Mas Hikmat Budiman melempar tautan video di grup whatsapps yang saya ikuti. Video itu berisi seorang lelaki muda mengaji kitab kuning ala sorogan berbahasa Jawa. Sebagian wajah pemuda itu dirayapi tato. Sepertinya dari komunitas anak-anak punk. “Ini Islam Nusantara,” katanya melempar canda, Jumat sore. Islam Nusantara adalah penamaan bagi cara pandang keagamaan yang berusaha mengakomodasi keragaman budaya-budaya lokal dan dipopulerkan komunitas Nahdliyin.
Di grup WA itu, ia memang sering melempar canda. Satu-dua kali bicara serius soal masyarakat sipil dan kebudayaan. Saya masih ingat lontaran pikirannya tentang masyarakat sipil. “Dalam kerangka liberal, civil society itu ya cuma nampung apa yang nggak masuk ke negara (political society) dan ekonomi pasar kapitalis. Lembaga-lembaga yang memediasi civil society dan negara dan pasar itu idealnya ya CSO itu. Agar nggak remuk oleh state dan nggak dilahap kapitalis rakus.”
Perbincangan tentang perlunya kembali memberdayakan masyarakat sipil mula-mula datang dari Mas Suaedy. Ia resah dengan situasi yang berkembang sekarang ini. “perlu ada revitalisasi gerakan masyarakat sipil,” katanya. Gerakan masyarakat sipil yang lebih independen dan memiliki basis massa makin berkurang. Apa yang disebut masyarakat sipil jadi rusak tak karu-karuan dengan UU Ormas. Saya tidak tahu apakah video pemuda punk tadi ditujukan juga untuk menopang gagasan Mas Suaedy. Terlebih Mas Suaedy sangat serius mempromosikan dan meneliti Islam Nusantara.
Berkebalikan dengan Mas Suaedy, Mas Hikmat mengaku tak pernah ambil pusing dengan urusan NU atau Muhammadiyah atau kelompok-kelompok keagamaan yang lain. “Saya beragama Islam tapi dalam hal organisasinya saya sepenuhnya agnostik,” tulisnya dalam buku yang akan dipersembahkan bagi almarhum Pak Bisri Effendi.
“Saya tumbuh dari lingkungan keluarga muslim yang baik-baik saja, tanpa pretensi sofistikasi semantik dan teologis seperti teman-teman yang berakar dalam tradisi pesantren. Entah apa yang merasuki dua orang itu sehingga keduanya mau mengajak saya mengurus sebuah lembaga yang wilayah dan sasaran kerjanya sama sekali tidak pernah saya akrabi sebelumnya.” Dua orang yang dimaksud adalah Almarhum Pak Bisri Effendi dan Mas Suaedy.
Berbeda dengan isu-isu keislaman, kebudayaan mungkin menjadi salah satu bagian yang penting dalam hidupnya hingga hari ini. Sejak muda ia menguliti isu ini. Lubang Hitam Kebudayaan yang diterbitkan Kanisius 2001, menandai perhatiannya yang serius pada budaya massa dan budaya populer di Indonesia.
Perkembangannya merupakan situasi yang masuk akal di tengah gegap gempita Orde Baru dan industrialisasi. Lalu orang penat, suntuk, dan butuh hiburan. Belakangan tema-tema yang dilihatnya berubah seiring perubahan relasi negara dan kebudayaan. Lihat saja tulisan-tulisannya pada situs pribadinya www.hikmatbudiman.id. Paling akhir ia menulis tentang KPK. “Versi panjang omelan saya tentang KPK. Monggo!” katanya.
Saya memang tak pernah mendapat bimbingan langsung baik menulis maupun riset seperti beberapa teman lain. Tapi, saya gemar membaca tulisan-tulisannya yang bernas, kokoh, dan sering melempar diksi yang kadang tidak terduga. Saya belajar dari sini. Dari kisah teman-teman, Mas Hikmat memang penyunting dan mentor yang disiplin.
Saya mengenal pertama kali Mas Hikmat mungkin sejak 2003. Ia menjadi pengurus Yayasan Desantara. Bersama almarhum Pak Bisri Effendi, dan Mas Suaedy, ia menjadi “mentor” saya. Saat itu saya menjadi Pemimpin Umum Majalah Syirah dan mewakili rapat-rapat rutin dengan yayasan. Ia tak hanya teliti soal konten majalah, tapi juga hal-hal manajemen. Ia teliti memeriksa arus kas dan rencana bisnis yang kami. Majalah Syirah diterbitkan Yayasan Desantara.
Beberapa bulan lalu kami bertemu kembali setelah sekian tahun tak bertemu untuk membicarakan Desantara. Ia bersemangat. Ia masih seperti dulu. Ceplas-ceplos, terbuka, dan sering melempar guyon. Mas Hikmat berpendirian teguh dan kadang tampak saklek. Tapi ia orang yang konsekuen, terbuka, dan perhatian. Di sela-sela obrolan, ia pernah bilang ingin menghidupkan lagi Yayasan Interseksi, lembaga yang dirintis dan didirikannya. Saya kira Interksesi adalah identitasnya yang lain.
Jumat sore itu, rupanya sisa waktu yang masih dapat ia nikmati hingga sore berikutnya. Beberapa teman bilang mereka masih bercakap-cakap lewat WA hingga Jumat malam. Keanehan datang sebab ia beberapa kali salah ketik, sesuatu yang jarang terjadi. Minggu pagi, saya mendapat kabar, Mas Hikmat pergi pada Sabtu sore di rumahnya di Tanjug Barat. Semua terkejut. Dan untuk itu saya menulis ini: Lubang Hitam Kematian.
Kalimulya, 18 Juli 2021
Alamsyah M Djafar