Ajaran-ajaran Buki Sahidin yang dianggap sesat pernah menjadikan Tasikmalaya panas membara dengan kebencian. Inti ajaran tersebut adalah bahwa Islam bukan agama, setiap agama dan orang beragama adalah Islam, Al-quran adalah Imam Mahdi, dan bahwa syahadat itu ada 6 macam namun yang biasa dipakai sholat adalah syahadatain.
Ajaran-ajaran lainnya adalah bahwa syetan itu ada yang harus didekati, Al-Quran bukan hanya firman Allah semata, tapi ada perkatan Rasul dan manusia, alam kubur dan siksa kubur tidak ada, Allah itu hanya ada di mana-mana, harta orang lain boleh diambil, karena semuanya milik Allah, ulama dan kyai sekarang banyak mendustakan agama, cara mengabdi kepada Tuhan merupakan urusan pribadi masing-masing, dan keyakinan bahwa apabila Allah SWT menghendaki, maka akan terjadilah (kunfayakun) dan jangan dijadikan kecemburuan sosial.
Buki Sahidin lahir di Bandung 3 April 1943, ia dicaci dan dimaki khalayak ramai, namun sangat dicintai para santrinya. Pada akhir tahun 1996, pemikiran dan keyakinan Buki Sahidin (BS) dianggap melecehkan dan menodai ajaran Islam yang (di)normal(kan). Jauh sebelumnya tepatnya pada tahun 1988, ia pernah mendekam di penjara Kebon Waru Bandung selama 8 bulan karena dituduh menggelapkan uang (ini ada hubungannya dengan kegiatan penyebaran ajarannya).
Tahun 1987 melalui keputusan Jaksa Tinggi Jawa Barat nomor Ksp-077/k-2/10/1987, ajarannya terutama tentang keyakinannya bahwa Al-Quran adalah Imam Mahdi, dan ia sendiri mengaku sebagai pelakunya, dilarang dan dinyatakan sesat. Namun rupanya ia tak menggubris keputusan tersebut. Ia tetap teguh berdakwah, sampai akhirnya ia dipenjarakan di LP Sukamiskin selama satu tahun karena melanggar keputusan tersebut.
Pada tahun 1992, ia pindah ke Tasikmalaya mengikuti istrinya. Tepatnya di daerah Kp. Ciponyo, Rt 01/Rw 01 desa Linggarjati kecamatan Indihiang. Di kampung inilah ia semakin intensif mengembangkan ajarannya, sampai akhirnya pada tahun 1993 ia diperingatkan oleh PAKEM untuk tidak mengembangkan ajarannya. Tanggal 18 September pada tahun yang sama, oleh PAKEM, MUI, dan Muspika setempat serta disaksikan oleh para santrinya, ia dipaksa mengeluarkan pernyataan yang isinya bersedia tidak menyebarkan kembali ajarannya dan kembali keajaran Islam (di)asli(kan). Pada waktu itu juga, masjid Ulum Sampurna, yang menjadi salah satu pusat pengajian para pengikutnya diganti nama oleh MUI menjadi masjid Attaubah.
Namun, beberapa pressure tersebut tidak menjadikan ajarannya memudar. Malah sebaliknya makin kuat mengakar di hati para pengikutnya dan mulai menyentuh kalangan luas. Sang Kiyai pun tetap eksis mengembangkan ajarannya. Terbukti pada tahun 1995, ia menyusun buku Pedoman Tuntunan Riyadhoh -yang lagi-lagi kontroversial- yang ditujukan bukan hanya untuk santrinya dan kalangan muslim, tapi juga kalangan non muslim.
Pada tahun 1996, ia bersama para santrinya mendirikan sebuah yayasan yang benama Yasapradhana (Yayasan Pranata Dhasa Kebaktian Nasional) dengan akta notaris nomor 17/th.1996. Ia sendiri yang memimpin yayasan tersebut.
Tahun 1996, perkembangan ajaran dan yayasan semakin pesat. Hal inilah yang mengakibatkan para ulama, Pakem, kepolisian, dan tokoh masyarakat berang. Mereka semua memberangus ajaran tersebut. BS diadukan ke polisi pada bulan Oktober 1996, kemudian mulai menjadi penghuni Rutan Tasikmalaya pada tanggal 4 Desember di tahun yang sama. Melalui proses persidangan sebanyak 7 kali, Buki Sahidin dinyatakan terbukti melanggar pasal 156 a KUHP yo UU no. 1.PNPS/1965 yo pasal 65 ayat 1 KUHP, yakni diantaranya melakukan penodaan dan pelecehan agama. Tanggal 15 Maret 1997. Pada persidangan BS yang ke tujuh, ia dituntut 6 tahun 8 bulan penjara oleh jaksa penuntut umum, Zulfikri Tala, SH dan Elan Suherlan, SH.
Pelarangan terhadap ajaran BS, bukan hanya melalui jalur hukum, tapi juga melalui kekerasan fisik, yakni dengan perusakan dan pembakaran bangunan yayasan dan rumah pada tanggal 26 Desember 1996 malam hari, yang hampir saja memakan korban jiwa. Ketika saya datang ke tempat kejadian setelah beberapa tahun berselang, memang yang tampak hanya puing-puing bangunan bekas terbakar.
Kekerasan dan penindasan tersebut mengakibatkan nasib keluarga dan para pengikutnya terlunta-lunta. Sebuah kenyataan pahit tentang otoritas agama dan politik yang begitu kejam melakukan tindak kekerasan dan penindasan. Padahal keluarga dan pengikut Buki Sahidin mempunyai hak hidup dan bertempat tinggal. Mereka mempunyai hak-hak sipil yang harus dihormati. Pertanyaanya mengapa agama masih menjadi buldozer pelanggaran HAM? Apakah hal ini membuktikan benarnya tesis Karl Mark bahwa agama adalah candu masyarakat?
Sebuah Resistensi Keislaman
Beberapa tafsiran BS terhadap Islam memang mengoyak kelaziman tafsir agama yang biasa menjadi rujukan umat Islam. Namun saya sendiri berpikir bahwa statement yang ia lontarkan bukan melecehkan agama, tapi merupakan kritik yang anggun terhadap peran dan fungsi para ulama. Pemahaman BS bahwa syahadat ada enam tidak bertentangan dengan syara, karena BS sendiri masih mengakui syahadatain yang menjadi rukun dalam sholat. Bahkan menurut saya syahadat bisa lebih dari enam, karena ia merupakan kesaksian dan komitmen kita terhadap nilai-nilai ketuhanan. Sedangkan kesaksian dan komitmen itu tidak harus dalam satu versi saja (misalkan syhadatai). Kita bisa mengatakan, Aku bersaksi bahwa bumi dan langit ciptaan Tuhan”. Pernyataan seperti itu juga merupakan bentuk Syahadat. Selain itu, dalam wacana keislaman, lima syahadat lain yang dilontarkan oleh BS bukan hal yang baru. Kita sering mengucapkannya, hanya mungkin saja tidak menamakannya sebagai syahadat.
Menurut saya, sebagian inti ajaran BS sebenarnya tidak bisa dilihat melalui cara pandang fikih atau teologi-normatif semata. Lebih bijak kalau kita melihatnya dari perspektif budaya atau spiritualitas lokal. Karena memang manusia mempunyai hak-hak budaya yang bisa jadi berbeda satu sama lain.
Yang tidak bisa dibenarkan ketika kekerasan dilakukan dan menjadi media menindas orang, yakni ketika sebuah “kebijakan” merugikan orang lain dan tidak mempertimbangkan hak-hak budaya dan sipil seseorang. Karena semua ajaran agama apapunpun pasti menolaknya. Oleh karena itu, dalam konteks BS, kebijakan diskriminatif itu harus kita perjuangkan untuk dicabut. Kita harus memperjuangkan agar SK Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat nomor Kp-007/k-2/10/1987 tentang pelarangan ajaran Buki Sahidin dicabut, juga tuntutan 6 tahun 8 bulan Buki Sahidin harus digugat. Karena keputusan pelarangan itu telah melanggar hak-hak kultural BS dan para pengikutnya.
Sayangnya, media massa seperti HU Pikiran Rakyat pun dalam beberapa reportasenya mengenai isu BS, masih bersikap diskriminatif. Sebagaimana MUI, koran lokal inipun ikut menyudutkan ajaran Buki Sahidin, dan bukannya memberikan laporan yang proporsional dan independen. Desantara-Ceceng Salamudin A.F