Kabupaten Pati adalah salah satu kabupaten di propinsi Jawa Tengah yang letaknya agak menjorok di tepi pantai Utara Jawa. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Demak, Jepara, Kudus, Rembang dan Purwodadi. Secara topografi, Kab.Pati dikelilingi oleh dua pegunungan yang berdiri di sebelah utara dan di bagian selatan. Di sebelah utara terletak pegunungan Muria, yang dikelilingi oleh Kabupaten Kudus dan Jepara.
Sementara di sebelah selatan, terletak di perbatasan Purwodadi berdiri pegunungan Kendeng yang telentang mengikuti beberapa desa. Sementara wilayah pesisir di Pati dapat ditelusuri di sekitar Kecamatan Juwana. Juwana sendiri pernah tercatat sebagai salah satu Bandar yang ramai, menjadi tempat merapat beberapa kapal pedagang yang berlayar di sekitar Laut Jawa. Sampai sekarang bahkan Juwana masih dikenal sebagi pusat perniagaan teramai di Kab. Pati. Ia menjadi penghubung antara kota Pati dan Kota-kota lainnya. Kapal-Kapal nelayan juga masih suka singgah di Juwana.
Disamping sebagai pusat perniagaan, di Juwana dapat dijumpai pengrajin kuningan yang memiliki aset ratusan juta bahkan miliaran. Kerajinan ini menjadi andalan Kabupaten Pati. Kegiatan padat karya lain adalah kerajinan ikan bandeng Presto yang dikenal di masyarakat Jawa. Sebagai pusat aktivitas ekonomi paling ramai di Pati, tidak heran etnis Tionghoa meskipun jumlahnya minoritas masih menempati kelompok paling dominan dalam penguasaan kegiatan perekonomian di Juwana, dan Pati pada umumnya. Sebagian orang –orang Tionghoa ini menguasai distribusi alat-alat pertanian seperti bibit dan pupuk, bahan sembako, dan alat-alat bangunan. Sebuah pabrik pengelolah Palawija (Kacang) yang menyerap ribuan tenaga kerja juga dikuasai oleh orang Tionghoa.
Meskipun demikian, secara mayoritas kabupaten Pati didiami oleh etnis Jawa beragama Islam dan sekitar delapan puluh persen penduduk Pati menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Pertanian adalah sumber kehidupan mereka. Areal pertanian ini membentang di sekitar pegunungan Muria di Pati bagian utara dan membentang di sekitar pegunungan Kendeng di Pati bagian selatan. Di sekitar gunung Muria ini, penduduk-penduduk berlatar belakang petani di Pati memiliki kaitan erat dengan sejarah pembentukan kerajaan Demak dan masuknya Islam di kerajaan ini.
Seperti kita ketahui melalui beberapa tulisan sejarah, perkembangan Islam di Jawa mulai berkembang pesat setelah berdiri kerajaan Demak Bintoro, menggantikan kerajaan Majapahit yang runtuh sekitar abad ke-16. Adalah Raden Patah yang menduduki posisi sebagai raja pertama. Ia dianggap masih keturunan (“darah biru”) kerajaan Majapahit. Selama masa pemerintahan Demak Bintoro, Kab. Pati menempati posisi yang unik. Meskipun kota ini menjadi bagian dari kekuasaan Demak Bintoro di masa lalu, tidak semua bentuk islamisasi dari Demak diterima begitu saja di Pati. Di beberapa tempat di Pati islamisasi mesti menyesuaikan dengan tradisi Jawa yang berumur jauh lebih lama dibandingkan masuknya Islam yang dimulai sejak berdirinya kerajaan Demak.
Ini misalnya dapat kita telusuri dari narasi cerita-cerita rakyat yang masih berkembang di sekitar Pati. Misalnya, tersebutlah Desa Bakaran yang berada di Kecamatan Juwana. Desa ini menyimpan situs budaya yang sampai sekarang masih di uri-uri (dipelihara dengan baik) oleh sebagian penduduk di Bakaran. Cerita ini bermula dari Nyi Ageng Bakaran yang disebut-sebut sebagai tetua pertama yang menduduki desa Bakaran. Nyi Ageng sendiri konon memiliki nama asli, Putri Banowati. Ia adalah salah satu keturunan dari keluarga Majapahit yang tidak sempat di-Islam-kan oleh elite-elite dari Demak Bintaro. Melalui tutur tinular, dikisahkan Nyi Ageng Bakaran memiliki kesaktian yang hanya dapat ditandingi oleh para Wali Sanga (Sembilan Ulama).
Sampai akhir kematiannya, Nyi Ageng Bakaran tetap tidak bersedia di-Islam-kan. Salah satu punden Nyi Ageng, letaknya di desa Bakaran Kidul, disebelahnya dibangun tempat semedi, ibadah orang-orang Jawa Abangan. Ia diberi nama, sanggar/ masigit. Nama Masigit konon sengaja diserupakan dengan istilah Masjid. Menurut salah satu penduduk di Bakaran, nama ini diberitakan demi menghindari sikap konfrontatif dengan kalangan santri di Pati. Dalam praktiknya, tempat ibadah ini sering digunakan oleh beberapa komunitas dari aliran agama Sapto Dharmo dan aliran Kejawen lain. Sampai tahun 1965, Desa Bakaran dikenal sebagai basis kejawen, sebagian afiliasi politik mereka disampaikan melalui partai Komunis, sebagian lagi adalah pengikut Soekarnois dan bergabung dalam PNI.
Di Bakaran terdapat kelompok kesenian Ketoprak yang dikenal sebagai Ketoprak Bakaran. Ketoprak adalah kesenian drama ala Jawa dengan pakem tertentu. Lakon-lakonnya diambil dari legenda-legenda, cerita kerajaan dan cerita-cerita masa lalu yang dianggap memiliki pesan-pesan moral bagi kehidupan di masa kini. Ketoprak Bakaran dipimpin oleh Pak Kabul, “simpatisan Komunis” (lebih tepatnya ia mengaku sebagai Soekarnois) yang kemudian menyeberang ke PNI sebelum terjadi peristiwa 1965. Ia beruntung, karena teman-temannya yang lain diringkus ke penjara, di buang ke pulau Buru, dan dipenggal oleh sepasukan Banser dari kalangan santri. Keberadaan ketoprak Bakaran sendiri merupakan bukti keteguhan Jawa Abangan di tengah gempuran islamisasi dari kalangan santri.
Selama beberapa tahun, kesenian dipasung oleh rezim Orde Baru. Di Bakaran seniman-seniman yang berafiliasi dengan Lekra diberangus. Tidak ada lagi kehidupan kesenian semeriah zaman kontestasi pra-1965. Menurut Pak Kabul, masa itu ditandai persaingan sengit menciptakan kesenian-kesenian sebagai medium menyampaikan pesan politik. Seni sebagai alat propaganda benar-benar hidup. Meskipun begitu persaingan berpolitik tidak berimbas ke dalam hubungan sosial. Sebaliknya, pada masa Orde Baru, kesenian dimobilisasi untuk mensukseskan pembangunan. Tidak ada lagi persaingan, karena kehidupan seniman dikontrol negara. Kesenian mengalami fase kehidupan baru. Tiap kali pementasan, seniman diharuskan ijin ke aparat keamanan. Seniman juga dilarang mementaskan lakon-lakon subversib, tidak boleh menyinggung agama dan mengkritik pemerintah. Kesenian kehilangan makna sebagai medium propaganda, karena nilai seni itu sendiri, seperti sering dinyatakan oleh kelompok Manikebu, bernilai sepanjang untuk kesenian itu sendiri (seni untuk seni).
Namun demikian, desa Bakaran memiliki warna lain di tengah dominasi dan hegemoni negara di bidang kebudayaan. Disini bergeliat kelompok kesenian ketoprak, khususnya yang menjadi ikon desa itu, ketoprak Bakaran. Kelompok ini memiliki aura sendiri di mata orang-orang desa. Mementaskan ketoprak Bakaran bahkan diyakini sebagai bagian dari proses ritual desa yang wajib diselenggarakan. Beberapa orang dari desa lain juga memiliki pandangan magis terhadap keberadaan kelompok ini. Disini, ketoprak Bakaran sering digunakan sebagai sarat prosesi ritual tertentu, hajatan desa, pernikahan, selamatan dan lain-lain. Mungkin karena sikap seperti ini, ketoprak masih diminati di desa Bakaran dan sekitarnya sebagai kesenian rakyat.
Cerita lain dapat kita temukan dari cerita rakyat berjudul, Ondorante. Ondorante adalah salah satu tokoh rakyat Pati. Dalam cerita itu dinarasikan tentang perdebatan filosofis ketika terjadi perjumpaan antara Syeh Makdum dengan Ondorante. Menurut beberapa sumber Syeh Makdum yang diceritakan dalam kisah Ondorante bukan lain adalah Sunan Kudus. Ia adalah salah satu dari Sembilan Wali yang mashur namanya di kalangan santri Jawa. Sunan Kudus dikenal sebagai ulama paling konservatif dikalangan Wali Sanga. Pertentangannya dengan Syeh Siti Jenar dan putusan eksekusi hukuman mati terhadap Syeh Siti Jenar datang dari Sunan Kudus. Dalam kaitan dengan Ondorante, perdebatan itu menyiratkan proses islamisasi yang alot karena menghadapi perlawanan dari Ondorante. Ondorante adalah representasi dari petani Jawa yang setia dengan keyakinan leluhur pra-Islam. Dalam bahasa antropologi, Clifford Geertz kemudian mengidentifikasi kelompok-kelompok dari petani Jawa yang lebih suka memilih sistem ajaran yang lebih sinkretik, pada satu sisi secara nominal mereka mengaku sebagai Islam, akan tetapi praktik keagamaan mereka berbeda jauh dengan sistem keyakinan yang dianut kalangan santri pada umumnya.
Lepas dari kategorisasi Geertz ini, kita dapat menyaksikan lebih jauh dinamika yang terus terjadi atas perkembangan Islam di kota kecil ini. Di sebelah utara, persisnya sekitar Kecamatan Tayu dan Margomulyo, terdapat beberapa pesantren tua yang masih bertahan sebagai basis pendidikan Islam terbesar di Pati. Di Kecamatan ini terdapat beberapa pesantren terkenal, salah satunya adalah pesantren di Kajen dan Pesantren Maslakhul Huda yang diasuh oleh K.H.Sahal Mahfudz. Melalui pesantren Kajen dan pesantren-pesantren di bagian Pati Utara, santri-santri Pati mendapatkan pendidikan Islam dan mengembangkan jaringan alumni pesantren yang menyebar bahkan sampai keluar Pati. Tidak mengherankan, beberapa ulama dan ustadz dari tempat lain sekitar Pati biasanya merupaka alumni pesantren atau setidaktidaknya memiliki hubungan genealogis pengetahuan dengan pusat-pusat pendidikan Islam Tradisional di Pati Utara.
Selama puluhan bahkan ratusan tahun, citra santri dari Pati Utara bertahan sebagai benteng peneguh identitas Islam di Pati. Disini seluruh praktik hidup sehari-hari di masyarakat tidak lepas dari idiom dan bahasa-bahasa santri. Mereka membangun makna sosial bersama sebagai komunitas santri, dan dari generasi ke generasi mereka menanamkan citra diri sebagai santri dengan segala atributnya. Tokoh-tokoh politik Islam lahir dari wilayah ini. Berbasis tradisi NU (Nahdlatul Ulama) mereka berafiliasi dengan Partai Kebangkitan Bangsa, PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan beberapa partai Islam lain. Selama puluhan tahun masa Orde Baru kelompok di Pati bagian utara setia mengikuti gerbong politik tokoh-tokoh mereka yang sebagian besar berafiliasi ke PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
Sementara itu, Pati di bagian selatan lebih dikenal dengan tradisi Jawa Petani abangan yang kental. Diberkahi dengan hamparan tanah pertanian yang luas, orang-orang di Pati sebelah selatan menyandarkan kehidupan bertani sebagai mata pencaharian utama. Disini rata-rata penduduk memiliki lahan. Meskipun migrasi memiliki arti penting bagi perkembangan kependudukan di Pati, tidak terdapat tanda yang cukup drastis bahwa kehidupan bertani bakal mereka tinggalkan. Orang-orang Pati sudah semakin mudah melakukan mobilitas kerja Jakarta-Pati. Mereka membentuk jaringan-jaringan yang kuat sebagai pendatang di kota metropolitan; sebagian dari mereka menjadi buruh pabrik, bekerja di kontraktor, pertukangan dan lain-lain. Mobilitas kerja seperti ini faktanya menambah pendapatan mereka diluar pendapatan mereka dari hasil bercocok tanam. Ini artinya bahwa usaha untuk memiliki lahan dan tanah-tanah pertanian masih menjadi prioritas. Terbukti, harga pertanian di Pati terbilang mahal dibandingkan dengan tanah-tanah pertanian di tempat lain. Pendapatan yang didapatkan dari usaha di kota-kota banyak mereka investasikan di kepemilikan lahan pertanian. Bertani rupanya masih menjadi pilihan hidup mereka, meskipun jalan lebih berliku harus mereka lalui dengan menjadi buruh-buruh bangunan di kota-kota besar.
Kentalnya tradisi bertani di Pati Selatan dapat dijumpai dalam tradisi Meron, salah satu tradisi selamatan desa yang masih bertahan di Sukolilo. Tradisi ini dilaksanakan setahun sekali. Menyerupai tradisi lebaran, hajatan Meron menciptakan tradisi mudik bagi orang-orang di Sukolilo yang telah bekerja di luar kota. Begitu hajatan tiba, orang-orang berduyun-duyun menyaksikan ritual di pinggir-pinggir jalan sepanjang jalan Sukolilo-Purwodadi. Ritual ini menyerupai tradisi sekaten Solo-Yogyakarta.
Pada umumnya orang-orang dari Pati Utara menganggap tradisi seperti ini sebagai bagian dari tradisi Islam-abangan. Yang membedakan dengan Pati Utara adalah tradisi seperti ini. Sebaliknya, di Pati selatan kita sulit menjumpai sistem pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai Islam seketat yang dilaksanakan oleh santri di Pati Utara. Beberapa desa masih mengamalkan sistem komunalisme desa dengan ritual spesifik.
Bahkan di Kecamatan Kayen kita dapat menemukan salah satu makam tokoh rakyat yang dikenal dengan nama Syeh Jangkung. Syeh Jangkung alias Saridin juga pernah diangkat sebagai salah satu lakon dalam kesenian Ketoprak. Masih menurut sumber di kalangan rakyat sekitar Kayen sendiri, Saridin sebenarnya adalah anak kandung Sunan Bonang yang lahir diluar pernikahan resminya. Namun begitu menginjak dewasa ia menjadi tokoh pembangkang, nyaris serupa dengan cerita Ondorante. Ceritanya mirip Malin Kundang yang melakukan pembangkangan terhadap orang tuanya. Namun dalam cerita Saridin, cara orang-orang Pati selatan menarasikan cerita ini seperti sedang meledek kedigdayaan Sunan Bonang. Narasi ini menggambarkan Saridin sebagai sosok protagonis (berbeda dengan Malin Kundang) yang selalu luput dari kejaran/perlawanan Sunan Bonang dan pengikutnya.
Konon menurut Pak Kabul, cerita seperti ini dulu bebas dipentaskan dalam lakon ketoprak. Tapi sekarang tidak ada kelompok yang berani mementaskannya. Bahkan ketika Orde Baru lengser, politik represi masih diberlakukan. Bentuk-bentuk represinya memang tidak bersifat fisik, akan tetapi represi terhadap gagasan dan pikiran yang dianggap menyimpang. Pada tahun 2004 misalnya MUI Pati pernah melakukan larangan terhadap seluruh cerita yang dianggap menghina Islam. Beberapa komunitas santri di Pati bahkan mulai menunjukkan sikap antitoleransi terhadap agama lain. Misalnya ini terjadi sekitar tahun 2005, ketika pembangunan Vihara di sekitar Pati didemo oleh puluhan umat Islam yang tidak setuju dengan pembangunan rumah ibadah ini. Meskipun demikian, orang-orang Islam dari kalangan santri di Pati sendiri tidak begitu menyukai bentuk-bentuk Islam radikal seperti yang mulai marak di beberapa kota besar di Indonesia. Mereka menolak atribut-atribut yang terlalu arabis karena sebagian besar santri di Pati bertolak dari tradisi Nahdliyyin. Bentuk paling brutal yang pernah mereka lakukan hanya pada waktu peristiwa politik 1965.
Pada tahun 1965, seluruh wilayah di Pati menjadi bagian dari wilayah yang disisir oleh beberapa pleton serdadu yang ditugaskan mengganyang sisa-sisa Eks PKI (Partai Komunis Indonesia) dan underbouwnya. Beberapa desa disisir dan tidak jarang dibumihanguskan. Penduduknya disergap, dibunuh lalu dikubur massal, dan sebagian lagi lari tanpa bisa kembali lagi. Di lapangan, para serdadu ini berkoordinasi dengan baik dengan para Banser dan kelompok-kelompok muda Islam dari pesantren.
Khususnya di sebelah Pati Selatan, imbas penyisiran ini terjadi di beberapa tempat. Karena Komandan Sarwo Edhi yang memulai penyisiran dari Solo sampai Purwodadi. Penyisiran ini membawa luka yang yang mendalam dikalangan keluarga eks-Tapol/Napol. Desa yang pernah dibasmi sebagian penduduknya, tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk diteruskan sebagai tempat berteduh meneruskan kehidupan bersama. Trauma yang mendalam ini berjalan seiring waktu. Pada masa berikutnya, orang-orang yang dicap eks-PKI harus menjalani kontrol dan pemeriksaan sepanjang waktu. Mereka tidak memperoleh akses ke layanan publik selayak warga negara lain. Status mereka sebagai warga negara dihilangkan, mereka juga dikucilkan dalam pergaulan sosial.
Yang menarik sampai hari ini adalah keberadaan komunitas Sedulur Sikep. Mereka dikenal oleh para antropolog dan peneliti sosial sebagai Komunitas Samin. Orang Sikep tidak pernah menjadi pengikut Komunis, dan dalam beberapa catatan sejarah mereka menolak dimasukkan ke dalam partai atau organisasi apapun yang berbau modern. Akan tetapi, karena peristiwa konflik 1965, beberapa keluarga dari Sedulur Sikep dikenakan denda tahanan selama beberapa bulan. Proses penggiringan ini berlangsung sangat mendebarkan. Beberapa regu tentara masuk ke desa-desa dan menangkap lelaki-lelaki yang dicurigai sebagai bagian dari pengikut Komunis.
Pernah dalam suatu masa sekitar tahun 1970an, seorang tokoh terkenal bernama Mbah Suro ditangkap satuan tentara yang diturunkan dari Pangdam Diponegoro. Mbah Suro ditangkap karena diduga mengajarkan ajaran sesat (ilmu hitam) ke masyarakat desa. Mbah Suro memiliki banyak pengikut. Mereka diduga memiliki ilmu kebal dan praktik seperti ini dilaporkan oleh para petugas keamanan sebagai praktik yang meresahkan orang-orang Desa. Petugas keamanan juga membuat laporan yang menghubungkan Mbah Surokidin dengan salah satu tentara yang bersimpati ke golongan kiri.
Meskipun Sedulur Sikep bukan bagian dari kelompok Mbah Suro, cara Sedulur Sikep berpakaian hitam-hitam sudah menciptakan stigma tertentu. Peristiwa ini semakin membuat kelompok Sedulur Sikep terpojok. Hubungan mereka dengan tetangga-tetangga setempat dipenuhi oleh rasa was-was, dipenuhi oleh sak wasangka dan kerap menimbulkan jarak sosial yang semakin akut. Hubungan santri dan kelompok Jawa abangan, khususnya sedulur sikep berlangsung dalam suasana tegang dan saling tidak berkomunikasi satu sama lain. Kondisi ini berlangsung relatif lama, khususnya dalam suasana rezim Orde Baru yang represif. Hubungan-hubungan ini diciptakan seolah-olah harmonis karena dibawah tekanan pemerintah. Akan tetapi suasana sehari-hari belum menciptakan perjumpaan yang saling mengenal secara intensif satu sama lain. Masing-masing kelompok berkutat dengan kelompoknya sendiri. Hubungan multikultural sebatas berlangsung dalam transaksi ekonomi di pasar-pasar tradisional. Relasi-relasi antar kelompok nampak jarang terjadi kecuali karena dimobilisasi oleh pemerintah.
Selama masa Orde Baru, beberapa komunitas Samin malah dikontrol melalui berbagai cara: salah satunya adalah proses normalisasi kehidupan masyarakat Samin. Berkaitan dengan pelaksanaan program pembangunan, proses ini dilakukan dengan memobilisasi orang-orang Samin ke dalam proyek wajib belajar. Beberapa orang di sedulur sikep menolak untuk disekolahkan. Mereka melawan dengan beradu argumentasi. Meskipun demikian, beberapa keluarga tidak sanggup dipaksa dan diancam. Mereka akhirnya bersedia mengikuti program sekolah. Bahkan sekolah yang berada di desa Wotan Sukolilo didirikan diatas tanah milik sedulur sikep.
Minoritisasi terjadi di berbagai dimensi kehidupan. Sedulur Sikep yang meyakini bertani sebagai pilihan bahkan panggilan hidup harus bertahan dengan rekoso (penuh penderitaan). Revolusi pertanian yang pernah dicanangkan pemerintah misalnya menciptakan situasi baru yang semakin menurunkan kualitas hidup petani. Meskipun pada masa awal revolusi hijau Indonesia pernah menjadi negara lumbung padi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Kualitas hidup petani semakin menurun, karena kebijakan-kebijakan pemerintah tidak berpihak ke sektor pertanian. Industrialisasi difokuskan di kota-kota, sambil pada saat yang sama sektor pertanian dijadikan penopang hidup buruh-buruh pabrik yang menikmati upah murah. Ini artinya harga produk pertanian dibuat semurah mungkin supaya bisa dijangkau masyarakat di lapisan bawah, tapi kesejahteraan petani dibiarkan. Semakin hari, orang-orang desa malas bertani. Situasi ini mendorong urbanisasi besar-besaran. Orang-orang desa lebih memilih menjadi buruh di kota daripada harus menjadi petani dengan tingkat kehidupan yang tidak pernah meningkat.
Akibat revolusi hijau, ketergantungan mereka terhadap bahan nonorganik masih terasa sampai sekarang. Harga pupuk dan distribusinya seringkali dimonopoli oleh gerombolan tengkulak yang sudah menjadi jaringan yang rapi dan tidak tersentuh oleh hukum.
Namun demikian, keluarga-keluarga dari sedulur sikep bertahan dengan keyakinannya: Bertani adalah pilihan dan panggilan hidup. Seluruh sejarah suka duka petani di Indonesia dapat kita rekam dari jejak perjalanan hidup mereka, meskipun duka itu jauh lebih lama dibandingkan masa-masa kejayaan petani. Gubuk reot berdinding kayu dan batu kapur masih dapat dijumpai di desa-desa di Sukolilo. Toh mereka adalah sosok petani tegar, tidak pernah sekalipun mereka menyerah, dan kalimat-kalimat mengenai kemiskinan dan penderitaan tak pernah mereka nyatakan hanya untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Bahkan sebagian besar bantuan pemerintah mereka tolak. Misalnya bantuan yang didasarkan dari proyek Komunitas Adat Tertinggal. Penelitian dari Universitas Diponegoro Semarang pernah menyimpulkan keberadaan mereka dalam kategori Adat Tertinggal. Mereka menolak karena menurut mereka bantuan ini salah sasaran. Alasannya mereka bukan kelompok yang disebut sebagai Adat Tertinggal. Apanya yang tertinggal? Kata Gunretno, salah seorang warga sedulur sikep.
Penolakan ini juga didasarkan oleh alasan bahwa kerapkali bantuan dari pihak pemerintah dilakukan sekedar memenuhi target proyek sesuka hati. Bantuan ini tidak dipikirkan bahwa itu semua didasarkan oleh suatu rencana pemerintah yang didasarkan dan direncanakan berdasarkan Undang-Undang. Istilah bantuan sendiri juga salah kaprah, seolah-olah pemerintah berbaik hati memberikan bantuan secara cuma-cuma. Padahal semua bantuan itu juga diambil dari kas negara yang sebagian besar diperoleh dari pajak yang dipungut dari masyarakat. Sedulur sikep di Pati adalah sekelompok petani yang sangat kritis dan evaluatif terhadap kebijakan-kebijakan negara, khususnya yang berkaitan dan bersinggungan langsung dengan nasib petani.
Situasi ini tidak berubah bahkan mungkin keyakinan ini kelak harus pupus oleh sejarah: Sebuah fase kehidupan baru bakal diterima warga di sekitar pegunungan Kendeng. Pemerintah Pati mendorong dilaksanakan segera pembangunan pabrik semen di sekitar pegunungan ini. Menarik karena keinginan pemerintah ini bertolak belakang dengan kebutuhan masyarakat sekitar Gunung Kendeng. Gunung Kendeng yang memiliki kandungan batu kapur ini memang tepat dijadikan ladang eksploitasi batu kapur. Akan tetapi, di sekitar Gunung Kendeng terdapat sekitar 67 sumber mata air yang mengaliri lebih dari 20 ribu hektar sawah di sekitar pegunungan ini.
Eksistensi petani tidak saja terancam di sekitar Gunung Kendeng, akan tetapi juga keberadaan nilai-nilai Sikep yang sampai kini masih direproduksi sebagai peneguh identitas petani di sekitar masyarakat Pati, Blora, dan Kudus. Bagi petani di sekitar Gunung Kendeng, khususnya warga sedulur sikep, kesejahteraan tidak akan didapatkan dengan cara mengeksploitasi pegunungan Kendeng. Pegunungan Kendeng adalah bagian dari kehidupan mereka yang patut diuri-uri (dipelihara dengan baik). Itulah sebabnya disini terdapat beberapa situs yang dikenang sebagai pusat kehidupan dan pemelihara kehidupan: situs watupayung. Situs ini kerapkali dikunjungi oleh penjelajah spiritual dan orang-orang yang meyakini secara simbolik “kemuliaan” situs ini. Dalam idiom Jawa kita bisa menyebutnya sebagai, “keramat”. Sesuatu yang memiliki nilai intrinsik secara immaterial. Ini adalah cara bagaimana suatu kawasan ekosistem yang begitu kaya dipelihara keberadaannya. Secara ilmiah kita bisa menelusuri dari beberapa sumber atau pusat kajian yang memiliki data mengenai kekayaan yang terkandung di kawasan Gunung Kendeng. Berdasarkan catatan Sunu Widjanarko misalnya disebutkan bahwa di Pegunungan Kendeng terdapat bentukan bukit dan lembah yang khas akibat proses-proses pelarutan, terdapat goa-goa, aliran sungai bawah tanah, dan mata air. Menurutnya, pengrusakan kawasan batu gamping ini akan memengaruhi ekosistem untuk daerah yang jauh lebih luas daripada yang diperkiraan. Ujung- ujungnya, korban terakhirnya adalah umat manusia karena alam memiliki mekanisme pertahanan yang sempurna. Jika tekanan terhadap dirinya makin berat, maka dia akan menyeimbangkan dirinya dengan cara membuat bencana agar dapat mengurangi populasi manusia (Widjanarko, 2008).
Sayangnya tekanan dari pihak pemerintah daerah Pati terus dilakukan. Sosialisasi pihak Pemerintah menyampaikan keuntungan ekonomi jika dilaksanakan pabrik semen. Padahal keuntungan ekonomi ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat. Jika pabrik ini dibangun, beberapa orang saja yang terserap sebagai tenaga kerja buruh pabrik semen. Selebihnya akan merasakan getirnya mengelola tanah-tanah yang semakin tidak produktif akibat hilangnya sumber-sumber mata air. Kerusakan lingkungan jauh lebih terasa dampaknya di masa depan dibandingkan keuntungan ekonomi. Kalaupun terjadi pertumbuhan ekonomi di Pati akibat pembangunan Pabrik Semen, kondisi ini hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, tidak sepadan dengan dampak lingkungan yang bersifat massif.
Sampai kini, pertandingan antara penganut ekonomi neoliberal dan ekonomi berbasis kesejahteraan komunitas ini belum berakhir. Kemenangan salah satu diantaranya akan merubah peta sosial, politik, ekonomi masyarakat Pati di kemudian hari. Dan wajah multikultural Pati juga berganti rupa dengan bentuk dan model relasi antar kelompok yang berbeda pula. Jika pegunungan kendeng runtuh akibat eksploitasi oleh Pabrik Semen, runtuh pula seluruh sejarah sosial petani yang dipahat dengan susah payah melalui tradisi dan keyakinan sedulur sikep. Mereka adalah monumen kebangsaan yang mengguratkan narasi heroik petani petani Jawa memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan.
Dan kelak kita harus siap dengan dokumen baru dalam denyut multikultural di Pati yang berbeda. Soalnya apakah sejarah itu lebih berpihak ke kelompok petani sebagai kelompok mayoritas atau sebaliknya?
M. Nurkhoiron