Pancasila Ternodai di Hari Kelahirannya

desantara-default

Desantara.or.id

Ini adalah untuk kali pertamanya dalam sejarah bangsa kita. Orang-orang yang hendak merayakan lahirnya Pancasila –dasar negara yang sudah dipakai berpuluh-puluh tahun lamanya– diserang oleh sekelompok massa dari organisasi yang disebut Gus Dur sebagai “organisasi bajingan”.

Minggu siang (1/6) sekitar pukul 13.20 WIB, ratusan massa dengan mengenakan pakian putih-putih dan atribut Front Pembela Islam (FPI) tiba-tiba menyerbu Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).

Saat itu AKKBB sedang berkumpul di lapangan Monas untuk melaksanakan aksi damai dalam mendukung agar Pancasila benar-benar ditegakkan di Indonesia.

FPI yang dipersenjatai bambu yang ujungnya sudah diperuncing serta besi hitam panjang langsung mengejar dan memukuli massa AKKBB yang sebagian besar merupakan kaum ibu dan anak-anak.

Kontan, mereka pun lari tunggang langgang menyelamatkan diri masing-masing disertai jeritan dan tangisan para ibu-ibu. Sedikitnya terdapat 12 orang korban berjatuhan dalam peristiwa memalukan itu. Mereka mengalami luka-luka: darah tampak mengalir di pelipis beberapa korban, bahkan ada yang sampai gagar otak ringan. Mereka dibawa ke RS Mitra Internasional Jatinegara, RSPAD dan RS Tarakan. Namun sebelum itu, massa FPI juga sempat menghalang-halangi tim medis yang berupaya menolong para korban luka-luka dan memukuli batang ambulance yang mengangkut mereka dengan tongkat.

Belum puas sampai di situ, massa FPI juga merusak mobil-mobil yang terparkir di sekitar lokasi tersebut. Peralatan sound system yang akan digunakan AKKBB berorasi beserta mobil pengangkutnya diobrak-abrik. Akibatnya, apel/demo AKKBB pun batal.

Polisi Melakukan Pembiaran

 Saat terjadinya insiden Monas tersebut, tak ada polisi yang berjaga di sana. Hal inilah yang membuat massa FPI begitu bebas dan leluasa mengumbar kebrutalannya.

Absennya polisi ini menjadi catatan serius bagi sebuah proses demokrasi. Dengan itu, polisi tidak hanya melakukan pembiaran (by ommision) terhadap segala upaya dan tindakan anarkis yang bertentangan dengan nilai agama dan demokrasi, tapi juga memperlihatkan pola yang diskriminatif. Coba bandingkan bagaimana garang dan ringan tangganya polisi ketika menghadang dan membubarkan aksi mahasiswa yang menolak BBM di sejumlah tempat. Bahkan, seperti kasus Unas, polisi sampai masuk ke kampus dan menganiaya beberapa mahasiswa Unas di lapangan.

Tapi kenapa ketika yang melakukan aksi anarkis itu FPI atau kelompok massa lainnya yang mengatasnamakan agama tertentu polisi diam saja, melempem, seperti tak punya nyali? Ini bukan yang pertama kalinya. Di beberapa daerah, FPI dan organisasi semacamnya kerap melakukan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas. Di saat itu pula polisi tak jarang hanya menjadi penonton saja.

Ketika mendapat sorotan dari berbagai kalangan dalam insiden Monas ini, pihak polisi malah dengan ringan memberikan statemen yang begitu sederhana, menarik ke persoalan teknis-prosedural. Kapolres Jakarta Pusat Kombes Pol Heru Winarko mengaku bahwa AKKBB belum melakukan koordinasi dengan mereka, meskipun hal itu dibantah oleh pihak AKKBB.

Entah siapa yang benar? Tapi marilah kita pakai logika yang paling sederhana saja. Jika kita andaikan polisi yang benar, bahwa AKKBB belum memberi koordinasi aksinya di Monas, maka muncul pertanyaan lainnya, kenapa massa FPI sebegitu besar (sekitar 200 orang) membawa senjata bambu dan batang besi dibiarkan saja berlenggang oleh aparat keamanan? Lalu, bukankah pusat demo hari itu ada di Monas? Jika demikian, mustahil kiranya jika ada wilayah Monas yang luput
dari penjagaan polisi. Selain itu, FPI pun bebas melakukan aksinya selama kurang lebih 20 menit. Suatu durasi waktu yang tentu tidak pendek. Maka, cukup aneh jika diperlukan waktu selama itu bagi aparat keamanan untuk bertindak, mengingat mereka seharusnya tidak jauh dari lokasi kejadian.

Usai massa AKKBB kocar-kacir digebuki tongkat dan diinjak-injak hingga beberapa keluar darahnya, polisi baru datang. Namun, tidak ada satu pun massa yang melakukan anarkis itu ditangkap. Bahkan, massa FPI dengan santainya tetap berada di lokasi untuk memastikan massa AKKBB bubar dan tidak melanjutkan aksinya.

Negara Hukum atau Negara Preman?

Tentu kita malu sebagai sebuah bangsa yang konon berdasarkan hukum, tapi faktanya gemar mempraktikkan cara-cara preman. Hanya karena menganggap yang lain sesat, lalu kemudian mengabsahkan tindak kekerasan. Padahal sudah jelas bahwa para Founding Fathers mendirikan bangsa ini bukan atas nama agama, ras, suku, ataupun golongan. Tapi bangsa Indonesia didirikan dengan kesadaran dan penerimaan multikultural dan pluralitas.

Jika pemerintah masih berpegang teguh pada prinsip awal pendirian bangsa ini dan menjalankan Pancasila sebagai dasar negara, maka tidak ada pilihan lain kecuali menindak tegas pelaku-pelaku kekerasan dalam insiden Monas tersebut. Dan jika benar FPI yang menaungi itu semua, maka memang sudah layak dibubarkan. Sebab, sekali lagi, ini bukan kali pertamanya mereka melakukan tindak anarkis yang meresahkan masyarakat.

Apalagi, hal itu dilakukan bertepatan dengan peringatan kelahiran Pancasila ke-63 terhadap orang-orang yang hendak memperingatinya. Satu Juni sudah ditetapkan sebagai hari suci bagi bangsa ini, maka siapapun yang menodai kesucian itu berarti sudah tidak menghargai atau bahkan menghina martabat bangsa ini. Kalaupun FPI menuduh AKKBB mengusung isu Ahmadiyah, itu tetap melanggar kebebasan hak warga negara untuk bersuara dan menyampaikan pendapat di muka umum. Bahkan lebih dari itu: membuat rasa tidak aman bagi orang lain.

Kecuali jika pemerintah ingin mencerabut bangsa ini dari konteks kelahirannya, maka silahkan saja membiarkan orang-orang beserta organisasinya yang selama ini gemar melakukan kekerasan dan menebar ketakutan dimana-mana itu terus merajalela. Hingga akhirnya negara ini akan menjadi negara preman; dasar negaranya preman, hukumnya preman, sistemnya preman, perilakunya preman, dan cara berfikirnya preman. Desantara / M. Kodim

BAGIKAN: