Proses diskriminasi tidaklah bersifat alamiah. Diskriminasi bukan gempa bumi, tidak pula angin badai yang datang tiba-tiba. Diskriminasi lebih mirip dengan tindakan akibat sikap rasisme yang memandang budaya dan cara hidupnya terunggul, sementara pilihan hidup yang lain sebagai cacat dan rendah. Selanjutnya, ia dipertahankan dan berjalin-kelidan dengan kekuasaan. Ia direproduksi dan diproduksi terus menerus untuk mengukuhkan dominasi dan kepentingan. Dan salah satu alat reproduksinya adalah melalui kurikulum dan pendidikan sekolah, sebagaimana dialami saudari Tatik, salah satu anak kandung P. Djatikusumah, tokoh penghayat di Cigugur. Berikut ini hasil wawancara Desantara dengan Tatik seputar perlakuan diskriminatif di sekolah yang dialami semasa remajanya.
Bisa diceritakan pengalaman Anda menerima perlakuan diskriminatif di sekolah?
Itu pengalaman spesial yang mungkin saya hadapi sendiri. Waktu itu saya berada di bangku SD kelas 2. Kebetulan saat itu Bapak sudah mengukuhkan diri keluar dari agama Katolik. Meski dulu pun sebenarnya Bapak hanyalah seorang penganut Katolik pasif. Waktu itu berdiri PACKU, Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang.
Namun tidak lama kemudian ada surat edaran dari Kejati melarang kegiatan-kegiatan PACKU, seperti Seren Taun dan sebagainya, karena dianggap mengarah pada pembentukan agama baru. Surat edaran itu lalu dibacakan secara serentak di seluruh sekolah-sekolah di daerah Kuningan. Khususnya pada saat upacara bendera.
Waktu itu aku belajar di sekolah Katolik. Setiap kali upacara dan setiap hari Kamis saya disuruh pergi ke Gereja. Akhirnya saya bilang pada ibu saya, kalau saya ingin belajar sekolah yang netral, dan saya berpikir bahwa sekolah negerilah yang netral.
Nah lalu saya pindah ke sekolah negeri dan mulai beradaptasi dengan pelajaran agama yang lain, yaitu Islam. Di situ saya harus belajar mengaji, sholat, dan lain-lain. Wah saat itu saya betul-betul stress berat. Gimana, orang saya tidak bisa mengaji. Sementara dalam ujian kita dituntut ujian sholat dan ngaji. Ketika ujian tiba, saya dipanggil kepala sekolah dan wali kelas. Mereka menginginkan saya kembali ke akar. Maksudnya kembali ke Islam karena kata mereka Buyut Madrais itu beragama Islam. Dan mereka bilang rumah ini bukan Paseban, tapi Pesantren.
Lalu saya bilang, saya tidak bisa melakukan itu. Padahal mereka sebenarnya sudah siap menggiring saya membaca syahadat.
Apa dasar mereka bilang Madrais itu Islam?
Saya tidak tahu. Mereka bilang rumah ini pesantren dan Madrais itu adalah seorang muslim. Lalu saya bilang bahwa saya tidak bisa melakukan apa yang diinginkan bapak guru. Saya punya orang tua, dan saya tahu apa yang benar dan salah itu berasal dari orang tua. Saya yakin apa yang dilakukan orang tua semuanya benar. Jadi saya tidak bisa berpaling begitu saja. Akhirnya, guru saya menulis kolom agama di Raport saya Katolik. Tapi saya disuruh melakukan sholat dan mengaji. Meskipun tidak bisa.
Lalu ketika di SMP yang waktu itu pelarangan Seren Taun lagi hangat-hangatnya sekitar tahun 1986-1987, pada setiap pelajaran agama guru saya selalu bilang bahwa kafir itu begini atau kafir itu begitu. Perasaan saya waktu itu berontak. Ya mungkin terpengaruh karena saya masih remaja yang butuh eksistensi diri dihadapan teman-teman dan juga perlu pengakuan dalam pergaulan. Tapi sebenarnya setiap pelajaran agama saya menolak itu bukan karena apa, melainkan karena saya mendengar omongannya selalu menyinggung dan menjelek-jelekkan. Jadi saya terpaksa mengikuti terus pelajaran itu karena takut nanti mendapat hukuman.
Di sekolah itu, apakah ada orang lain yang mendapat perlakuan yang sama?
Ya kebetulan waktu di SMP Negeri itu hanya saya yang penghayat ya. Tapi ketika saya sekolah di Cigugur banyak teman-teman yang mendapat perlakuan seperti itu.
Lalu bagaimana pengalaman Anda di SMA?
Waktu di SMA, yang ngomong kafir atau suka mengkafirkan itu justru bukan guru agama. Guru agamanya anteng, baik. Justru guru PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang suka bicara kafir dan mengkafirkan. Dia menerangkan bahwa di Indonesia hanya ada 5 agama resmi. Sedangkan yang di Cigugur itu bukan agama, melainkan Madraisme. Dia bilang, Madrais itu orang kafir, murtad, dan segala macam. Lalu saya memberanikan diri bicara: ini pelajaran PMP, saya pikir semua agama tidak membenarkan menjelek-jelekkan orang lain. Apalagi orang yang kita tidak tahu, dan kita tidak bisa bersaksi. Saya tanya Bapak, sekarang anda lahir tahun berapa. Saya tanya begitu, dia kaget. Dia bilang lahir tahun 1942. Padahal Madrais meninggal jauh sebelum dia lahir.
Gara-gara itu sampai akhirnya saya tidak bisa naik kelas karena nilai pelajaran PMP mendapat angka lima. Begitu juga nilai pelajaran agama saya. Padahal nilai pelajaran-pelajaran yang lain bagus-bagus.
Lalu kasus itu juga dirapatkan. Saya tidak naik kelas karena angka nilainya lima. Itu karena saya dipermalukan oleh guru saya. Kenapa dia tidak memberi kabar yang benar. Mengapa dia tidak datang ke Cigugur mencari tahu, dan langsung main tuduh dan sebarkan begitu? Saya protes soal itu. Karena, bagi saya, apa yang dikatakan guru adalah pengajaran dan diserap oleh murid-murid yang lain sebagai penambahan ilmu pengetahuan di kelas. Dan karena guru itu mengajar di banyak jurusan, bukan tidak mungkin semua siswa mendengarkan juga. Justeru menurut saya, informasi di kelas lebih terekam di bandingkan di depan umum. Jadi saya waktu itu melawan.
Lalu saya pindah sekolah ke Bandung. Guru saya di Bandung mempertanyakan mengapa kolom isian agama dalam buku Raport saya tertulis: [-]. Artinya, kolom agamanya dikosongi. Guru baru saya itu rupanya kebingungan. Di sekolah itu hanya ada 2 guru agama, Katolik dan Islam. Lalu saya bilang bahwa saya penghayat. Dan saya bisa mengikuti pelajaran agama yang mana saja. Kemudian kami ngobrol dan dia mulai bertanya mengenai agama saya.
Nah bagi saya sebenarnya saya lebih suka guru yang seperti ini. Dia mau bertanya dan saya diberi kesempatan menjelaskan.
Pengalaman ini anda rasakan di setiap sekolah atau…
Ini saya alami bukan hanya di sekolah Islam, tapi juga di sekolah Katolik.[]