Riza Bahtiar*
Tanggal 23 Juli sering diperingati sebagai bulan dijungkirkannya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari kursi kepresidenan. Betapa tidak, dua puluh tahun silam peristiwa tersebut menandai fase betapa dinamisnya perpolitikan Indonesia pasca Reformasi. Bagi kalangan pro-demokrasi, Gus Dur memberikan legacy paling penting terkait dengan penghapusan dwi-fungsi ABRI, penghargaan pada demokrasi dan HAM, dan penghormatan pada kelompok marjinal. Jejaring Gus Dur tentu bukan hanya nasional tetapi juga internasional dan terkait dengan tokoh-tokoh penting dunia.
Salah satu di antara jejaring intelektual internasional Gus Dur adalah Bassam Tibi. Tibi adalah intelektual Jerman kelahiran Damaskus. Rupanya antara Tibi dan Gus Dur pernah terjalin hubungan intelektual cukup dalam. Dalam curriculum vitae-nya disebutkan bahwa Tibi sempat direkrut oleh Belanda (2004) dan Austria (2006) saat kepresidenan keduanya di Uni Eropa sebagai juru bicara Euro-Islam dan konsultan untuk relasi Islam-Eropa. Tertulis juga bahwa dia berkonsultasi dengan almarhum Gus Dur yang merupakan temannya.
Bassam Tibi melukiskan pandangannya mengenai Gus Dur dalam bukunya Der Neue Totalitarismus. Heiliger Krieg und westliche Sicherheit (Darmstadt: Primus, 2004, h.159-160). Tampaknya Tibi sangat menghormati figur Gus Dur dengan menyebutnya sebagai pembaru besar Islam Indonesia (der große indonesische Islamreformer), dan di lain pihak, dia agak sewot bahkan sinis terhadap Amien Rais. Dia bercerita bahwa pada 2002 di kampus Universitas Islam Negeri Hidayatullah Jakarta berlangsung acara peringatan 11 September yang berisi Dialog, tepat setahun setelah peristiwa nahas itu terjadi. Amien Rais yang merupakan Ketua MPR, menurut Tibi, diam seribu basa atas peristiwa tragis tersebut. Tibi juga menyayangkan diturunkannya Gus Dur oleh kalangan yang disebutnya Islamis institusional. Amien Rais digolongkan Tibi masuk kategori tersebut.
Dalam acara tersebut Tibi memuji Gus Dur yang dia lukiskan demikian: ‘Der aufgeklärte Muslim Abdulrahman Wahid sprach auf der angeführten Dialogveranstaltung zum Gedenken des 11. September und trat nicht nur für einen offenen Islam, sondern auch für einen verantwortungsvollen
Dialog zwischen den Zivilisationen ein.’ (Abdurrahman Wahid, Muslim nan tercerahkan, dalam acara dialog tersebut berbicara mengenang peristiwa 11 September, dan [bicara] bukan hanya upaya untuk menuju Islam yang terbuka, tapi juga upaya dialog nan bertanggung jawab antar peradaban).
Adapun tentang Amien Rais, Tibi sempat mewawancarai yang bersangkutan, namun tampaknya ia tak puas atas wawancara tersebut karena dianggapnya pernyataan Amien menutupi sesuatu. Tibi melukiskan pengalaman wawancaranya ini di dalam catatan kaki No.7 dalam Bab 4 buku Der Neue Totalitarismus-nya: Bei meinem Indonesien-Aufenthalt im März 1998 konnte ich
Amin Rais in seinem Büro als Chef der Mohamadiiya-Bewegung zwei Stunden lang interviewen. Dabei bestritt er die Richtigkeit der über ihn verbreiteten Einschätzung, er trete
in Indonesien für einen »islamischen an der Schari’a orientierten Staat« ein. Andere indonesische Politiker, denen ich von dem Interview berichtete, verrieten mir, dass Armin Rais sich vor solchen Begegnungen über seine Gesprächspartner informiert und entsprechend angepasst mit ihnen spricht. Vor dem Interview soll er mein Buch The Challenge of Fundamentalism. Political Islam and the New World Disorder, Berkeley 1998 (aktualisierte Neuauflage 2002) gelesen und meine Denkweise kennen gelernt haben; entsprechend scheint er mit mir in dem angeführten Interview gesprochen zu haben. (Selama bermukim di Indonesia, pada Maret 1998, saya berkesempatan mewawancarai Amien Rais cukup panjang selama dua jam di Kantornya sebagai Ketua [Umum PP] Gerakan Muhammadiyah. Dia menyangkal kebenaran penilaian umum bahwa dia menapakkan sebuah “Islam yang berorientasi pada Negara Syariah” di Indonesia. Politisi Indonesia lainnya yang saya kenal memberitahukan dalam sebuah wawancara kepada saya bahwa Amien Rais sebelum pertemuan wawancara saya itu tentu diinformasikan tentang lawan bicaranya dan dia bicara menyesuaikan dengan ide pewawancaranya. Sebelum wawancara dia tentu membaca buku saya The Challenge of Fundamentalism. Political Islam and the New World Disorder, Berkeley 1998 (edisi 2002 diperbarui) dan mempelajari cara berpikir saya. Karena itulah, [ide] bicaranya kepada saya tampak seperti dalam wawancara yang dikutip di atas)
Bassam Tibi memiliki banyak gagasan yang orisinal. Idenya yang paling ikonik adalah konsep Euro-Islam. Dalam diskursus keislaman biasanya gagasan Euro-Islam disandingkan pada dua figur yakni Tibi sendiri dan Tariq Ramadan. Tetapi, sejatinya dua figur ini memiliki konsep yang berseberangan. Chi-chung (Andy) Yu dalam bukunya Thinking Between Islam and the West (2014) mendedahkan dan membandingkan gagasan dua figur ini. Yu menyebutkan bahwa konsep Tibi berupaya merasionalkan Islam dan menjadikannya agama personal di ranah privat, sementara Ramadan dianggapnya menekankan masyarakat komunikatif di mana dialog antara muslim dan non-muslim tentang perkara publik adalah hal krusial.
Yang menarik, Bassam Tibi punya hubungan yang agak pelik dengan Edward Said. Tibi menulis karya pertamanya Die Arabische Linke (Kiri Arab) yang terbit pada 1969. Buku ini menjadi landasan Edward Said mengundangnya ke Amerika Serikat untuk berbicara tentang kiri Arab dan lantas berkontribusi pada bukunya The Arabs of Today. Perspectives for Tomorrow
(1973). Kiri Arab kritis terhadap Islam Salafis dan Islamisme. Titik perpisahannya adalah tercerai-berai dan terhinanya Arab yang kalah dalam Perang Enam Hari 1967. Tahun menentukan ini membuka mata generasi Tibi dan memberikan janin bagi pemikiran baru yang melampaui ilusi dan romantisme irasional nasionalisme Pan-Arab. Saat itu, Said penuh optimisme melihat Kiri Arab sebagai “perspektif masa depan” Arab.
Belakangan, Tibi tak lagi berada dalam gerbong Teori Kritis nan Marxis longgar dari Mazhab Frankfurt (Tibi adalah murid dari Theodor Adorno dan Max Horkheimer). Karena mengalami krisis identitas ia mendalami sejarah Islam dan melihat keterbatasan mazhab Frankfurt tersebut dan beralih ke perspektif Blochian. Memang, di sinilah titik definitif dari teori Kritis yang masih melihat dalam kerangka determinisme ekonomi. Ernst Bloch, meski seorang Marxis, dia membukakan pikiran Tibi tentang agama sebagai entitas tersendiri yang tak bisa ditundukkan pada determinisme ekonomi. Bloch memberi buku karyanya berjudul Avicenna und die Aristotelische Linke (Ibn Sina dan Kiri Aristotelian) (1963) pada Tibi, sehingga membawanya pada perluasan cakrawala tradisi intelektual Islam sendiri. Tibi menggandengkan kegagalan tradisi rasionalisme Islam—lazim dihubungkan dengan Averroes—dalam sejarah Islam Abad Pertengahan dengan kekalahan Kiri Arab dalam Perang Arab-Israel 1967. Kekalahan Kiri Arab merupakan awal dari pasang naiknya Islamisme yang digolongkan Tibi termasuk dalam gerbong totalitarianisme.
Totalitarianisme Islamisme bagi saya sendiri merupakan gagasan Tibi yang paling kritis tapi juga paling banyak tidak dimengerti. Saya tak akan mengulas diskursus totalitarianisme ini di sini, melainkan hanya akan menyinggungnya bahwa gagasan ini yang membawa Tibi kecewa pada Edward Said. Menurut Tibi, Said salah memahami fenomena 9/11 dengan menganggapnya hanya sebagai kelakuan dari sekelompok anggota geng orang gila. Said menyebut ini sebagai “crazed gangs”. Tibi tak habis pikir, bagaimana mungkin Muhammad Atta dan timnya yang secara cermat merencanakan teknis-teknis lapangan operasi WTC dianggap orang gila. Atta sama sekali tidak gila, tegas Tibi. Tibi menengarai bahwa ada pandangan-dunia dan nilai-nilai yang diyakini oleh kelompok Atta sebagai bagian dari ideologi jihadisme Bin Laden. Itulah pandangan-dunia yang berakar pada Jihadisme global Qutb dan Islamisme al-Banna yang pada prinsipnya merupakan ideologi totalitarianisme. Said yang tak paham seluk-beluk Islamisme memilih menyebut penganut ideologi tersebut sebagai orang gila.
Orientalisme menjadi label paling ampuh yang sejatinya paralel dengan istilah takfir yang dilancarkan kaum Islamis. Labelling ini masih bersaudara dengan label ‘Islamofobia’ dan ‘Islam bashing’.
Ada sisi lain lagi dari gagasan Said yang menjadi serangan pada Tibi. “Orientalisme” menjadi labelling. Orientalisme menjadi label paling ampuh yang sejatinya paralel dengan istilah takfir yang dilancarkan kaum Islamis. Labelling ini masih bersaudara dengan label ‘Islamofobia’ dan ‘Islam bashing’. Tiga label ini akrab ditujukan pada Tibi. Tibi tidak menolak tegas gagasan Said yang brilian dalam Orientalisme, tetapi yang jadi masalah ia menjadi cudgel (pentung). Bagi Tibi melemparkan tuduhan Islamofobia pada pihak yang mengkritisi jihad global tak memiliki kontribusi pada dialog tetapi merupakan bagian dari perang gagasan. Tibi merupakan orang yang kritis pada “jihad global” dan “perang gagasan”.
Lebih jauh, Tibi menengarai bahwa problem dari gagasan Said adalah melihat pengetahuan hanya dalam kerangka dominasi, kontrol, hegemoni. Pendekatan Foucaultian memang sejatinya demikian. Bagi Tibi yang menggenggam teguh tradisi pemikiran Descartes, Kant, dan Weber tentang adanya obyektifitas pengetahuan dan kebenaran, ia tentu saja percaya bahwa ada kebenaran yang niscaya bisa didekati terlepas seseorang itu berasal dari ‘Timur’ atau ‘Barat’. Kebenaran ini hanya bisa didekati dalam kerangka dialog bertanggung jawab dan jembatan antar peradaban, bukan dalam kerangka kecurigaan dominasi dan hegemoni. Saya kira persis pada visi itulah Gus Dur dan Bassam Tibi bertemu. [ ]
*Penulis Associate Desantara; tinggal di Kalimantan Selatan