Berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa//Berusaha untuk menjauhkan diri dari sifat ketakaburan//Berusaha untuk menjauhkan diri dari sifat khianat kepada sesama umat manusia//Berusaha harus tolong menolong dengan sesama umat secara tidak pilih bangsa dan agama…//Orang yang telah memiliki Amanat Keagungan Ilahi ini hanya khusus untuk dirinya yang tidak menyangkut diri orang lain//Orang yang telah memiliki Amanat Keagungan Ilahi sudah tidak dibenarkan lagi untuk meminta-minta kepada benda-benda berwujud atau dengan memakai perantaraan apapun melainkan harus langsung kepada tuhan Yang Maha Esa//Orang yang telah memiliki Amanat Keangunagan Ilahi tidak dibenarkan mengakui dirinya sudah benar dan tidak dibenarkan untuk menyalahkan kepercayaan orang lain//Orang yang telah memiliki Amanat Keagungan Ilahi harus mempunyai jiwa sopan santun terhadap sesama ummat-Nya…//
Deretan bait-bait di atas adalah petikan dari ajaran-ajaran suci yang dipegangi oleh komunitas Amanat Keagungan Ilahi (AKI), sebuah aliran kepercayaan yang dianut masyarakat adat di Kampung Mulyasari, Tasikmalaya. Aliran Keagungan Ilahi (AKI) secara historis muncul pada tahun 90-an dengan jumlah pengikut saat itu sebanyak 15 orang. Semuanya adalah keluarga Sdr. Adang. Komunitas aliran kepercayaan ini menempati sebuah kampung yang bernama kampung Kebon Kalapa, desa Mulyasari Kemantren Tamansari, kecamatan Cibeureum, Kabupaten Tasikmalaya. Daerah Tasikmalaya yang dikenal berbasis masyarakat Sunda dan sangat plural dalam segi agama ini begitu sarat makna dan penuh dengan dinamika dialektika kekuasaan. Dan AKI adalah salah satu korban dialektika kekuasaan masyarakat lokal (santri) dengan negara sebagai alat kekuasaan, yang menentukan bagi keberlangsungan eksistensi komunitas AKI.
Ajaran-ajaran AKI di atas menjadi sumber ajaran masyarakat setempat yang menuntun kehidupan mereka sehari-hari. Tidak berbeda dengan ajaran-ajaran moral dan spiritual yang selama ini dianut oleh agama-agama lain, seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya yang mengajarkan nilai-nilai Ketuhanan dan penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan seutuhnya.
Dengan iktikad baik menjalankan ajaran-ajaran di atas, sebenarnya siapapun akan mencapai nilai kemanusiaan yang luhur. Bahkan akan tercipta kesetaraan, penghargaan pada pluralisme dan toleransi, terbangun ketentraman, kebersamaan, tolong-menolong, keharmonisan dan perdamaian di antara sesama manusia.
Akan tetapi, tragedi pun lalu datang. Pada hari Selasa 22 Desember 1992, tiba-tiba ajaran-ajaran itu digugat. Keabsahan dan orisinalitas teks-teks ajaran tersebut dipertanyakan. Kebenaran ajaran tidak lagi di dasarkan pada pesan-pesan agung dan suci yang dibawanya, melainkan atas dasar acuan pada kaidah agama-agama resmi; harus ada Tuhan yang memiliki nama definitif, ada Nabi yang membawa wahyu, ada Kitab suci dan resmi pula, ada pengikut, dan sebagainya.
Tidak ketinggalan pula masyarakat setempat. Mereka menggugat dan mempertanyakan, siapa dalang di balik keberadaan ajaran-ajaran itu, siapa dan berapa pengikut ajaran tersebut. Stigma-stigma negatif pun mulai dilemparkan kepada mereka: kafir, ajaran sesat, menyimpang, dan sebagainya. Ini terbukti dari hasil laporan kepala Desa Mulyasari, Kepala Dusun Cisantel bersama ketua RT, bahwa ajaran tersebut sesat dan dianggap meresahkan masyarakat sekitar.
Yang menarik dari laporan tersebut adalah bahwa aliran Amanat Keagungan Ilahi (AKI) yang dipimpin oleh Sdr. Adang adalah ajaran sesat, karena ritual mereka yang menyimpang dari lazimnya agama-agama resmi yang ada. Dipersoalkan juga, paham dan sejarah mereka muncul, ritualitas mereka, dan lain-lain.
Aneh memang. Dalam hal ini patut dipertanyakan, logika apa gerangan yang bisa mengatakan bahwa suatu ajaran bisa disebut “sesat” dan berdampak negatif bagi masyarakat? Betulkah hal itu adalah logika kebenaran, atau jangan-jangan malah sebaliknya yaitu logika kekuasaan politik dan logika agamawan, logika “mayoritas” yang hendak meneguhkan eksistensinya?
Tidak ada yang menyangkal, bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural, beragam baik dari segi etnis, agama, keyakinan, dan budaya. Namun sayangnya, justeru negaralah yang melalui sejumlah perangkat hukum dan birokrasinya yang menegasikan dan mengabaikan kenyataan keberagaman tersebut, merusak kebersamaan dan keharmonisan kehidupan masyarakat.
Dengan munculnya berbagai laporan yang menyudutkan aliran kepercayaan tersebut, akhirnya pada tahun 1992 AKI terpaksa menandatangani Surat Keputusan yang diajukan kepada Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan) wilayah Kemantren, Tasikmalaya, yang berisi janji tidak akan menyebarluaskan ajaran-ajaran kepercayaan mereka serta tidak akan mengganggu komunitas lokal lainnya.
Namun malang tidak bisa ditolak, setelah membuat surat tersebut Tim Pakem Kejaksaan Negeri Tasikmalaya akhirnya memutuskan untuk membubarkan dan melarang komunitas AKI untuk menjalankan aktifitasnya, hingga sekarang. Kini komunitas AKI selalu dikurung oleh rasa was-was dan ketakutan. Mereka hanya bisa tunduk dan takluk pada upaya pendisiplinan negara dalam kehidupan keagamaannya. Derita luka batin mereka yang dalam inipun semakin menganga lebar, ketika hak-hak sipil, ekonomi dan sosial mereka ikut terancam.
Kini tampaknya, derita-derita batin ini akan semakin meluas di Tasikmalaya. Karena bukan saja komunitas AKI yang terancam melainkan banyak kasus lain, seperti: Buki Syahidin yang menerima tuduhan “sesat” karena dianggap melecehkan agama, lalu kasus Sedulur Papat Kelima Pancer yang juga dianggap sesat dengan mendirikan bangunan menyerupai Pure. Lalu, siapa yang menjamin hak-hak kultural mereka? Desantara / Miftah Safari & Ceceng