terus terang saja, saya adalah calon yang lumayan banyak mendapat dukungan dari warga. Lai Jana Sombong re (Bukannya saya sombong), tapi memang begitulah kenyataannya, tuturnya.
Ia juga telah menghabiskan biaya yang tak sedikit. Lebih dari 3 Juta rupiah dikeluarkan dari sakunya untuk pengurusan administrasi saja. Belum lagi biaya sosialisasi, termasuk menjamu setiap warga dan pemuda yang datang ke rumahnya 24 jam selama kurun waktu sebelum pemilihan. Wati ru wa’u di reke sa’bune ncau ra ma mpoi (Sudah tidak terhitung lagi berapa yang dihabiskan). Aina nggahi mu Rongko ra Kahawa re ni (Jangan diomongkan lagi biaya rokok dan kopinya), paparnya. Tetapi, karena terganjal syarat “bisa ngaji itu, ia pun tak bisa mencalonkan diri.
Gagalnya pencalonan diri Pak Ali ini menimbulkan respon yang beragam. Para warga yang sudah menyatakan dukungan kepadanya menjadi marah, bahkan sampai ada yang ingin membakar kampung tersebut.
Buntut lain dari itu justru menjadikan Pak Ali dan keluarganya hampir dibunuh oleh pendukungnya sendiri karena ia dituduh sudah menerima amplop dari calon lain dan sengaja mengundurkan diri. Mereka tidak gampang percaya kalau saya batal menjadi calon lantaran Ibu (istrinya) tidak lulus tes mengaji karena mereka sangat tahu kalau Ibu itu bisa mengaji.
Akibat tak lancarnya istri mengaji di hadapan penguji, ia dan keluarganya juga mendapat kampanye negatif dari para pendukung calon lainnya, dengan mengatakan bahwa ia tidak pantas menjadi Kepala Desa karena tidak mampu mendidik keluarga secara islami.
Peraturan Wajib Mengaji
Apa yang terjadi pada Pak Ali bermula dari munculnya Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2002 tentang Program Pembangunan Daerah (Properda) Kabupaten Dompu tahun 2001–2005. Dalam Perda itu, Kabupaten Dompu, ke depannya akan diorientasikan pada terciptanya Masyarakat Dompu yang sejahtera dan religius.
Dalam rangka mewujudkan orientasi tersebut, Bupati Dompu kemudian mengeluarkan beberapa Surat Keputusan (SK), diantaranya, SK tentang Kewajiban menggunakan Pakaian Muslimah/ Jilbab bagi Pelajar dan Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan kewajiban membaca Al-Qur’an bagi masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan publik. Bupati juga mengeluarkan SK bernomor 140 tahun 2004 tentang Kewajiban Membaca Al-Qur’an bagi PNS dan Masyarakat Dompu yang beragama Islam.
Dampaknya, peraturan inilah yang mengganjal Pak Ali untuk mencalonkan diri sebagai Kades (Kepala Desa). “Secara kasarnya, pencalonan saya dibatalkan. Dibatalkan oleh peraturan yang Au Nggahi Ndai (semaunya) tadi, tegasnya.
Pak Ali juga menyayangkan, karena masalah utama Dompu adalah Dou ma Da rere (orang Miskin/ kemiskinan), bukan pada masalah akhlak. Karenanya dia berharap, ke depan, pemerintah untuk lebih memikirkan permasalahan mendasar masyarakatnya dari pada sekadar formalitas, seperti bisa mengaji.[]