Sebuah panggung kecil berdiri tepat di sisi sungai di Cikoang. Tampak tak jauh dari situ sejumlah petinggi masyarakat duduk melingkar, mengelilingi bakul-bakul yang berisi Ka’do minyak (nasi ketang), ayam dan beberap butir telur yang ditancapkan. Di belakang para petinggi yang merupakan keturuanan Sayyid dan biasa dipanggil dengan Tuan itu, nampak beberapa warga komunitas Cikoang dan masyarakat luar yang mendukung Maudhu Lompoa. Mereka duduk berjejal, sampai meluber keluar panggung.
Di bawah panggung yang bertiang rendah tampak beberapa perempuan tua sedang mengambil tanah lalu memasukkannya ke dalam kantong. Konon tanah tersebut diyakini dapat mendatangkan berkah. Tak lama kemudian Tuan Kai menaiki panggung diiringi oleh Tobaraninya (para pengawal), sebagai pertanda bahwa acara anrate (berzikir dengan membaca barzanji) pun dimulai.
Bersamaan dengan itu, tak jauh dari panggung kecil di mana para sesepuh Cikoang melangsungkan acara, tampak sebuah panggung besar. Di dalamnya duduk para pejabat setempat, juga ulama-ulama Sulawesi Selatan. Diantara mereka juga nampak kalangan akademisi dari IAIN. Menariknya karena yang dominan hadir di tempat itu adalah orang-orang yang berasal dari luar Cikoang, yang selama ini bukan pendukung Maudhu Lompoa. Penduduk setempat sama sekali tidak ada. Setelah Bupati Takalar datang, protokol mengambil mikrofon lalu mengajak hadirin membaca basmalah sebagai pertanda dibukanya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Begitulah gambaran acara yang berlangsung di Cikoang yang disebut dengan Maudhu lompoa, yang diadakan tepat pada tanggal 29 Rabbiul awal tiap tahunnya. Mana diantara kedua acara itu yang diklaim sebagai maudhu lompoa? Apakah yang di panggung kecil tempat para penghulu Cikoang melangsungkan acara anrate ataukah yang di panggung besar dimana para pejabat dan ulama-ulama resmi sedang mengikuti peringatan Maulid Nabi Muhammad?
Bagi orang luar yang kurang memahami tradisi di Cikoang, kedua acara itu bisa dianggap sebagai rangkaian dari Maudhu Lompoa. Namun sebenarnya tidak demikian. Bagi komunitas Cikoang, seperti dituturkan oleh petinggi komunitas Cikoang Tuan Sagala Alam Aidid yang akrab dipanggil Tuan Tada, Maudhu Lompoa adalah acara yang diadakan di panggung kecil dimana para Sayyid Cikoang berkumpul sambil anrate. Di situlah sebenarnya diperingati maulid Nabi di alam nur. Sedangkan peringatan maulid yang diadakan oleh para pejabat dan ulama Sul-Sel di panggung besar itu hanya peringatan maulid biasa seperti halnya peringatan lain di luar Cikoang.
Menurut Tuan Kai, ketua adat komunitas Cikoang, masyarakat Cikoang memahami peringatan maulid itu terdiri dari tiga tingkatan; maulid di alam nur, maulid di alam rahim dan maulid di alam lahir. Yang diperingati masyarakat Cikoang adalah maulid di alam nur. “Adapun peringatan maulid yang diadakan di panggung besar oleh para pejabat, itu adalah peringatan maulid di alam lahir, sama dengan peringatan maulid yang lainnya,” ujar Tuan Kai.
Sejarah
Tradisi maudhu lompoa di Cikoang memang memiliki sejarah tersendiri, yang berbeda dengan perayaan maulid pada umumnya. Tradisi ini menurut Tuan Tada, dibawa oleh Sayyid Jalaluddin ibn Muhammad Wahid, seorang ulama Arab keturunan yang ke-27 dari Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan cucu Rasulullah, Husain. Sayyid Jalaluddin masuk ke Cikoang dan menyebarkan berbagai ajaran Islam. Beliau memperkenalkan tentang maudhu lompoa yang pada saat itu dinamainya ka’do minyak (disesuaikan dengan nama makanan yang disajikan dan disesuaikan dengan tradisi setempat).
Dalam dakwahnya, Sayyid dibantu oleh dua merid setianya, Bunrang dan Danda. Sayyid Jalaluddin kemudian memperingati ajarannya ini secara besar-besaran pada tanggal 12 Rabiul Awal 1025 H, bertepatan dengan tanggal 11 November 1605. Hadir dalam kesempatan tersebut para pembesar sembilan kerajaan besar, yaitu Sumbawa, Gowa, Bone, Luwuk, Sanrobone, Buton, Galesong, Binamu dan Laikang. Dan nama yang digunakan untuk perayaan saat itu masih ka’do minyak. Baru lima belas tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Rabbiul Awal 1040 H (1620 M) pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad di Cikoang dinamakan Maudhu Lompoa.
Menurut Tuan Tada, apa yang dilaksanakan oleh Sayyid Jalaluddin sampai saat ini masih dilaksanakan secara konsisten oleh masyarakat Cikoang. Mulai dari mandi di bulan safar, tepatnya tanggal 10 syafar, persiapan perlengkapan maulid seperti julung-julung (sejenis perahu nyang diibaratkan tumpangan Syekh Jalaluddin pada zaman dulu) dan juga Kandawari (tempat telur, nasi ketan dan ayam disimpan), juga pelaksanaan maulid di tiap-tiap rumah Sayyid pada bulan Rabbiul Awal secara bergantian, sampai akhirnya pelaksanaan Maudhu lompoa. “Hal ini harus tetap dilakukan, karena apa yang diajarkan Sayyid Jalaluddin bukanlah maulid biasa tetapi maulid di alam nur, karena itu tradisi yang ditinggalkannya harus diikuti dengan konsisten”, ujar Tuan Tada.
Intervensi
Terhadap berbagai kegiatan ini, semula pemerintah tidak turut campur tangan. Tetapi sejak tahun 1983 pemerintah mulai ikut mengurusi. Hal ini misalnya ditandai dengan adanya acara seremonial maulid yang tanpa anrate, melainkan hanya berisi sambutan-sambutan dan hikmah maulid yang disampaikan oleh para da’i tertentu. Bahkan biasanya ditambah pula dengan acara-acara lain berupa pesta rakyat.
Sekalipun demikian masyarakat Cikoang, khususnya para Sayyid tidak merasa terganggu dengan adanya campur tangan pemerintah itu, selama tidak merusak tradisi Maudhu Lompoa asli yang dipraktekkan komunitas Cikoang. Toh bagi masayarakat Cikoang, yang dianggap Maudhu Lompoa, dan yang paling peting pada acara itu, bukanlah acara seremonial maulid yang diadakan pemerintah. Namun mereka menganggap anrate yang dilakukan oleh para Sayyid-lah yang menentukan maulid ini. Karena itu pelepasan julung-julung dan pengambilan telur dari Kandawari dimulai setelah ritual zikir anrate selesai. “Yang penting bagi kami perayaan maulid nabi yang kami adakan ini tidak dilarang. Sebab perayaan ini kami lakukan untuk menunjukkan penghormatan dan rasa cinta kami kepada nabi Muhammad,” tutur Tuan Kai.
Memang dalam perjalanannya, upacara Maudhu Lompoa di Cikoang banyak menghadapi rintangan dan tekanan. Banyak pihak menganggap perbuatan mereka sebagai bid’ah, pemborosan bahkan tak jarang apa yang mereka lakukan dilarang oleh kalangan tertentu. Pada masa DI/TII misalnya, perayaan Maudhu Lompoa ini dinyatakan sebagai upacara terlarang. Meskipun demikian mereka tetap melaksanakan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan pada saat itu salah satu tokoh komunitas Cikoang yaitu Tuan Lagung ditangkap oleh gerombolan DI/TII, lalu dibawa ke markas dan diinterogasi. Tetapi akhirnya Tuan Lagung dilepas karena dapat menjelaskan dengan baik maksud pelaksanaan maudhu lompoa.
Setelah masa DI/TII, mereka masih mendapatkan tekanan dari berbagai pihak, khususnya dari kalangan agamawan. Tahun 1985 Departemen Agama bersama pemerintah Arab Saudi sempat mendatangi komunitas ini, dengan maksud untuk menghentikan acara tersebut. Lalu pada tahun 1999 giliran pejabat teras IAIN bersama rombongan mahasiswanya mendatangi Cikoang dengan maksud yang sama. Namun kedatangan mereka yang bermaksud menghentikan upacara maudhu lompoa itu disambut dengan baik oleh komunitas Cikoang. Mereka diajak berdialog dengan baik dan diberikan penjelasan oleh sayyid yang ada disana.
Saat ini tekanan yang menyudutkan mereka sudah jauh berkurang. Bahkan beberapa pihak justru mulai ikut mengurusi maudhu lompoa. Sayangnya intervensi itu kadang memunculkan bentuk lain yang justru tidak dikenali oleh komunitas Cikoang. Upacara maudhu lompoa lalu sekadar menjadi ajang pertunjukan dan bukan ritual yang menunjukkan kecintaan masyarakat terhadap Nabi Muhammad SAW.
Bahkan pihak pemerintah Sul-Sel sekarang terkesan hendak merebut upacara maudhu lompoa ini dari komunitas Cikoang. Tahun 2002 yang lalu misalnya Pemda Sul-sel menggelar perayaan maulid yang disebutnya dengan “Maudhu Lompoa”. Uniknya ketika perayaan maulid ini diselenggarakan Pemda tak satu pun yang mengatakannya sebagai bid’ah, pemborosan dan stigmatisasi lainnya. Malah ulama-ulama yang sebelum ini melarang Maudhu Lompoa di Cikoang, hadir pada acara “Maudhu Lompo”nya Pemda Sul-Sel tersebut. Desantara