Puluhan jemaat Gekindo (Gereja Kristen Indonesia) Getsemane Jatimulya tampak khusuk memanjatkan doa di dalam gereja yang beberapa asbesnya sudah jebol. Tak ada kursi, tak ada pula mimbar yang selama ini biasa mereka pakai saat memanjatkan doa. Semuanya raib dicuri orang.
Sehari sebelumnya, 14 Juni 2008, di tempat itu pula, puluhan anggota Kepolisian Resort Bekasi dan Sektor Tambun dibantu Trantib (ketentraman dan ketertiban) melakukan pembongkaran terhadap gereja Gekindo Getsemane yang terletak di Jl. Melati Raya Ujung, Desa Jatimulya, Kec. Tambun Selatan, Bekasi. Terlihat pula Camat Tambun, Drs. H. Tuftana, MM dan Kapolsek Tambun Selatan.
Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Saat itu, Pendeta Pestarya (Gekindo) sendiri tidak berada di lokasi. Ia baru ke sana setelah ditelepon oleh salah seorang warga sekitar pukul 09.00 WIB. Pendeta Pestarya yang kaget itu kemudian menghubungi para jemaatnya untuk segera berkumpul di lokasi. Beberapa protes dilakukan, tapi Camat Tambun tak menggubrisnya.
Begitu tiba di lokasi, tak ada lagi yang bisa dilakukan mereka, kecuali sebelum pembongkaran dilakukan, Pestarya meminta kepada Camat Tambun untuk diberi kesempatan berdoa terlebih dahulu. Doa pun berlangsung dengan singkat, diiringi tetesan air mata para jemaat yang tak kuasa menerima itu semua. Usai doa, Camat langsung memerintahkan Satpol PP untuk membongkarnya: Bongkar! Begitu teriaknya.
Cerita Sebelumnya
Bermula dari tanggal 8 Juni 2008. Waktu itu, Pendeta Pestarya dengan tiga jemaatnya melakukan kunjungan ke salah satu jemaat Gekindo yang sedang sakit. Seusai kunjungan, ia bersama tiga jemaatnya, ingin melewati Gereja Gekindo yang sudah disegel sejak 30 Oktober 2005 yang lalu. “Lewat gereja kita yuk, kangen juga ke sana,” ajaknya. Sejak disegel itu pula, berminggu-minggu lamanya mereka melaksanakan kebaktian di jalan.
Betapa terkejutnya mereka sesampainya di sana. Ia melihat, pagar gereja sudah tidak ada. Merasa penasaran, mereka kemudian masuk ke dalam gereja. Sebagian nako dan pintunya sudah tiada. Mereka pun baru sadar bahwa seisi gereja telah raib. Bangku-bangku, mimbar, meja, dan yang lainnya. “Ya pokoknya semua barang yang memang kami butuhkan setiap beribadah,” tutur Pendeta Pestarya. Dia kemudian mengajak jemaatnya untuk berdoa di atas serakan puing-puing di dalam gereja. “Sudah lah, tak usah menangis. Semuanya sudah seperti ini,” katanya menenangkan jemaat usai berdoa. {mosgoogle}
Dua hari setelah kedatangan mereka ke gereja, tepatnya tanggal 10 Juni 2008, pihak kelurahan Jatimulya mengeluarkan surat buat Gekindo dan HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), yang juga berada di Jl. Melati Raya Ujung. Surat bernomor Ag. 32/165/VI/2008 itu berisi, undangan rapat di kantor Kepala Desa Jatimulya pada pukul 14.00. Undangan itu didasarkan pada surat Camat Tambun Selatan nomor 300/35/Trantib tertanggal 20 Januari 2006 tentang himbauan ke III dan pengumuman Bupati Bekasi nomor 452.2/300/Huk tertanggal 1 Maret 2006.
Pendeta Pestarya Hutajulu br Silalahi (Gekindo) dan Pdt. Erwin Marbun (HKBP) pun berangkat ke kelurahan. Di kelurahan, telah hadir Kepala Desa Jatimulya, utusan Camat Tambun Selatan (Firman dan Untung Subekti), Suparto dari kepolisian Sektor Tambun Selatan, Kamdani dari Koramil, Ust. Fauzi Muclas dan Ketua RT 18 Hidayat. Dalam rapat tersebut, pihak kecamatan menyampaikan perintah kepada kedua pendeta untuk mengosongkan rumah tinggal yang dijadikan rumah ibadah dari ornamen-ornamen yang ada sampai batas waktu Jumat, 13 Juni 2008 pukul 16.00 WIB. Karena, pada Sabtu pukul 09.00 akan diselenggarakan pembongkaran oleh pihak Kecamatan.
Seusai dari kelurahan, kedua pendeta meminta saran dari kuasa hukum Tim Pembela Kebebasan Beragama (TPKB). Oleh TPKB, jemaat disuruh berkumpul. Pada hari itu juga mereka pun berkumpul. Dari pertemuan dengan TPKB, mereka disarankan untuk ke Polda Metro Jaya dan Komnas HAM. Esok harinya, 12 Juni 2008, mereka ke Polda dan kemudian ke Komnas HAM. Dari Komnas HAM, dua gereja ini mendapat surat rekomendasi kepada kecamatan Tambun Selatan untuk meninjau pembongkaran gereja. Karena, berdasar dari perjanjian tanggal 30 Oktober 2005, lahan dan izin bagi gereja Gekindo dan HKBP belum direalisasikan.
Surat dari Komnas HAM inilah yang kemudian, pada tanggal 13 Juni 2008 diserahkan kepada para pejabat di Bekasi, mulai dari Bupati sampai Kepala Desa. Namun, surat itu tetap tak mampu menolong nasib mereka. Buktinya, tanggal 14 Juni 2008, pihak kecamatan tetap membongkar gereja.[DEPORT]