Lexus dan Pohon Zaitun

desantara-default

Desantara.or.id

Sejumlah ulama mulai cemas dengan praktik perdukunan Ponari. Mereka cemas, batu petir Ponari akan membawa kemusyrikan atau penyekutuan terhadap Tuhan. Orang jadi lebih percaya kepada “kesaktian” Ponari daripada penyembuhan dari Tuhan.

Sementara itu, pemerintah menolak tegas anggapan, bahwa fenomena Ponari akibat kegagalan memperluas akses dan kesetaraan layanan kesehatan kepada rakyat.

Fenomena Ponariisme mengingatkan saya pada artikel The Lexus and The Olive Tree (Lexus dan Pohon Zaitun), karya wartawan The New York Times Thomas Friedman. Friedman menyoroti bagaimana modernitas diperlawankan dengan tradisionalitas, sesuatu yang global dilawankan dengan puak. Dunia maju dengan dunia terbelakang. Sebuah dikotomi abadi yang selalu menjadikan yang pertama sebagai yang terbaik daripada yang kedua.

Lexus, menurut Friedman, mewakili hasrat purba manusia akan makanan, pakaian, kemakmuran, dan modernisasi. Sementara pohon zaitun merepresentasikan segala sesuatu yang melabuhkan kita, mengidentifikasi kita.

Indonesia tengah berupaya menciptakan lexus dan mengendarainya. Namun, kita tahu, pohon zaitun di negeri kita masih kuat. Salah satu yang mengidentifikasi dan melabuhkan kita adalah kepercayaan terhadap hal-hal yang mistis dan tak kasat mata.

Salahkah itu? Saya katakan, tidak ada yang salah terhadap kepercayaan tersebut. Negeri ini tumbuh dan dibangun di atas kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib. Barat pun mulai menghargai apa yang mulanya dianggap irasional.

Majalah TIME edisi 23 Februari lalu melaporkan, bagaimana kekuatan iman atau kepercayaan terhadap sesuatu yang irasional, mulai dipertimbangkan sebagai salah satu varian penyembuhan. Salah satu penelitian menyebutkan, mereka yang tidak pernah ke Gereja memiliki risiko kematian dua kali lebih besar dalam waktu delapan tahun ketimbang yang rajin ke gereja.

Di Amerika Serikat, ilmuwan dan rohaniwan mulai menelaah dan menawarkan sistem agar dunia kesehatan dan keagamaan bisa bekerja bersama. Pasien mendapat kesempatan untuk dibimbing oleh rohaniwan sebagai bagian dari proses penyembuhan.

Saya melihat, sesuatu yang spiritualistis, entah agama atau kepercayaan tradisional, berfungsi menciptakan harapan. Harapan, diakui atau tidak, adalah bagian dari penyembuhan, atau setidaknya memperpanjang hidup. Agama Islam, agama mayoritas negeri ini, mengajarkan: ‘berprasangka baiklah (optimis) terhadap Tuhan, karena Tuhan melakukan sebagaimana prasangka umatnya.’

Kembali kepada Ponari. Saya memandang Ponari tidak perlu dilarang untuk terus berpraktik. Lexus (praktik kesehatan modern) tidak perlu melindas pohon zaitun (praktik kesehatan tradisional). Pemuka agama juga tidak perlu ikut-ikutan panik dan menuding bahwa apa yang dilakukan Ponari bisa menghancurkan keimanan.

Saya justru menyarankan agar pemerintah melakukan kajian dan melihat kemungkinan, apakah yang dilakukan Ponari bisa menjadi salah satu varian pendamping bagi penyembuhan pasien.

Sekalipun ternyata Ponari tidak sakti, saya melihat, setidaknya Ponari sudah menumbuhkan harapan akan kesembuhan. Sesuatu yang kian hari kian hilang dari diri rakyat kita, karena keputusasaan terhadap pengobatan modern.

Bagi para ulama, ‘membunuh’ fenomena Ponari akan sia-sia belaka. Bukankah dunia keagamaan kita mengenal tradisi umat yang berkunjung ke kiai dan makam wali-wali untuk berdoa dan meminta berkah? Tradisi dan fenomena Ponariisme memiliki benang merah: pencarian harapan.

Saya pribadi berprasangka baik. Andaikata memang Ponari benar-benar bisa menyembuhkan, saya lebih suka percaya itu adalah anugerah Tuhan kepadanya. Bukan anugerah setan atau makhluk gaib lainnya.

Jika memang ada kekhawatiran praktik Ponari menggerus keimanan, saya justru menyarankan, agar para ulama hadir di rumah Ponari. Para ulama sebaiknya mendampingi Ponari dan menjelaskan kepada umat, bahwa jika pun mereka sembuh, itu bukan karena Ponari. Kesembuhan diberikan Tuhan melalui jalan apa saja, termasuk melalui dokter atau Ponari sekalipun.

Tak kalah penting juga adalah bagaimana agar Ponari tidak tersandera dengan ‘anugerah’ yang dimilikinya. Pemerintah, pendidik, orang tua, dan orang-orang di sekitar Ponari harus berpikir bagaimana dia tidak kehilangan hak-hak sebagai anak-anak. Ponari tetap Ponari.

Oryza AW adalah jurnalis independen dan kontributor lokal Desantara, kini menikmati hari-hari bahagia di Jember, Jawa Timur.

BAGIKAN: