Baru-baru ini, komunitas penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa mengadu ke Komnas HAM terkait dengan sejumlah perundangan yang diskriminatif terhadap mereka. Mereka juga mengadukan Mardali Syarif yang telah menghina dan melecehkan penghayat Kepercayaan dalam film berjudul “Kafir” yang digarapnya. Berikut ini komentar KH. Sholahudin Wahid, Ketua Komnas HAM sekaligus salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat diwawancarai Redaksi Diaspora, Mh. Nurul Huda, seputar kebijakan dan praktek diskriminasi yang menimpa komunitas agama dan kepercayaan:
Bagaimana komitmen Komnas HAM dalam penghapusan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan?
Komnas HAM berkomitmen penuh dalam memperjuangkan penghapusan terhadap segala jenis diskriminasi dan dalam berbagai aspeknya. Bukan hanya diskriminasi dalam etnis, ekonomi, budaya, dan politik, tapi juga diskriminasi dalam soal agama dan kepercayaan.
Lalu bagaimana tindak lanjut pengaduan Masyarakat Peduli Hal Sipil dan Budaya bersama komunitas penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa beberapa waktu lalu?
Ya, kami sedang menindak lanjutinya. Beberapa waktu lalu kami telah mengirim surat kepada Presiden menyoal lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang menganulir UU Nomor No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berisi kebijakan diskriminatif yang mengecualikan penganut Kepercayaan dalam status perkawinannya. Soalnya ini berdampak pula dalam pembuatan akta kelahiran yang sangat tidak manusiawi itu. Sayangnya, kami tidak memperoleh tanggapan dari Presiden. Makanya, kami dalam waktu dekat akan bertemu dengan departemen terkait untuk membicarakan sejumlah peraturan perundang-undangan yang diskriminatif itu. Karena instansi-instansi tersebutlah yang berwenang mengubahnya. Kami akan mendesaknya.
Soal film “Kafir” yang dianggap menghina dan melecehkan komunitas adat Penghayat Kepercayaan itu…
Kami menganjurkan agar saudara-saudara Penghayat membawa kasus ini ke Pengadilan Perdata. Karena ini menyangkut pelanggaran dan pelecehan terhadap hak sosial-budaya, terhadap kepercayaan mereka. Dan menurut saya, seharusnya pihak Mardali Syarif (sutradara film Kafir, red) itu menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Jangan malah memperkeruh masalah. Atas nama kreatifitas dan kebebasan individu, bebas seenaknya menghina hak-hak kultural orang lain.
Bagaimana pendapat anda mengenai beberapa peraturan yang diskriminatif itu?
Saya rasa negara telah melampaui wewenangnya dalam mengatur soal agama dan kepercayaan. Dalam SKB itu misalnya, mengapa perkawinan menurut kepercayaan masing-masing dianggap tidak sah. Dan ini berpengaruh pada sang anak dalam pembuatan akte kelahiran. Juga dalam pembuatan KTP yang dipersulit hanya karena tidak menganut agama resmi. Undang-undang Catatan Sipil yang berlaku sekarang ini juga banyak masalah. Belum lagi persoalan RUU Kerukunan Umat Beragama yang sekarang ini masih berupa draft akademik. Intervensi negara yang terlalu besar menyebabkan diskriminasi terhadap agama dan kepercayaan.
Bagaimana mungkin negara yang seharusnya independen, kok malah bertindak diskriminatif pada warganya, dalam hal ini soal agama dan kepercayaan?
Memang, ini pangkalnya pada pemahaman kita tentang Pancasila. Secara historis dan kultural, wacana kehidupan bernegara kita tidak bisa terpisah dari peran agama. Negara kita bukan negara sekular. Tapi negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, negara dimungkinkan untuk berperan dalam kehidupan agama. Tapi persoalannya, sejauhmana negara itu seharusnya berperan? Dalam konteks sekarang ini, saya berpendapat bahwa negara telah mencampuri kehidupan agama secara sangat berlebihan. Ini bisa dilihat dari keberadaan Departemen Agama yang masih ngurusin soal Haji. Juga bersama departemen terkait lainnya dalam menyusun peraturan yang diskriminatif itu.
Apa yang seharusnya dilakukan negara/pemerintah?
Mestinya pemerintah bersikap adil terhadap warganya. Negara tidak boleh mencampuri urusan agama secara berlebihan, hingga sampai urusan teknis segala. Mungkin saja Departemen Agama dibubarkan, lalu diganti dengan departemen lain, atau departemen yang hanya memiliki fungsi koordinasi hubungan antara agama. Sekarang ini Departemen Agama malah menjadi sarang korupsi, kan memalukan.
Mengenai sikap adil ini, mengapa negara hanya mengakui lima agama resmi saja, pendapat anda?
Saya tidak sepakat itu. Negara itu lembaga publik, yang mengurusi masalah-masalah publik secara keseluruhan. Negara tidak boleh membatasi agama hanya pada lima agama saja. Itu diskriminatif. Tambahan lagi, penghayat kepercayaan itu kan sudah ada sebelum agama-agama resmi itu datang, mengapa mereka dipinggirkan. Mereka harus diakui, dong. Bukan malah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Tuhan saja membolehkan manusia memilih jadi ateis, kok.
Negara telah berlaku diskriminatif. Bagaimana dengan aktor-aktor non-state yang justeru bertindak diskriminatif dan cenderung anarkis?
Ini lebih susah lagi. Kalau prilaku diskriminatif itu dilakukan negara melalui sejumlah perundang-undangan, kita bisa menuntut dan mendesak pemerintah untuk merubah kebijakannya. Tapi kalau masyarakat sendiri, atau civil society sendiri yang bertindak demikian, ini lebih rumit. Seperti kasus film Kafir. Itu jelas diarahkan pada komunitas penghayat kepercayaan di Cigugur. Ungkapan “kafir” yang diarahkan kepada Madrais, tokoh penghayat kepercayaan itu jelas menyakiti hati mereka, karena mereka juga percaya kepada Tuhan. Padahal dalam kamus kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ada istilah “kafir”. Kafir adalah istilah agama, bukan istilah politik dan sosial-budaya. Dan kalau toh memberi stigma mereka kafir, sebutan itu bisa dipertanyakan, bisa diperdebatkan, apakah komunitas penghayat kepercayaan itu benar-benar kafir.
Kasus serupa juga menimpa Ahmadiyah. Sekelompok masyarakat menghakimi mereka secara anarkis. Kami sebenarnya mau bikin Tim Ad Hoc untuk menangani masalah Ahmadiyah ini. Tapi masih dipikir-pikir dulu, karena pelakunya adalah massa, ini bisa ruwet.
Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang realitas pluralisme agama dan kepercayaan di Indonesia?
Pandangan Islam sangat jelas. Islam sangat menghormati eksistensi agama-agama, baik Kristen maupun Yahudi. Secara lebih kontekstual, Islam juga menghargai agama-agama lain seperti Hindu, Budha, Konghucu, dan aliran penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di sini saya berpendapat, makna pluralisme adalah pengakuan tentang keserupaan tapi tidak sama. Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, Penghayat dan lain-lain adalah kepercayaan yang serupa tapi tak sama kelembagaannya. Semuanya itu mengimani Tuhan yang sama, tapi cara melihat dan memahaminya yang beda. Ini wajar, karena tak seorangpun yang bisa menjangkau dan menangkap hakikat Tuhan yang Maha Sempurna itu secara total.
Islam juga menegaskan agar umatnya berlaku adil. Bertindak adil adalah syariat Islam. Ia lebih luas maknanya dari pada tuntutan beberapa kalangan yang memaksakan formalisasi syariat Islam. Formalisasi mereduksi Islam itu sendiri.
Jika demikian, Islam juga mendukung perjuangan penghapusan diskriminasi. Bagaimana menggugah umat Islam dalam gerakan anti diskriminasi ini.
Kita harus pelan-pelan, bersabar, dan hati-hati. Orang-orang seperti kita ini masih sedikit. Kita jangan konfrontatif. Kita harus memberikan penyadaran kepada masyarakat secara bijaksana, pelan-pelan. Kita tidak bisa frontal.
Kira-kira peran apa yang bisa dimainkan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai representasi umat Islam Indonesia dalam gerakan ini?
Kita melakukan penyadaran ke bawah, sekali lagi memang ini harus dikerjakan dengan sabar. Di NU itu kan perubahan baru terjadi tahun 1984. Artinya, wawasan keagamaan universal dan kebangsaan itu dikembangkan dalam tubuh masyarakat secara gradual, melalui proses sosialisasi yang memakan waktu dan butuh kesabaran. Desantara-Mh. Nurul Huda