Menurut Syahrun Latjupa, salah seorang peneliti sosial tentang Masyarakat Adat Tompu, selama ini ada konsepsi berbeda tentang alam antara orang Tompu, masyarakat sekitar dan negara. Bagi orang Tompu, antara alam dengan manusia itu satu-kesatuan hidup yang tidak bisa dipisahkan. Alam, bukan semata-mata sebagai objek dari manusia, tapi dia juga merupakan subyek yang tidak bisa secara terus menerus dieksploitasi.
Sebab, di situ melekat juga hak hidup bagi makhluk lainnya, seperti hewan darat dan burung-burung.
Selain itu, kata Syahrun, alam juga merupakan tempat hidupnya roh-roh leluhur. Jadi, setiap mereka membuka hutan untuk kegiatan perladangan, selalu ditandai dengan suatu kegiatan ritual untuk memindahkan roh leluhur dari tempat tersebut.
Saat melaksanakan ritual, mantra yang biasa mereka gunakan berbunyi seperti ini: Bagi para Viata (roh-roh leluhur) yang ada di tempat ini, kami mohon pamit pada Anda untuk pindah ke tempat lain karena tempat ini akan kami pakai dulu.
Setelah itu, mereka menancapkan parang pada sebatang pohon kayu. Bila parang tersebut tetap bertahan sampai beberapa waktu yang ditentukan, itu artinya mereka diizinkan untuk membuka ladang di tempat tersebut.
Tapi jika parang tersebut terlepas dan jatuh ke tanah, itu tandanya para Viata tidak memperbolehkan warga membuka ladang di tempat tersebut.
Tradisi seperti itu sebenarnya adalah dalam rangka mempertahankan keseimbangan kosmos di wilayah itu. Dimana, antara makhluk yang satu dan lainnya saling menghormati.
Konsep seperti ini tidak berlaku bagi sejumlah perusahaan-perusahaan besar lainnya. Mereka menempatkan alam sebagia objek, yang harus dikelola secara terus-menerus tanpa perlu diistirahatkan. Akibatnya, terjadi krisis lingkungan yang berkepanjangan.
Untuk menguji kearifan orang Tompu dalam hal pengelolaan sumber daya alam, ada beberapa temuan penting di lapangan yang ia peroleh dan menurutnya menarik untuk di sebarkan. Ternyata, sejumlah satwa endemik Sulawesi, seperti Anoa dan burung Rangkong atau Allo, itu justru banyak diketemukan dekat ladang-ladang penduduk setempat. Itu artinya, satwa-satwa itu butuh kehadiran manusia di tempat itu, paparnya.
Manusia yang dimaksud, lanjut dia, bukanlah seseorang yang datang melakukan kegiatan eksploitasi secara besar-besaran, tapi mereka adalah manusia yang memiliki hubungan historis dengan wilayah tersebut, seperti orang Tompu.[]