Di sebuah sudut rumah, sejumlah Bissu berkumpul. Di hadapan mereka nampak dupa yang terus mengepulkan asap, juga sejumlah keris. Di sekitar dupa dan keris, tampak pula Watua SakkeIco (Tembakau), Puale (kapur putih) dan Alosi (pinang). Sang pemimpin Bissu, Puang Matoa Saidi terlihat duduk menghadap ke arah timur, tempat dimana, dupa, keris dan sesajian berada. Tak lama kemudian sudut ruangan itu ditutupi dengan kain putih yang dimaksudkan untuk membatasi para Bissu dengan masyarakat pengunjung yang memadati rumah tersebut. Selain Bissu tak seorang pun yang boleh berada di dalam. Masyarakat umum juga tidak diperkenankan melihat prosesi yang berlangsung di balik tirai. (biasanya daun sirih),
Setelah prosesi selesai, para Bissu keluar, menuju panggung yang dipersiapkan untuk upacara Maggirik. Panggung yang dimaksud hanyalah serambi rumah Puang Wali. Di tempat itulah para Bissu mulai melakukan Maggirik. Gendang mulai dibunyikan. Pada awalnya nada pukulan gendang hanya pelan-pelan saja. Inilah yang disebut dengan pukulan Bali’ Sumange. Tetapi semakin lama pukulannya pun berubah agak cepat, yaitu pukulan yang disebut dengan Tete Sompe. Kemudian berturut-turut pukulan itu terus meningkat cepat mulai dari pukulan lempe-lempe, losa-losa, sala kanjara, na kanjara sampai u kanjara.
Pada awalnya pun para Bissu hanya melakukan tarian biasa, sesuai dengan irama gendang. Namun ketika mulai masuk pukulan gendang yang disebut sala kanjara para Bissu mulai mempertunjukkan kebolehannya. Keris yang semula diselipkan dipinggangnya kini dicabut. Lalu sambil menghentakkan kakinya para Bissu itu menusukkan keris itu. Casss…..keris itu ditusukkan ke lehernya. Beberapa penonton nampak memalingkan muka. Bahkan karena ngeri ada yang sampai menutup pandangannya. Namun luar biasa, ternyata tusukan keris itu tidak menembus kulit leher para Bissu tersebut.
Proses berikutnya, tari Maggirik semakin meningkat. Para Bissu secara bergantian menusuk tubuhnya mulai dari perut, tenggorokan sampai dengan matanya. Hulu keris bahkan ditumpukan di atas lantai atau di tiang, lalu ujungnya ditancapkan di leher kemudian didorong. Pukulan gendang pun semakin memuncak dan cepat. Pukulan ini telah masuk pukulan u kanjara, yaitu jenis pukulan gendang yang paling cepat. Tari ini terus berlangsung sampai kemudian para Bissu mengakhiri pertunjukannya.
Itulah sepenggal gambaran tari Maggirik atau baisa pula disebut dengan Mabissu. Namun tidak semua Maggirik atau Mabissu ini prosesinya persis seperti yang digambarkan di atas. Ada kalanya ritual itu hanya berlangsung di panggung begitu saja, tanpa ada acara spiritual sebelum tampil. Maggirik yang seperti ini biasanya berlangsung sesuai dengan waktu yang ditentukan. Berbeda dengan yang pertama tadi, Maggirik seperti itu mulai dan berhentinya tidak harus ditentukan oleh Bissu.
Menurut Puang Matoa Saidi hal itu wajar sebab tidak semua Maggirik itu sama. Puang Saidi menjelaskan bahwa Maggirik itu ada dua macam, yaitu Maggirik Dewata dan Maggirik Mamata. Maggirik Dewata adalah satu prosesi Maggirik yang betul-betul bernuansa spritual yang mendalam. Dalam Manggirik ini para Bissu tampil dengan tidak tahu pengunjungnya. Bissu yang melakukan Maggirik DewataManggiriknya itu telah sampai. ini tidak bisa dihentikan oleh siapaun juga, kecuali dia sendiri yang berhenti karena merasa proses ritual dalam
Sementara Manggirik Mamata adalah bentuk Maggirik yang tidak mempunyai nuansa spritual ataupun ritual. Manggirik Mamata ini hanya sekedar untuk pertunjukkan. Misalnya ada festival, ada undangan dari pihak Pemda ataupun untuk menjemput tamu pemerintah daerah. Maggirik Mamata ini bisa menyesuaikan dengan waktu yang ditetapkan dari panitia yang punya acara. Maggirik ini juga persiapannya bisa pada saat masih di rumah Bissu. Maksudnya tidak seperti Maggirik Dewata yang persiapan spritualnya nanti pada saat ada di lokasi dan tempat Maggirik maka Maggirik Mamata ini persiapannya boleh sebelum berangkat ke tempat pertunjukan.
Kalau pun saat ini kita menyaksikan pertunjukan Maggirik yang tarian dan gerakannya sudah mengalami perubahan, maka bisa dipastikan itulah Maggirik Mamata. Maggirik yang sebenarnya yaitu Maggirik Dewata gerakannya tidak pernah berubah. Sebab Maggirik Dewata inilah yang sesungguhnya Maggirik. Ia merupakan ungkapan spritual para Bissu. Sesuai dengan namanya, Maggirik, yang berarti penyembahan, maka Manggirik Dewata ini adalah seni yang bertujuan spritual dan bukan sekadar seni pertunjukkan.
Hal inilah yang menyebabkan kalangan Bissu akan memperingatkan rekannya yang dipandang terlalu banyak mementaskan Maggirik. Sebab hal ini bukan hanya mencederai makna spritual Maggirik, tetapi juga bisa mendatangkan bala bagi si Bissu itu sendiri.
Dalam perjalanan sejarahnya, tarian Manggirik ini banyak mendapatkan hujatan dan cercaan. Khususnya dari kalangan agamawan yang menganggap tarian ini sebagai perilaku khurafat, pemujaan terhadap setan dan sebagainya. Bahkan dari kalangan pesantren ada yang menganggap bahwa pertunjukan Maggirik adalah tipuan, dan menganggap bahwa keris yang digunakan bukan keris yang sesungguhnya, melainkan hanya duplikat yang terbuat dari plastik. Mendengar tuduhan ini, para Bissu mendatangi pesantren tersebut. Mereka membawa keris yang dianggap palsu dan memperlihatkannya. Ternyata itu adalah keris sungguhan. Dan di tempat itu pula, Bissu memperlihatkan tarian Maggirik tersebut.
Sekitar tahun 60-70an Maggirik ini sangat jarang dilakukan oleh para Bissu. Di samping karena kalangan gerombolan DI/TII memburu mereka, juga pihak pemerintah melarang pementasan ini. Pihak pemerintah pada saat itu menganggap para Bissu sebagai atheis, karenanya bisa digolongkan sebagai komunis.
Saat ini situasinya relatif tenang. Namun tidak berarti bahwa tekanan terhadap mereka sudah berhenti. Beberapa kalangan agamawan masih sering melakukan stigmatisasi terhadap mereka. Pihak pemerintah sendiri sekalipun mulai terlihat memberi perhatian terhadap Bissu, namun itu semua hanya sebatas mengundang mereka untuk pentas dan mempertunjukkan kebolehan para Bissu melakukan tarian Maggirik.
Mungkin kini sudah saatnya para agamawan memberikan ruang kepada para Bissu ini khususnya dalam melakukan kreatifitas seni mereka. Sebab Maggirik bagi para Bissu ini bukan sekedar pertunjukan, tetapi bagian dari olah spritualitas mereka. Bahkan menurut Puang Matoa Saidi dalam maggirik itu ada bagian untuk memohon kepada Tuhan untuk keselamatan seluruh alam semesta. Salahkah bila permohonan kepada Tuhan itu dikreasi lewat kesenian seperti ini? Desantara