Berbicara tentang Nanggroe Aceh Darussalam selalu identik dengan Syariat Islam, GAM, Tsunami, Konflik, Kemerdekaan, DOM, Represi Orde Baru, dan lebih spesifik lagi adalah “Penjajahan Jawa. Narasi-narasi dominan demikian sering terungkap, terbaca, dan bahkan tereduplikasi di Aceh. Demikian beberapa hal yang terungkap dalam “Pelatihan Jurnalisme Perempuan Multikultural berbasis Etnografi (PJPMBE) yang diselenggarakan DESANTARA Foundation pada November 2008 lalu di desa Tamidelem, Takengon, Aceh Tengah –atau biasa disebut sebagai Tanah Gayo.
Selain menemukan sisi-sisi lain dari Aceh, dengan penekanan pada perspektif perempuan dan cultural studies, dari pelatihan yang menggabungkan teknik jurnalistik dan penelitian etnografi itu terbongkar permasalahan minoritas dalam minoritas dan euforia nasionalisme serta demokrasi lokal. Seperti dalam isu pemekaran wilayah ALA ABAS (Aceh Leuser Antara, Aceh Barat dan Selatan) yang begitu nyaring didengungkan di wilayah Aceh Tengah melalui baliho, poster, kalender, dan aneka media lainnya. Bahkan, fenomena partai lokal yang marak di Aceh Pesisir tidak begitu nampak di Aceh Tengah. “Jika Aceh ingin merdeka, kami juga ingin punya propinsi sendiri, demikian ucap salah satu tokoh muda yang hadir di pelatihan tersebut mengenai ihwal wacana Propinsi ALA ABAS.
Kehendak pemekaran wilayah ini, secara umum, dilatari dua hal: politis dan kultural. Alasan politis lebih merupakan sikap protes mereka atas ketidakmerataan pembangunan antara Aceh Tengah dengan Aceh Pesisir. Sementara alasan kultural tersandar pada argumen bahwa mereka yang selama ini memiliki kebudayaan, bahasa, dan nilai tersendiri sering termarjinalisasi dan terepresi secara kultural oleh Aceh pesisir.
Selama ini, ada pembayangan yang ‘keliru’ mengenai Aceh. Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas 23 wilayah kabupaten dan dihuni oleh 9 suku bangsa yang berbeda sering kali dibayangkan sebagai suatu entitas tunggal. Berbagai diversitas yang ada seolah menjadi subjugated knowledge yang tergilas ketika Aceh Pesisir tampil secara dominan dan menjadi representasi tunggal dari ke-Aceh-an. Hingga muncul kesan elit pemerintah lokal pasca perundingan Helsinki sebagai sosok yang arogan dan menolak keberagaman. “Kepada siapa pun mereka berbahasa Aceh, celetuk salah satu pemuda Gayo.[]