Aceh Lauser Antara (ALA)

Oleh Mellyan

Perkembangan zaman, semangat desentralisasi serta kemajuan berfikir mempengaruhi masyarakat dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk mencari ciri khas atau identitas yang bisa menandakan etnisnya.

Jika pulau Jawa terkenal dengan batiknya, Aceh pesisir dengan kasab dan songket maka masyarakat yang menamakan dirinya Aceh Lauser Antara (ALA) ini punya kebanggaan tersendiri, yaitu motif kerawang yang biasanya terdapat pada pakaian adat, pesta pernikahan, ukiran rumah dan mesjid kecil yang biasa disebut meunasah oleh masyarakat Aceh.

Menurut Mustafa AK ketua Majelis Adat Aceh Gayo (MAAGO), Setiap warna dari motif kerawang ini mempunyai makna tersendiri, warna hitam yang melambangkan tanah dipakai oleh seluruh lapisan masyarakat atau rakyat jelata. Warna kuning khusus dipakai oleh para reje (raja). Reje yang dimaksud adalah orang yang memimpin sebuah kelompok. Seorang Bupati, Camat bahkan Geuchik juga disebut reje. Warna merah malambangkan api, dipakai oleh cerdik cendikiawan, orang-orang pintar serta berilmu pengetahuan. Sedangkan putih melambangkan angin dipakai oleh para alim ulama. Warna asli motif kerawang hanya empat, namun seiring perkembangan zaman kerawang bisa dikreasikan dengan berbagai macam warna seperti biru, hijau, ungu, dan merah muda.

Motif kerawang cendrung menceritakan alam dan tumbuh-tumbuhan. Ada yang disebut dengan kekacang atau kacang-kacangan, ulen-ulen (bulan), kapas, bintang, emun berangkat (awan berarak) bermakna persatuan karena dikiaskan awan itu selalu bergerak bersama-sama, Seperti pepatah yang terkenal dalam masyarakat Gayo :

Beloh sara loloten, mewen sara tamunen (pergi bersama-sama berhenti juga bersama-sama)

Selain itu ada motif tapak sleman, yaitu tapak nabi Sulaiman bearti kepemimpinan.

Mustafa menceritakan, sebelum benang dan mesin jahit diproduksi seperti sekarang masyarakat Gayo menggunakan teknik menyulam dan memanfaatkan serat tumbuh-tumbuhan seperti nenas, jedem atau pandan berduri, we (rotan), kreteng (sejenis kulit pohon), kulet bebaro dan surol

Sesuai perkembangan zaman, kerawang pun ikut berubah dengan munculnya corak dan berbagai benda kreasi kerawang.

Mengenai modifikasi sah-sah saja, karena itu proses kreatifitas. Asalkan tidak menghilangkan ciri asli, tambah Musatafa.

Begitu juga dengan model pakaian adat yang dulu berlengan pendek, sekarang disesuaikan dengan syariat islam yang dijunjung di negeri Serambi Mekkah ini.

Sudah sewajarnya adat mengikuti syariat, ujar Mustafa.

Ia sangat bersyukur karena sekarang masyarakat sudah sadar untuk terus melestarikan kerajinan kerawang. Dan sangat berharap generasi muda mampu mempertahankan sekaligus melestarikan adat tersebut, karena kerawang adalah aset berharga identitas suku Gayo.

Karena apapun cerita, secara kesukuan kalau tidak dipertahankan bisa hilang identitasnya. Dan hal itu dilakukan bukan untuk bersombong-sombong, hanya sebagai identitas diri saja, lanjutnya.

Oleh sebagian besar masyarakat, motif kerawang dianggap sebagai warisan leluhur yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Namun perdebatan mengenai motif karawang terus bergulir.

Seperti yang diungkapkan oleh Mustafa, walaupun tidak ada yang tahu kapan tepatnya masyarakat Gayo mengenal atau menciptakan kerawang, tapi kerajinan tersebut sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

Zakaria Cibro, seorang pengrajin kerawang asal kecamatan Bebesen yang terletak sekitar satu kilo meter (km) dari pusat kota Takengon mengungkapkan hal senada. Kerawang adalah warisan leluhur yang sudah ada sejak zaman kerajaan Linge.

Linge adalah kerajaan kecil yang diberi otonomi khusus mengurus daerahnya sendiri namun tetap tunduk kepada sultan Aceh. Sekarang bekas kerajaan itu disebut desa Linge.

Kalau mau buktinya lihat saja di daerah Linge, disitu ada kuburan kuno yang diukir motif kerawang, ujarnya.

Menurut Fikarwin Zuska, yang merupakan masyarakat asli Gayo dan dosen Antropologi Universitas Sumatera Utara (USU), motif kerawang muncul sebagai identitas masyarakat Gayo pada saat rezim soeharto, secara tidak langsung juga muncul karena kepentingan politik.

“Sebenarnya ini semua tercipta karena sebuah moment Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) tahun 1972. Semua kabupaten di Aceh memamerkan ciri khas dan kebudayan masing-masing. Pada saat itulah terfikir apa yang bisa dijadikan identitas dari tanah Gayo ini. Jadi, ciri tersebut tercipta karena proses pencarian identitas dan terfikir karena sebuah moment.

Menurut Fikarwin, Akses menuju dataran tinggi Gayo baru dibuka tahun 1900-an melalui jalur Bireuen Aceh Jeumpa, lima jam perjalanan menggunakan mobil ke Banda Aceh. Sebelumnya masyarakat kesulitan jika harus keluar daerah. Bahkan tahun 1940-an sebagian penduduknya masih menggunakan pakaian dari kulit kayu, menjadi sebuah misteri sejak kapan masyarakat Gayo menggunakan kerawang sebagai identitas dan dijahitkan sebagai motif pakaian.

Walaupun mungkin saja dulu motif kerawang diukir dirumah-rumah, tapi penggunaan sebagai identitas masih menjadi tanda tanya besar, ungkapnya. Bersambung…

BAGIKAN: