(Laporan Diskusi Kawin Beda Agama antara Peluang dan Tantangan, MADIA-ICRP di Jakarta). Ngapain ke luar negeri, nikah aja ke Paramadina, kata seorang teman diskusi mengutip sebuah poster di suatu ruangan Paramadina. Konon poster itu dibuat setelah pasangan beda agama Ahmad Nurcholis dan Ang Mei Yong melangsungkan pernikahan di sana. Mengapa ke Paramadina, tidak ke Kantor Catatan Sipil atau KUA? Ada apakah dengan dua institusi itu?
Siapapun tahu KUA dan Kantor Catatan Sipil enggan mencatatkan perkawinan beda agama. Karena agama-agama dan pemerintah melarangnya. Sehingga banyak kita jumpai artis-artis dan selebritis melangsungkan pernikahannya di luar negeri. Karena perkawinan mereka ditolak di negerinya sendiri!
Pada pertengahan November 2003 lalu, di sebuah aula kecil markas MADIA (Masyarakat Dialog antar Agama) Jakarta diselenggarakan dialog lintas iman kerjasama Madia dan ICRP. Hadir sebagai pembicara Silvana, Ahmad Nurcholis, Dewi Kanti, Siti Musdah Mulia, dan Ahmad Baso, dengan moderator Lies Marcoes. Tema yang dibahas seputar perkawinan beda agama. Umumnya mereka menggugat institusi negara yang terlalu jauh mengintervensi kehidupan privat warga negara yakni dalam urusan keyakinan agama.
Silvana yang juga Direktur Eksekutif ICRP ini, misalnya menyampaikan keprihatinannya terhadap kehidupan lintas iman di Tanah Air, mengenai relasi laki-laki dan perempuan dalam perkawinan dan juga relasi negara dan warga negara, yang dipenuhi dengan relasi yang dominatif dan tidak setara. Ia mempertanyakan mengapa negara repot-repot mengatur konsep perkawinan padahal masyarakat sendiri memiliki konsep-konsep yang beragam berdasarkan budaya dan konteksnya. Menurutnya ini merupakan bentuk kontrol negara. Tapi sebenarnya bukan hanya negara, institusi agama pun sebenarnya melakukan hal yang sama. Dalam kekristenan, lanjut Silvana, dikatakan bahwa wilayah yang terhormat bagi perempuan selain hidup dalam biara adalah menikah. Karena dalam institusi perkawinanlah, ujarnya, perempuan bisa dikontrol. Kecenderungan ini biasanya juga muncul kalau agama menjadi dominan dan mayoritas di sebuah tempat. Dan godaan ini ada bila agama bersentuhan dengan kekuasaan politik.
Ternyata apa yang dipaparkan Silvana tidak berbeda dengan yang dialami Ahmad Nurcholis yang menikah dengan isterinya yang beragama Konghucu, dan Dewi Kanti Satrio Djati yang menikah dengan seorang penganut Katolik taat.
Nurcholis menuturkan, bagaimana lembaga-lembaga resmi pemerintah, seperti KUA dan Kantor Catatan Sipil, tidak mengakui perkawinannya. Ia pun kini menunggu saja kapan UU perkawinan dan Catatan Sipil itu dirombak. Sementara itu banyak kejadian-kejadian tragis juga dialami Dewi Kanti, penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan Cigugur ini. Dewi menceritakan lika-liku perkawinannya dengan suaminya yang seorang penganut Katholik. Ia memaparkan, bahwasanya dalam komunitasnya yang multi-agama dan multi etnik ini, ia terbiasa dalam perbedaan. Kehidupan antar agama terjalin dengan baik dan harmonis. Hal ini dikarena peran nilai-nilai adat yang demikian penting sebagai perekat kesadaran berketuhanan, tuturnya.
Jika pada agama-agama besar perkawinan beda agama menjadi kendala bagi masing-masing agama, tidak demikian halnya dengan Dewi. Justeru penyelenggara negara seperti KUA dan Kantor Catatan Sipil-lah yang justeru menjadi penghalang dan tidak mengakui keabsahan perkawinan mereka. Akibatnya, mereka sulit memperoleh akte nikah, akte kelahiran anak, KTP, dll.
Dewi juga menuturkan, bahwa sekarang ini akte kelahiran anaknya hanya mengakui dilahirkan seorang perempuan sebagai ibu, sementara ayahnya tidak dicantumkan. Hal serupa juga menimpa saudaranya yang baru melahirkan. Pada suatu hari saudaranya disodori formulir terbaru yang berjudul pengakuan anak lahir di luar nikah, yang harus ditandatangani oleh ayahnya sendiri. Bayangkan, katanya, ayahnya sendiri harus mengakui anaknya lahir di luar nikah. Ini karena negara tidak mengakui keyakinan kami sebagai agama resmi dan perkawinan itu dianggap tidak sah.
Kasus lainnya, seorang pegawai negeri yang hendak memasuki jenjang karir melalui sumpah jabatan. Nah ketika seorang penghayat dianggap menganut di luar lima agama resmi, akhirnya dia tidak bisa melakukan sumpah jabatan. Dan otomatis karirnya pun tidak naik. Status dia dianggap masih bujangan, tapi uniknya isterinya diajak ikut darma wanita. “Gimana negara sudah menilai sejauh itu sehingga dampaknya sangat fatal sampai ada pegawai negeri yang sampai pensiun statusnya masih bujangan, termasuk saya”, ujarnya. Dewi pun berharap ada kemauan politik pemerintah untuk mengubah UU Catatan Sipil dan UU perkawinan.
Namun ada yang lebih penting, kata Dewi menjawab pertanyaan peserta, bahwa aturan-aturan yang dibuat negara itu harus mencerminkan kesadaran satu kesatuan bangsa dan negara. Kedua, kesadaran sebagai kesatuan manusia yang masing-masing memiliki karakter yang unik. Dan ketiga adanya kesadaran akan ketuhanan. Subtansi ketuhanan harus ditekankan bukan bungkusnya.
Ya, harapan terhadap perubahan UU Perkawinan tampaknya menjadi tuntutan mutlak bagi semua peserta diskusi. Dan harapan ini bisa jadi kenyataan bila ada kesadaran dan kemauan politik pemerintah. Tapi mungkinkah perubahan terjadi tanpa desakan masyarakat sendiri dan tokoh agama untuk memperngaruhi proses pengambilan kebijakan?
Musdah Mulia, misalnya menceritakan pengalamannya di birokrasi. Ketika bicara dengan Menteri Agama agar pembatasan lima agama resmi dihapus. Menteri bilang, bahwa hal itu telah didukungan oleh majelis-majelis agama yang mayoritas, seperti: MUI, PGI, dan lainnya. Jadi keberadaan majelis-majelis agama itu dianggap satu-satunya yang merepresentasikan agama-agama di Indonesia. Lagi pula ini disebabkan kecilnya dukungan politik seperti terlihat dari pemerintah sendiri..
Mengaharapkan perubahan UU ternyata memang tidak mudah. Apalagi seperti diutarakan Ahmad Baso, bahwa sekarang ini negara semakin agresif mengontrol warga negara. Dengan menuturkan pengalaman Desantara, Baso menyatakan intervensi negara telah memasuki sistem dan lembaga adat, juga melalui penyusunan perda-perda di tingkat daerah, seperti perda baca al-Quran. Juga ada kasus aliran kepercayaan yang dipaksa menjadi agama Hindu. Namun lebih lanjut kekhawatiran Baso adalah adanya tren bahwa sekarang ini pemeluk agama sedikit-sedikit meminta negara untuk terlibat dalam urusan agama. Wah, bisa jadi bumerang ini, katanya.
Tentang fenomena aliran kepercayaan atau kelompok sempalan, ini dibenarkan Silvana. Misalnya, ia pernah diundang Depag dan dimintai pendapat seputar kelompok-kelompok sempalan. Jadi masukan-masukan seperti ini bisa menentukan sikap Depag termasuk dalam menyikapi suatu kelompok sempalan, katanya.
Begitulah, diskusi itu berlangsung hangat. Peserta pun melontarkan uneg-unegnya menyikapi kebijakan negara yang diskriminatif. Sayang sekali diskusi yang menarik inipun terhenti oleh rezim waktu yang mulai menjelang magrib. Diskusi pun diakhiri tanpa kesimpulan apapun. Hanya jiwa dan pikiran yang mengembara bebas, meski tubuh-tubuh ini dibelenggu. Azan pun berkumandang. Dan kalangan lintas agama inipun bersantap ria berbuka puasa bersama.[Desantara-Mh. Nurul Huda)