“ Hyang tunggal katua kana jali nganawi-nawi jalan kabeh alam sakabeh alam dia disanes kara hung kadia ahung “
Arti leterleknya: “Tuhan itu tidak beranak dan tidak diperanakan”.
Ungkapan di atas adalah Syahadatnya agama Sunda Wiwitan yang dianut oleh orang baduy. Selama ini mereka di stereotipkan sebagai pemuaja alam, apalagi dalam versi pemerintah dikategorikan penganut aliran kepercayaan. Bahkan ada anggapan bahwa mereka itu sebagai pembangkang dan menolak ajaran agama Islam, sebagaimana tak jauh bedanya dengan baduy yang ada di Mekah. Akan tetapi stereotipe ini menjadi tanda tanya, kenapa secara adat dan religi Sunda Wiwitan memiliki keyakinan tentang Tuhan itu Hyang tunggal dan tidak beranak serta tidak diperanakan.
Syahadat di atas, tidak ada hubungannya antara Sunda Wiwitan dengan Islam. Atau ada asumsi, jangan-jangan meniru ajaran Islam?, persoalannya ada ke-sama-an dengan konsep Tauhidnya agama Islam seperti dalam surat al-Ikhlas, yaitu: “Qul huwa al-Allah ahad ……. Lam yalid walam yuu lad …. “. Kita tidak bisa menghakimi siapa meniru siapa atau siapa duluan siapa, dan kita tidak terjebak dengan kategrori agama Samawi dan Ardi. Karena agama Sunda Wiwitan lebih menekankan hal apa yang harus mereka kerjakan, bukan apa yang harus mereka percayai.
Beranjak dari asumsi di atas, kiranya secara sederhana pelu melihat ulang kata wiwitan dalam literatur Sunda kuno, yang artinya per-mula-an, maka sunda wiwitan merupakan perubahan nama dari agama yang dianut oleh Wangsa Pajajaran. Orang Sunda tidak menganut agama Hindu dan Budha, sebagai saksi dan bukti, mengapa di Jawa Barat tidak ada Candi ? Sebab sebelum masuknya Hindu dan Budha sudah lebih awal agama Sunda Purana. Agama Sunda Purana mengacu pada siklus perladangan (red- huma), karena sistem perladangan itu bagi mereka sebagai Wedanya orang Sunda atau al-Qur’annya agama Sunda.
Selain bersyahadat, ternyata masyarakat Baduy punya tanah Suci dengan sebutan “Tapa di mandala”. Bagi mereka nagara Kanekes adalah tanah suci agama Sunda Wiwitan, artinya disitu tempat bersucinya orang-orang Kanekes. Karena orang Baduy dalam kehidupan kesehariannya tidak lepas berpijak pada agama; mandi sebagai syariat agama, makan sebagai syariat agama, tidur sebagai syariat agama. Artinya, makan hanya sekadar tidak terlalu lapar, minum hanya sekedar tidak terlalu haus, tidur hanya sekedar tidak terlalu ngantuk. Jadi pola hidupnya itu tidak boleh berlebihan, makanya dalam tradisi orang baduy itu tidak menmpuk harta, contoh sederhana, mereka tidur tidak pakai bantal cukup dengan potongan bambu atau kayu, artinya tidak boleh enak-enakan.
Tak luput juga, di baduy ada tradisi Khitan yang disebut Sudat, caranya bukan kulupnya yang dibuang tapi kulupnya itu cukup ditoreng lalu dimasukan Semilu dan disobek, karena bagi mereka tabu untuk membuangnya. Kenapa mereka tabu ? baginya, bahwa Tuhan menciptakan mahluk dan alam semesta ini sempurna, sebab tuhan itu maha sempurna. Kita sebagai ciptaan-Nya tabu untuk membuang hasil ciptaannya, karena sama saja dengan melecehkan kekuasan tuhan.
Baduy yang selama ini kita sebut masyarakt tertutup, bahkan eksklusif, ternyata agama Sunda Wiwitan cukup toleran dengan agama lain seperti halnya Islam. Sebagai contoh, di lingkungan masayrakat baduy ada yang di sebut desa Kanekes (kampung inti), kampung Panampi, kampung Dangka dan masih banyak kampung-kampung lainnya, sekarang kurang lebih berjumlah sekitar 40-an kampung. Di antara sekian kampung ada yang disebut namanya kampung Ci Cakal girang, penduduknya semua beragama Islam. Sejarah awalnya, Sultan Banten pernah menitipkan kepada orang baduy dengan ungkapan: “Kalau esok lusa orang baduy ada keperluan apa saja dengan orang-orang Islam, kami titipkan di sini jangan diganggu, paling saling tolong”. Maka ketika orang ci Cakal girang mendirikan bangunan Masjid, orang-orang Baduy membantunya. Artinya antara agama Sunda Wiwitan dengan orang baduy yang menganut agama Islam tidak bermasah, bahkan saling membantu dan tolong menolong sesama manusia.
Apalagi seperti dalam prosesi pernikahan, orang Baduy Panampi (baduy luar/ berbaju hitam), ketika tidak mampu membawa ke baduy Tangtu (baduy dalam/ berpakaian putih kumal) melalui proses adat yang begitu jelimet, itu dibolehkan nikahnya ke penghulu Islam. Dan biasanya dilatih dahulu bagaimana bersyahadat Islam, yakni mengikuti apa-apa yang diutarakan oleh penghulu, seperti ada kata-kata: “ hanteun pihatureun girang, kami rek ngahalimpukeun anak…”. Ungkap penghulu.
Melihat gambaran di atas, bagaimana orang baduy yang beragama Sunda Wiwitan berbaur sesama baduy yang beragama Islam, mereka sangat toleran, terbuka, bahkan bagaimana melakukan negosiasi saat pernikahan dengan adat luar. Apalagi cukup ironis, ketika berbicara agama Samawi atau Ardhi, toh Sunda Wiwitan dalam hidup kesehariannya, mereka lebih beragama dari pada orang yang mengklaim beragama paling benar. Lalu apah makna dan kategori Samawi-Ardhi bagi agama Sunda Wiwitan ? Selamat merenung. Desantara-Very