Slamet Menur, Sebuah Anomali dalam Industri Kesenian

desantara-default

Desantara.or.id

Slamet Abdul Rajat, begitu nama lengkap seniman gaek asal Banyuwangi ini. Seolah tak mau hanyut oleh gegap gempita komersialisasi kesenian, pria berusia 65 tahun ini tetap memegang teguh prinsip realisme dalam berkesenian. Seni yang seyogyanya ambil bagian dalam penyadaran masyarakatnya. Di kalangan para seniman Banyuwangi, Slamet Abdul Rajat populer dengan nama Slamet Menur. Menur adalah nama usaha percetakan dan jasa reklame yang dimilikinya. Walau telah memiliki sumber ekonomi sendiri, Slamet Menur seolah tak mau terlena.

Darah seni yang digulatinya selama lebih dari empat puluh tahunan itu menyemangatinya untuk memberi warna di tengah industrialisasi kesenian di Banyuwangi belakangan ini. Ia pun mendirikan Layar Kumendhung, sebuah yayasan yang mewadahi artikulasi dan idealisme seninya.

Baru-baru ini Slamet memproduksi secara indie beberapa lagu Banyuwangi. Lagu-lagu itu merupakan kompilasi lagu di era tahun 50 hingga 60-an. Hasil ciptaan teman-teman seangkatannya, seperti Fatra Abal, Endro Willis, dan Andang CY. Kompilasi album lawas yang diarransment ulang itu diberinya judul Anglung Soren. Sesuai dengan namanya, Slamet memilih jenis musik anglung untuk mengiringi lagu-lagunya.

Langkahnya memang tergolong berani. Pasalnya, di tengah mayoritas kaset-kaset Banyuwangi yang rata-rata bergenre pop dan disko daerah, Slamet mempertahankan angklung sebagai instrumen musik dominan. Rupanya langkah Slamet bukan tanpa perhitungan matang.

“Saya mau membidik kalangan pedesaan yang merindukan musik lagu macam ini,” ujarnya sambil berharap bisa mengulang kesuksesan lagu-lagu yang sempat berjaya di zaman Lekra, bahkan yang pernah digemari hingga ke pelosok-pelosok desa.

Menikmati Angklung Soren memang terasa beda. Selain musiknya yang khas dan enak di telinga, lirik-liriknya pun lain dengan lagu-lagu di pasaran. Penuh kritik sosial dan nada satir. Mulai dari soal cerita kekejaman kolonialisme, tingginya biaya sekolah, mahalnya harga beras, hingga ajakan kaum muda untuk bangkit melawan.

Bagaimana Slamet Menur membiayai album kompilasinya?

Untuk keperluan produksi 4.500 keping pita-kaset, Slamet Menur yang berencana merilis album keduanya ini telah merogoh koceknya sebesar 45 jutaan. Namun belakangan ia menyadari, rekaman dalam bentuk pita-kaset tak selalu diminati pelanggan. Menyusul makin minimnya penikmat musik melalui tape recorder seiring dengan muncul jenis lain macam CD player di pasaran. ”Angklung Soren masih tersisa 3000 keping,” ujarnya.

Namun demikian, seretnya hasil penjualan ini tak membuat hati Slamet jera. Bahkan album kedua yang berjudul Kapitalis Birokrat ini rencananya bakal dirilis dalam bentuk kepingan compact-disk. Selain berisi kritik sosial yang menjadi ciri khasnya, album keduanya ini, tuturnya, akan dibuat lebih dinamis dengan komposisi campuran patrol, kendang, biola dan saron.

”Kalau terpaksa harus menjual aset hasil usaha, saya rela untuk memodali album kedua ini,” demikian tekad Slamet yang kini tengah berancang-ancang menjual rumahnya demi album ini. Rencananya, melalui hasil penjualan kaset dan VCD albumnya, Slamet Menur berkeinginan mendirikan koperasi bagi para seniman Banyuwangi, mengadakan riset ke desa-desa, hingga membantu para seniman yang kerap diakali para pemodal.

Dedikasi Slamet dalam berkesenian tampaknya tak bisa tergantikan apapun. Tekad kuat untuk menumbuhkan daya kritis masyarakat lewat lirik lagu-lagu kritisnya jelas menyumbang jasa besar. Slamet Menur, memang sebuah fenomena langka dalam anomali industri bisnis kesenian kita. Desantara / Paring Waluyo Utomo, Hasan Basri

BAGIKAN: