RUU Terapan Hukum Perkawinan Islam Abaikan Kesetaraan dan Pluralisme

desantara-default

Desantara.or.id

Membangun ikatan perkawinan adalah naluri alamiah manusia dalam relasi sosial yang bersifat personal yang seharusnya bebas dari intervensi siapapun apalagi institusi negara. Namun kenyataannya, proses ini dibatasi oleh perundang-undangan, seperti kasus pernikahan beda agama, pernikahan komunitas penghayat, atau komunitas lain di luar agama “resmi”. Ironis memang, sebuah perkawinan yang notabene hak asasi setiap manusia selama ini dikategorikan sebagai sebuah perbuatan hukum dan karenanya memiliki dampak-dampak ikutan yang mengikat. Sehingga banyak pasangan yang jika tidak memenuhi kualifikasi dan persyaratan dari hukum perkawinan yang ditetapkan, menjadi terhalang.

Fenomen ini hadir karena negara sangat bernafsu ”mengatur” secara total segala hal terkait dengan kehidupan warganya. Misalnya tercermin dari adanya RUU Kerukunan Umat Beragama yang kini digagas Departemen Agama, di mana paradigma “pengawasan, pembinaan dan pengendalian kehidupan beragama” juga mencakup soal perkawinan. Demikian juga rencana perubahan Kompilasi Hukum Islam (KHI memuat tiga bagian besar, diistilahkan dengan tiga buku, yaitu hukum yang berkenaan dengan masalah perkawinan, hukum yang mengatur pewarisan dan dalam bidang perwakafan) yang selama ini berstatus Inpres dan bersifat fakultatif menjadi UU yang bersifat imperatif (mengikat), yang kini tengah dikaji oleh institusi yang sama.

KHI dipandang sebagian umat beragama sebagai upaya formalisasi syari’ah yang bisa mengancam eksistensi kebebasan dan pluralisme beragama di Indonesia. Lihat saja, belum lagi KHI tersebut resmi diundangkan, didalam tubuh Depag sendiri, pro dan kontra atas KHI sudah terjadi. Sebagian ada yang mendorong agar KHI segera diresmikan, sementara sebagian lainnya mengkritik dan menghendaki adanya perbaikan serta melibatkan (partisipasi) publik lebih luas sebelum ia diundangkan. Hal itu tercermin dari laporan Tim Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama yang dimotori oleh Dr Siti Musdah Mulia, MA yang melakukan penelitan dan kajian terhadap rencana pemerintah menjadikan KHI sebagai sebuah Undang Undang.

Mereka menyatakan bahwa eksistensi KHI pada substansi hukumnya dipandang tidak lagi memadai dalam menyelesaikan persoalam keumatan yang kian kompleks. Kelemahan pokok KHI justru pada visi dan misinya, misalkan beberapa pasal dalam KHI secara prinsipil bersebrangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang universal, seperti persamaan, persaudaraan, keadilan serta gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat madani, yaitu pluralisme, kesetaraan gender, HAM, demokrasi dan egalitarianisme.

Bahkan, KHI itu sendiri masih menyimpan sejumlah diskriminasi dan kontroversi. Pertama, masih banyak pasal-pasal didalam KHI bias gender dan tidak memberi perlindungan memadai terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak. Kedua, dari perspektif pluralisme agama dan demokrasi, masih banyak isu-isu aktual semisal isu pemberlakuan syari’at Islam di sejumlah daerah, interfidei (antar iman) yang belum menjadi perhatian dari isi KHI. (lihat, wawancara Ulil Abshar Abdalla dengan Dr. Siti Musdah Mulia, MA., yang dimuat dalam situs Islam Liberal.com tanggal 1 September 2003 yang lalu.

Khusus mengenai bidang perkawinan, yang merupakan buku pertama dari KHI, telah disusun RUU tersendiri yang dinamakan RUU Terapan Hukum Perkawinan Islam oleh Badan Pembinaan dan Pengkajian Hukum Islam (BPPHI) Depag. RUU ini pun mendulang beragam reaksi yang pada umumnya sangat mengkhawatirkan karena menyangkut peri kehidupan mendasar warga negara. RUU ini harus dikaji lagi secara intensif dengan mengikutkan partisipasi masyarkat secara luas, terutama kalangan perempuan.

Bila ditilik dari pandangan feminis, RUU Terapan Hukum Perkawinan Islam ini masih sangat konservatif, sebab banyak sekali didalamnya pasal yang bertentangan dengan aspirasi keadilan gender. Beberapa pasal yang ‘bias gender’ itu diantaranya:

  1. Pasal 15 ayat (1) tentang batas usia dibolehkannya menikah. Pasal ini dianggap tidak adil dan melanggengkan ideology patriarkhis karena dengan mematok usia minimal perempuan boleh menikah lebih rendah dari usia laki-laki, maka jelas memperlakukan laki-laki dan perempuan secara berbeda,
  2. Pasal 19, 20, 21 dan 22 tentang wali nikah, menjelaskan bahwa hak perwalian hanya dimiliki laki-laki. Tidak ada ruang sedikitpun bagi seorang ibu untuk menjadi wali nikah atas anak perempuannya.
  3. Pasal 25 tentang saksi pernikahan yang menutup samasekali kemungkinan perempuan untuk menjadi saksi pernikahan. Dengan menggunakan parameter kedilan, semestinya laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk tampil sebagai saksi nikah.
  4. Pasal 49-53 tentang poligami, masih membuka peluang bagi kelangsungan poligami yang dalam prakteknya banyak merugikan kaum perempuan.
  5. Pasal 79 tentang kepala rumah tangga. Pasal ini menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Pasal ini tidak pernah mempertimbangkan kapabilitas dan kredibilitas istri untuk memangku status kepala keluarga.
  6. Pasal 84 ayat (1) masih memandang bahwa nusyuz hanya berlaku bagi perempuan. Sementara suami yang mangkir dari tanggungjawabnya tidak diatur dan tidak dianggap nusyuz. Pasal ini jelas mengekang hak-hak perempuan.

Selain poin-poin diatas, persoalan nikah beda agama juga tidak mendapat tempat dalam RUU tersebut. Bahkan dalam pasal 33 secara explisit melarang umat Islam menikah dengan non-muslim. Tampaknya, pasal ini disemangati oleh Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat 1, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. UU ini menerangkan bahwa perkawinan dibolehkan bagi mereka yang seagama dan pelarangan bagi pasangan yang berbeda agama, apalagi yang agama dan atau kepercayaannya tidak termasuk pada kategori 5 “agama resmi”. UU tersebut, selama ini menjadi sandungan teman-teman dari penghayat, Konghucu dan komunitas agama lokal lainnya untuk dapat mendapatkan pengesahan perkawinan. Perkawinan beda agama diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi perkawinan sebagai alat salah satu pasangan untuk mengajak secara paksa pasangannya yang berbeda agama agar menganut agama yang sama.

Sejumlah hal di atas mengindikasikan kuat bahwa RUU merupakan produk hukum ‘cangkokan’ yang mengadopsi begitu saja budaya Arab dan Timur Tengah yang berbeda sama sekali dengan realitas yang kita temui di Indonesia. Yang lebih parah, pemerintah sepertinya tidak berkeinginan melibatkan publik secara lebih luas lagi (Ormas Islam, NGO, aktifis perempuan, para ulama dan sebagainya) didalam merumuskan RUU tersebut. Bahkan menurut Musdah Mulia, sebagai staf ahli Menteri agama yang juga Ketua Tim Perberdayaan Perempuan Depag juga tidak dilibatkan, padahal timnya sedang melakukan kajian kritis terhadap keseluruhan KHI dan RUU yang dilahirkannya.

Terakhir, apakah tidak akan terjadi tumpang tindih antara UU Perkawinan dengan RUU KHI? Jawaban yang diberikan pihak Depag adalah bahwa KHI dimaksudkan sebagai Lex spesialis bagi umat Islam, disamping UU Perkawinan No.1 tahun 1974 sebagai lex generalis, karenanya harus memiliki muatan nilai dan semangat yang sama.

Lalu apa makna peningkatan status hukum KHI ini? Apakah perubahan status hukum menjadi UU akan membawa perubahan yang signifikan bagi kehidupan masyarakat yang lebih demokratis, berkeadilan, dan berwawasan pluralis, atau sekadar agar bisa berlaku general dan mengikat (imperatif) dalam penyelesaian kasus-kasus dalam peradilan agama?

Sangat dikhawatirkan perubahan status KHI ini memiliki muatan ideologis dan menjadi sebuah upaya negara secara hegemonik mengatur dan coba “mendisiplinkan” kehidupan warga. Karenanya perubahan status KHI sebenarnya harus diikuti dengan reformasi terhadap UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sendiri dan perundang-undangan lainnya dengan lebih memberikan kontribusi bagi terwujudnya kehidupan beragama dan bermasyarakat yang demokratis, pluralis dan non diskrimitatif.

Terkait dengan kelemahan mendasar tersebut, selayaknya KHI dan juga UU Perkawinan tersebut direformasi dengan lebih mempertimbangkan beberapa prinsip penting yang selama ini ditanggalkan. Yaitu, pluralisme (Ta’adudiyah),gender, nasionalitas (muwathanah), penegakan HAM (Iqamat al-huquq al-insaniyah), demokrasi, dan untuk kemaslahatan masyarakat berkeadilan. Desantara-Anisa Rahmawati

BAGIKAN: