Bahasa Sunda, sebagai bahasa Ibu, tentu mempunyai kekayaan kosa kata yang lebih banyak dari bahasa Indonesia. Ada kata atau bahkan kalimat yang sering sulit dicari padanan katanya. Artinya, kekayaan estetis bahasa Sunda banyak yang tak bisa ditemui dalam bahasa nasional, bahkan tidak juga dalam bahasa yang mengglobal seperti Inggris, Arab, dan Cina. Maka, jika kemudian bahasa Sunda mati, kekayaan estetisnya pun akan lenyap pula.
Ancaman kematian bahasa Ibu bukanlah gertak sambal. Bukan pula sesuatu yang termasuk ramalan. Kenyataan di lapangan kian memperlihatkan menyusutnya penggunaan bahasa Ibu. Sikap kita terhadap hal ini tentu bukan dengan meninggikan rasa takut yang berlebihan. Namun, mengupayakan agar ancaman kematian itu tak berlanjut dengan eksekusi terhadap bahasa Ibu. Salah satunya adalah dengan cara mengembalikan bahasa Ibu tersebut sebagai media komunikasi yang utama. Sehingga kita tak kehilangan kekayaan budaya, kekayaan intelektual, dan karya seni.
Meningkatkan kembali penggunaan bahasa Ibu, tentu bukan untuk menghindari pemakaian bahasa nasional dan global. Hanya, selama ini, kita kerap salah menempatkan penggunaan bahasa tersebut. Bagaimana pun, bahasa nasional dan bahasa global memang mempunyai manfaat tersendiri, termasuk manfaat menikmati kekayaan budaya, intelektualitas, dan karya seninya. Namun, sebaiknya penggunaan bahasa Nasional dan bahasa global dipakai pada kesempatan yang berbeda.
Misalnya, bukankah sangat absurd jika kita banyak menerapkan kata-kata dalam bahasa Inggris di jalan-jalan yang banyak dilalui orang Sunda, misalnya. Atau banyak pengumuman di dinding dalam bahasa asing di hotel yang pendatangnya orang pribumi. Mungkin lebih baik menggunakan bahasa nasional ditambah Sunda/lokal. Hal ini penting, tidak saja menjadikan bahasa Sunda sebagai media komunikasi, tetapi juga agar orang asing mau belajar bahasa Indonesia dan Sunda/lokal.
Yang harus juga diperhatikan adalah semangat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sendiri. Selama ini, dalam skala nasional, kita dijajah Inggris lewat Amerika, Jepang, dan Cina. Dari perintah komputer hingga nama sepeda motor, kita menggunakan bahasa asing. Artinya juga menggunakan produk asing. Karena kita terus menerus menjadi konsumen, menjadi pasar, bahkan menjadi keranjang sampah peradaban bangsa-bangsa lain.
Globalisasi yang datang dengan kepentingan ekonomi negara kaya, harus disiasati dengan kreativitas. Misalnya dengan penggunaan bahasa Suna dalam iptek yang kita dikembangkan sendiri. Atau misalnya melakukan penerjemahan bahasa internasioal (Inggris) ke dalam bahasa nasional/lokal untuk produk-produk yang masih memungkinkan untuk itu (diterjemahkan).
Selain pada kematian, kita juga percaya pada kelahiran bahasa. Karena bagaimana pun sebuah bangsa akan berkembang, seiring dengan bahasanya. Dan dalam konteks saat ini eksistensi bahasa akan sangat banyak ditentuka oleh tingkat penguasaan Iptek suatu bangsa. Semakin tinggi penguasaa Iptek suatu bangsa,akan semakin berkembang pula bahasa bangsa tersebut.
Di kancah estetik, penggunaan bahasa dalam sastra juga terbilang penting. Maka penciptaan karya sastra perlu terus ditumbuhkan. Tanpa memiliki karya sastra, maka tingkat pertumbuhan suatu bahasa akan mandeg pula Desantara / Eriyandi Budiman