Sebagaimana arena kebudayaan yang tak pernah lepas dari tawanan negara Orde Baru, tak terkecuali pula nasib Gandrang Bulo. Sekitar tahun 1990-an, Gandrang Bulo pernah menjadi instrumen penting pembangunan. Misalnya saat pemerintah gencar menyosialisasikan program Keluarga Berencana (KB), Gandrang Bulo menjadi salah satu media efektif guna menyampaikan pesan tersebut.
Para seniman, melalui lembaga kebudayaan dan institusi pariwisata sebagai mesin korporatisme negara, diorganisasikan dan dikontrol ketat. Mulai dari pendataan administratif seniman hingga pakaian, desain panggung, dan pesan-pesan yang diselipkan dalam pertunjukan. Hampir tak ada ruang bebas bagi para seniman menampilkan kreatifitasnya.
Dg Pawa, seniman Gandrang Bulo asal Karaeng Loeri Sero, Gowa, mengaku kelompoknya dibikinkan sanggar seni oleh departemen pariwisata dengan sejumlah aturannya. Menurutnya, kala itu dirinya dijanjikan sejumlah bantuan keuangan yang ternyata tak pernah kunjung tiba.
Kendati begitu, ada saja cara-cara para seniman ini memelesetkan dan “mensubversi” pesan itu. Seperti yang pernah dikisahkan Dg Pawa kepada Desantara beberapa waktu lalu. Meski grupnya memperoleh kontrak sebagai corong kampanye KB pemerintah, secara tak terduga dialog-dialog di dalamnya justru berjalan setengah liar.
“Saya juga ini ikut KB,” kata Dg Pawa yang memerankan seorang tokoh yang dihormati waktu itu.
“KB-ko na banyak anakmu ada sepuluh, kau tauji artinya KB-kah?,” timpal temannya.
“Iyo, keluarga berencana toh, saya ini keluarga berencana, kurencanakan anakku sepuluh, ternyata benar sepuluh,” sahut Dg Pawa dengan mimik yang dibuat-buat serius. Mendengar jawaban itu, si teman inipun hanya bisa menggaruk-garukkan kepala. Desantara