"Sejak kapan negara harus mengurusi selera seks saya,” demikian gerutu Dr Dede Utomo, dosen sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur yang juga tokoh gay di Surabaya beberapa tahun lalu. Dede memang pantas berang, karena saat itu para tokoh hukum Indonesia seperti Prof Muladi, Prof JE Sahetapi dan Yusril Ihza Mahendra sedang menggodok sebuah RUU (Rancangan Undang-Undang) yang antara lain isinya menegaskan adanya larangan perilaku homoseksual, lesbian dan kumpul kebo. Bagi para pelakunya akan dikenakan sanksi yang berat.
Gagasan para ahli hukum tersebut, menurut Dede Utomo sangat tidak masuk akal. Ini sama saja dengan memasukkan ketentuan mengenai warok (tokoh Kesenian Reyog di Ponorogo yang biasanya memiliki kekasih sejenis yang disebut gemblak) masuk ke GBHN, misalnya lalu ada ketentuan, barangsiapa tidak punya gemblakan, maka ia harus didenda. “Atau seorang profesor hukum yang waria, tiba-tiba mengatakan, barangsiapa yang tidak pernah dandan pada malam jum’at maka ia harus ditangkap dan dipidana,” kata Dede mengillustrasikan kekacauan RUU tersebut.
Bagi Dede Utomo, gagasan para ahli hukum itu menunjukkan arogansi, diskriminasi dan dominasi golongan tertentu, dan tidak menghargai golongan lain. Dede mengakui, adalah hak Yusril, Muladi dan Sahetapi untuk tidak menyukai hubungan seks sesama lelaki dan kumpul kebo. “Tetapi jangan lalu nilai-nilai mereka kemudian dipaksakan kepada orang lain,” tegas Dede (lihat Majalah Desantara Edisi 08/Tahun III/2003).
Apa yang dirasakan oleh Dede Utomo, sebenarnya hanyalah bagian kecil dari banyak kasus yang muncul akibat terlalu beringasnya negara dalam mengatur kehidupan sipil. Alih-alih mampu menyelesaikan problem seperti klaim yang diusungnya, ketentuan-ketentuan yang dibuat negara seringkali justru sebaliknya, telah memunculkan problem baru di tengah masyarakat. Dan hingga kini masih banyak lagi kasus serupa meski dalam versi dan kadar yang berbeda.
Sebut saja misalnya apa yang dialami oleh masyarakat penganut keyakinan Agama Djawi Sunda (ADS) di Cigugur Jawa Barat. Sebagai sebuah keyakinan ADS telah menjadi denyut nadi satu komunitas yang hidup di daerah Cigugur ini selama bertahun-tahun. Layaknya sebuah agama, ADS juga memiliki seperangkat ritual, pedoman dan tuntunan hidup. Kehidupan mereka semula tenteram belakangan menjadi kacau setelah pemerintah membuat aturan baku yang hanya mengakui 5 (lima) agama besar sebagai agama resmi.
ADS lalu dianggap sebagai bukan agama, dan karena itu jika para penganutnya hendak mengurus KTP ia diharusnya mencantumkan salah satu dari lima agama resmi yang diakui negara. Ketentuan ini berbuntut panjang, karena jika seseorang tidak mau mencantumkan salah satu agama resmi dan tetap mencantumkan ADS sebagai agama, ia tidak akan diberi KTP, dan karena itu tidak bisa menikah secara resmi, tidak bisa memiliki anak yang secara hukum dianggap sah sebagai pewaris di kemudian hari. Mereka sulit untuk menjadi pegawai negeri atau anggota TNI/Polri, bahkan untuk pelaksanaan penguburan jenazah pun sulit.
Belum lagi ditambah dengan adanya Undang-undang Sisdiknas, telah menjadikan anak-anak penganut penghayat ADS tidak memiliki peluang untuk menikmati pendidikan agama dan kepercayaan sesuai dengan ajaran yang dianutnya. Banyak diantara mereka yang diharuskan mengikuti salah satu pelajaran agama resmi, dan bila tidak bersedia, mereka harus menerima konsekuensi kehilangan satu nilai mata pelajaran. Sebuah keyakinan yang secara mendasar merupakan hak asasi setiap manusia, telah dirampas oleh negara.
Islam
Ketentuan-ketentuan yang secara prinsipil mengandung watak diskriminatif seperti ini, rupanya tiada henti terus diproduksi oleh negara, dan seringkali bersekongkol dengan agama tertentu. Dalam konteks Indonesia, Islam adalah salah satu agama yang paling sering melakukan perskongkolan dengan negara untuk memproduksi aturan-aturan yang bersifat diskriminatif. Salah satu bentuknya adalah ketika pemerintah (melalui Departemen Agama) mencoba hendak meningkatkan status Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi undang-undang yang lebih bersifat mengikat.
KHI adalah kompilasi hukum Islam yang di dalamnya mengatur soal perkawinan, pewarisan dan perwakafan berdasarkan hukum Islam. KHI disusun dalam rangka penyeragaman atau unifikasi hukum yang menjadi pedoman bagi para hakim agama untuk menetapkan keputusan atau kasus yang mereka hadapi dalam berbagai peradilan agama. KHI yang hendak diusung Depag ini, seperti dikatakan oleh Dr Siti Musdah Mulia, Koordinator Tim Pokja Pengarusutamaan Gender Depag, sangatlah konservatif, mengabaikan kesetaraan gender, diskriminatif dan melawan semangat pluralisme.
Contohnya adalah dalam soal perkawinan beda agama, di dalam KHI tersebut dikatakan bahwa kawin beda agama dibolehkan bila laki-laki beragama Islam dan tidak sebaliknya. Di situ juga disebutkan, syarat sah perkawinan adalah apabila dihadiri oleh saksi yang beragama Islam, dan juga anak yang keluar dari agama Islam tidak lagi berhak memperoleh warisan dari orangtuanya. Yang mengundang tentangan keras, terutama dari kalangan feminis adalah bahwa, dalam KHI juga disebutkan suami boleh tinggal serumah dengan beberapa istrinya bila ia berpoligami.
Wajah diskriminatif Islam kembali mengemuka dalam menykapi Jemaah Ahmadiyah. Sebagai organisasi Jemaah Ahmadiyah di Indonesia telah memiliki status hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. J.A.5/23/13. Namun sejak tahun 1980 melalui fatwanya, MUI telah melarang aktivitas Ahmadiyah karena dianggap menyimpang dari garis Islam, mereka dianggap sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Sejak itu banyak hujatan yang diterima Ahmadiyah, bahkan di kalangan kelompok-kelompok masyarakat muncul sikap antipati, dan dalam banyak kasus menimbulkan kekerasan fisik.
Pada tahun 1995, di Sukabumi mesjid Ahmadiyah dirobohkan. Berturut-turut pada tahun 2002-2003 di dua daerah yang berbeda di Jawa Barat terjadi tindak kekerasan dan intimidasi terhadap kelompok Jemaah Ahmadiyah. Di Manislor Kuningan, Oktober 2002, November 2002 dan Oktober 2003, terjadi perusakan tempat ibadah dan rumah tinggal Jemaah Ahmadiyah oleh Ormas dan pemda setempat. Di Tolenjeng Tasikmalaya, April 2003, juga tertjadi perusakan mesjid Al-Hidayah, dengan pembakaran lembari, buku, karpet dan mimbar yang ada di masjid. Di Kecamatan Kawalu Tasikmalaya, terjadi perusakan rumah tinggal dan panti asuhan, apotik dan sejumlah toko yang disinyalir sebagai milik kalangan Ahmadiyah. (lihat, Diaspora, edisi 9, Februari, Vol.II, 2004)
Berbagai contoh di atas cukup menegaskan bahwa, negara tidaklah selalu seindah dan sebaik yang digambarkan oleh Hegel. Juga tidak seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yang mengatakan bahwa negara “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Pun agama, tidak selalu menampakkan wajah yang damai bagi seluruh umat (rahmatan lil alamin) seperti yang selama ini diklaim para pengikutnya.
Dalam kenyataanya, negara masih sering menampakkan sosok yang mengerikan, pun agama menjadi sangat menakutkan bagi umat. Dan persekongkolan keduanya telah membuahkan malapetaka bagi banyak warga. Mungkin pangkal persoalannya, bukan terletak pada nilai moral yang terkandung dalam dua entitas (agama dan negara) itu sendiri. Melainkan pemaknaan dan kepentingan para elite-nya. Karenanya yang dibutuhkan kini adalah tafsir yang lebih emansipatoris dan demokratis, yang lebih memiliki empati terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Juga negara yang merepresentasikan kepentingan warga dengan segala keanekaragamannya, tanpa diskriminasi berdasar atas apapun. Mengimpikan agama dan negara seperti itu terwujud, memang masih jauh dari kenyataan. Tetapi bukan berarti tidak mungkin bukan? Desantara / Miftahuddin