Akhir Juni 2003 lalu, Desantara bersama masyarakat Adat Cigugur dan sejumlah LSM/NGO HAM dari Jakarta mengadakan pertemuan dengan Pemda Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, guna mempersoalkan sejumlah kebijakan Pemda yang bersifat diskriminatif. Berikut ini petikan hasil dialog antara Pemda yang diwakili oleh Asisten II, H. Aman Suryaman, Drs. H. Efendi dari Departemen Pendidikan, Drs Ahmad Yusron dari Departemen Agama, PAKEM Kuningan, dan Juju Juanda dari Kantor Catatan Sipil dengan beberapa aktivis LSM.
Ahmad Baso
Tujuan kami di sini adalah untuk membangun langkah bersama dalam menghapus diskriminasi berdasar agama dan kepercayaan. Kita mengambil tempat di Cigugur, untuk berdialog tentang masalah yang terkait dengan hak-hak komunitas, juga bagaimana cerita mereka mengalami diskriminasi. Lalu kami juga ingin berbagi ide dan pengalaman dengan pihak Pemda mengenai sejauh mana peranan Pemda dalam menegakkan hak-hak budaya, agama dan kepercayaan masyarakat di Kabupaten Kuningan ini. Ini penting karena kita tidak bisa menghapus diskriminasi tanpa ada gerakan bersama, entah itu dari kalangan LSM, dari pihak komunitas sendiri dan juga dari pihak pemerintah.
Aman Suryaman (Asda I)
Secara umum kerukunan umat beragama, antar dan intern umat beragama di sini cukup kondusif, sehingga kami tidak menemui hambatan yang berarti. Berkat kerjasama pihak Muspida dan pihak-pihak terkait, kalau ada hal-hal yang muncul seperti riak-riak kecil, itu bisa kami atasi dan tidak sampai terjadi gejolak gerakan anarkhis. Kedua, dari rencana strategis Kabupaten Kuningan telah menunjukkan perhatian pemda dalam mendukung kerukunan umat beragama.
Ahmad Yusron (Depag)
Perlu diketahui, dari 1.044.000 penduduk Kabupaten Kuningan terdapat 6 agama dan penganut aliran kepercayaan. Dan dari data terakhir yang kami terima dari kantor urusan agama, terdapat 341 agama/kepercayaan (?), dan ini tidak pernah terjadi konflik, bahkan saling menghargai dan menghormati. Kami selama ini mengadakan pertemuan lintas agama dengan lembaga-lembaga dakwah yang ada. Memang ada satu aliran keagamaan yang telah membuat resah masyarakat, dan menurut hemat kami harus diselesaikan dengan cerdas. Persoalannya, sekarang diambil alih oleh pusat.
PAKEM Kabupaten Kuningan
Yang jelas bicara masalah aliran kepercayaan di Kabupaten Kuningan semua baik, semua kondusif. Itu yang jelas. Tidak ada permasalahan yang mendesak. Jadi itu yang bisa kami katakan.
Ahmad Baso
Terima kasih atas penjelasannya. Kenapa kami memilih Kuningan, karena bagi kami, Kuningan menjadi barometer dari kasus diskriminasi. Kita kumpul di Kuningan untuk mengajak Pemda membangun komitmen bersama menghapus segala macam bentuk diskriminasi. Ini merupakan langkah awal. Dan kami yakin Pemda Kuningan punya komitmen dan punya niat baik dalam memperjuangkan permasalahan diskriminasi ini. Nah kami ingin bertanya, kalau ada kasus-kasus kecil yang muncul bagaimana pemda mengatasinya secara baik dan elegan. Kami mengharapkan pihak Pemda dapat mengatasi kasus-kasus secepat mungkin, misalnya soal pelajaran agama di lingkungan Islam yang mengharuskan pengajaran bagi anak-anak yang berasal dari komunitas penghayat. Kami meminta, agar anak didik yang tidak berasal dari 5 agama resmi itu untuk bisa menikmati hak-hak yang sama dengan anak-anak yang datang dari kelompok yang menganut 5 agama. Lalu dalam kasus Ahmadiyah, saya dengar telah keluar Perda tentang Ahmadiyah. Kami ingin penjelasan. Supaya kami yakin Pemda punya komitmen bersama dalam menghapus diskriminasi.
Ari (GANDI)
Begini, setelah kami studi di sini, di Kuningan, ada beberapa warga yang tidak mendapat hak-hak sipilnya, dalam hal pencatatan sipil. Misalnya dalam pencatatan perkawinan, yang berimplikasi kepada status dan pendidikan anak-anaknya. Bagaimana mengatasi problem ini.
Wahyu (GANDI)
Pencatatan di kantor catatan sipil, itu merupakan hak sipil warga negara untuk membedakan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Perbedaan itu tidak didasarkan pada agama, ras, dan suku. Saya membaca juga petunjuk pelaksanaan catatan sipil di Jawa Barat, saya melihat itu masih melaksanakan SE (surat edaran) Mendagri 477, yang mencantumkan 5 agama itu. Padahal setahu saya, pada jaman Gus Dur, saat Mendagri-nya Suryadi Sudirja, SE itu sudah dicabut dengan nomor yang sama pada tahun 1999. Dan saya ingin menginformasikan bahwa pihak wakil presiden sudah mengeluarkan suatu instruksi, kepada menteri dalam negeri, menteri kehakiman, menteri agama, serta kejaksaan agung, untuk membuat suatu SKB mengenai pengaturan pencatatan pada orang non-Islam, khususnya kepada Khonghucu dan Kepercayaan. Saya kira ini suatu inisiatif yang bagus.
Choirul Anam (VHR)
Kami melihat, setelah beberapa kali ngobrol dengan beberapa warga, sebenarnya ada problem di sana. Misalnya, soal diskriminasi dalam pembuatan KTP, pencatatan nikah di catatan sipil, ada kesulitan tentang fasilitas pendidikan anak-anak, ada diskriminasi dalam pengangkatan pekerjaan ketika dia ingin menjadi pegawai negeri, dan masih banyak lagi.
Saiful Shodiq Huda (Syarikat)
Sebenarnya kami ingin mendapat banyak masukan dan komitmen pelaksanaan pemerintahan yang terkait dengan kebijakan publik yang non-diskriminatif. Kami menyadari bahwa dalam pelaksanaannya, komitmen itu sangat berat. Nah, kami ingin melihat gambaran pelaksana kebijakan, kira-kira problem implementasi sisi yang mana, yang sering menjadi hambatan dalam pelaksanaan kebijakan publik agar tidak diskriminatif. Apa aspek peraturan perundang-undangan yang harus dikaji ulang? Apakah ada faktor politik atau budaya? Kami perlu banyak masukan minimal dari pemerintah Kuningan. Soalnya, jangan-jangan ini bukan hanya menyangkut masyarakat wilayah Kuningan; jangan-jangan ada khas yang Kuningan.
Marzuki Wahid (Depag)
Saya ingin menanggapi kasus Ahmadiyah. Saya pikir ini bukan kasus ringan, karena menyangkut kesetaraan hak-hak warga negara. Terutama hak-hak kebebasan beragama. Saya lihat pemerintah daerah sudah ikut campur, di samping organisasi keagamaan yang lain, tentang kasus Ahmadiyah ini. Saya tidak tahu penyelesaiannya gimana. Kalau Ahmadiyah dibekukan atau dikeluarkan dari Kuningan, itu bukan penyelesaian. Malah menjadi lebih besar. pemerintah tidak mempunyai hak sama sekali soal agama dan aliran kepercayaan. Karena sebetulnya pemerintah hanya menjadi fasilitator dari seluruh agama itu, dan lalu mensikapinya secara setara dan tidak melakukan diskriminasi. Saya bukan berarti membenarkan Ahmadiyah, saya orang NU, tapi bagi saya Ahmadiyah atau aliran apa pun di Indonesia ini, mempunyai hak untuk hidup dan bebas mengeskpresikan agamanya. Termasuk juga aliran kepercayaan. Bagi saya permasalahan tadi bukan riak kecil, ini persoalan mendasar, karena menyangkut hubungan agama dan negara. Saya kira sebuah komitmen bisa dibaca kalau pemerintah membuat semacam peraturan daerah yang anti diskriminasi terhadap penganut agama dan kepercayaan. Baru itulah yang saya sebut sebuah komitmen yang bagus.
Aman suryaman (Asda I)
Terlalu dini mengecap Kabupaten Kuningan ini sebagai ajang munculnya diskriminasi. Sampai saat ini Kuningan dalam kondisi kondusif. Pertama, soal Ahmadiyah, saya jelaskan bahwa tidak pernah ada suatu peraturan daerah, yang melarang Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan. Yang ada adalah komitmen bersama antara pimpinan daerah, dalam hal ini muspida, dengan stickholder dalam menyikapi masalah ini. Mengapa muncul demikian dan melahirkan keputusan bersama? Karena dari aspek sosial, bila ini dibiarkan, akan cenderung anarkhis. Maka atas kewenangan Bupati dan seluruh jajaran Muspida, harus ada upaya preventif. Kedua, sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 pasal 7, salah satu kewenangan yang tidak diserahkan kepada daerah adalah agama. Ia masih menjadi kewenangan pusat. Kewenangan itu ada di tingkat pusat. Presidenlah yang berhak membubarkan.
Ahmad Yusron (Depag)
Keputusan menyangkut Ahmadiyah ini juga tidak lepas dari konsultasi dengan pusat. Ada empat hal dalam menyelesaikan kasus Ahmadiyah ini. Pertama, pada tataran teologis. Sepanjang Ahmadiyah mengakui adanya tuhan serta eksistensinya, berarti tidak masalah. Kedua pada tataran sosiologis. Apabila kegiatan Ahmadiyah ini, termasuk semua aliran kepercayaan dan komunitas, menimbulkan keresahan masyarakat maka pihak yang berwenang berhak melakukan pelarangan. Ketiga, pada tataran komparatif. Secara internasional WAMY sudah dilarang, misalnya: di Malaysia, Pakistan, dan Birma. Keempat pada tataran yuridis. Keputusan ini pernah di-PTUN-kan, dan kita dimenangkan oleh pengadilan di Bandung. Sekalipun ada perlawanan dari pihak Ahmadiyah, tetapi gugatan dari pihak tergugat Ahmadiyah dinyatakan salah alamat kepada PTUN. Saya kira inti persoalan Ahmadiyah sudah jelas.
Adapun soal pencatatan nikah, sampai saat ini kami masih menggunakan undang-undang 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Apabila terjadi perkawinan beda agama atau di luar agama Islam, maka yang berhak melakukan pencatatan adalah catatan sipil. Menyangkut aspek undang-undang, kalau dianggap bermuatan diskriminasi, itu urusan pusat, kita hanya melaksanakan kebijakan pusat. Saya kira itu.
Juju Juanda (Catatan Sipil)
Permasalahan pencatatan nikah sudah sering. Kami dari pihak catatan sipil bertumpu pada pasal 2 UU Perkawinan No.1 tahun 1974 bahwa perkawinan itu adalah sah kalau dilaksanaan sesuai hukum agama dan kepercayaannya. Di sini yang dimaksud 5 agama itu. Jadi, bukannya kami tidak bisa mencatatkan, tapi belum dapat. Sebab belum ada aturan dari pusat yang mengatur masalah di luar 5 agama. Seandainya sudah ada, saya kira kantor catatan sipil akan melaksanakan. Yang kedua, kepastian hukum terhadap anak-anaknya. Perlu diketahui, setiap warga negara itu berhak mendapatkan akta kelahiran baik dari yang bisa menujukkan akta berkawinannya atau yang tidak bisa. Cuma nanti ada beda dalam redaksi atau bunyi akte kelahirannya. Yang dapat menunjukkan akta nikah redaksinya berbunyi “anak dari suami istri”, sementara yang tidak bisa menunjukkan akta nikah berbunyi: “anak dari seorang perempuan”. Secara pribadi, kami dari catatan sipil mengakui adanya diskriminasi tentang agama, HAM. Kenapa? Karena aturannya juga warisan jaman Belanda.
Aman Suryaman (Asda I)
Tanpa mengurangi rasa hormat dan hak dari teman-teman sekalian, karena waktu kita terbatas sampai pukul 18.00, maka cukup sampai disini. Terima kasih.