Pada tahun 70-an, KH Usep Romli HM pernah membuat tulisan yang ptovokatif. Sastra Sunda Sekarat Awal, demikian tulisnya. Tetapi tiga dasawarsa kemudian, ia melihat bahwa ramalannya keliru. Bahasa Sunda ternyata masih eksis, bahkan terus berkembang. Kini ia balik menegaskan, Bahasa Sunda akan tetap eksis sampai kapanpun.
Dikenal sebagai wartawan spesialis Timur Tengah dan juga penulis masalah budaya Sunda, Usep yang dilahirkan di Limbangan, Garut 16 April 1949 ini, memang dikenal memiliki pergulatan yang intensif dengan kebudayaan dan tradisi Sunda. Sejumlah karyanya seperti Ceurik Santri (Tangis Santri), Jiad Ajengan (Niat sang Ustadz), Nganteurkeun (Mengantarkan) dan Bentang Pasantren (Bintang Pesantren), merupakan bukti intensitas pergulatannya dengan dunia sastra Sunda.
Ditemui Eriyandi Budiman dan Saeful Badar dari SAWALA sehabis membahas sebuah buku kumpulan puisi di Garut belum lama ini, sastrawan yang juga ustadz ini, menampakkan optimismenya bahwa meski bahasa dan sastra Sunda terus berada dalam ancaman kepunahan, tetapi ia akan tetap eksis sampai kapan pun. Berikut petikan wawancaranya:
Dulu Anda pernah menulis, Sastra Sunda Sakarat Awal. Bisa dijelaskan bagaimana argumentasi Anda saat itu?
Waktu itu tahun 1973. Saat itu saya memang melihat gejala bahasa Sunda mulai ditinggalkan, yang menulis sastra Sunda pun jarang. Namun rupanya hal itu tidak terbukti, karena ternyata hingga kini masih hidup. Beberapa penulis seperti Eddy D Iskandar dan Aan Merdeka Permana yang dulu memang sering menulis dalam bahasa Sunda, ternyata hingga sekarang pun masih menulis. Bahkan mereka mengupayakan tabloid media bahasa Sunda, Galura. Begitu pula penulis seperti Godi Suwarna, Acep Zamzam Noor, bahkan yang dibawahnya seperti Dian Hendrayana, Darpan, Chye, Etti RS, Nazaruddin Azhar, dan lainnya masih menulis sastra Sunda. Mungkin harita teh Akang salah. Saat itu Akang terpengaruh oleh teori asumsi yang diterapkan oleh ekonom dan militer. Kemudian diterapkan dalam sastra Sunda. Tapi ya salah. Ternyata ke sini bahasa dan sastra Sunda terus berkembang, hirup hurip, meski tak seperti target idealnya. Misalnya oleh lahirnya LBSS, Kongres Bahasa Sunda, oleh perkumpulan-perkumpulan model PPSS hidup lagi, Bujangga Manik, Caraka Sundanologi, dan juga hadiah sastra dibesar-besarkan seperti Rancage dan lainnya.
Tentang kuatnya pengaruh bahasa Arab dalam bahasa kita, ini menurut Anda karena faktor apa?
Ini tak lepas kaitannya dengan agama. Bukan Arab saja. Kalau Kristen kuat, pasti pengaruh bahasa Inggris (Kristen) pun akan sangat kuat. Tetapi sebetulnya dalam bahasa Sunda, yang kita ambil bukan Arab saja, tapi kita juga mengambil dari Belanda, Portugis, dari bahasa-bahasa Sansekerta, Kawi, dan lain-lain. Dan kebetulan mayoritas Sunda itu Islam, maka Arab menonjol. Jadi di Sunda itu transformasi Arab itu berlangsung sangat mulus. Nama-nama Sunda dan Arab, seperti Salamah jadi Emeh atau Emeh Salamah, Muhammad jadi Emuh, itu dari penyebaran agama, dan budaya menyusul.
Apakah ini bukan masalah inferioritas bahasa Sunda?
Bukan. Itu transformasi yang wajar. Yang diteruskan oleh dominasi keimamanan. Tapi kalau menurut Akang, orang Sunda tak perlu risau oleh Arabisasi itu. Seperti makan, orang Sunda itu sudah punya cara tersendiri. Kecuali menyangkut aqidah, seperti qurban dengan kambing atau sapi, tak perlu diganti dengan ayam. Jadi yang sifatnya sudah pasti tak perlu diganti. Kecuali yang sifatnya sunah, model perilaku, kita berbeda tidak apa-apa. Nabi orang Arab dan kita orang Sunda, berbeda wajar dong.
Sekarang juga banyak dakwah yang tak pakai bahasa Sunda, ini bagaimana?
Ya itu memang salah satu kelemahan. Padahal sebenarnya di daerah atau di pedesaan, seperti Akang kalau pidato di pedesaan tetap yang dimengerti itu bahasa Daerah. Begitu pun kalau dakwah saya pakai bahasa Sunda. Mungkin kalau untuk nasional itu lain lagi. Yang jelas kalau di pedaeasan itu harus pakai bahasa daerah. Buktinya Zainuddin MZ tak laku. Tapi Totoh Gazali yang pakai bahasa Sunda, kan laku. Zainuddin MZ sast itu hanya sampai Di Bandung, tapi kalau ke Soreang, Ciwidey, hingga Rancabali, tetap saja menyukai Totoh Gazali yang memakai bahasa Sunda.
Menurut Anda apa upaya yang perlu dilakukan untuk melestarikan bahasa Sunda?
Kegiatan-kegiatan apresiasi, harus banyak dilakukan, terutama di daerah-daerah. Seperti bedah buku sekarang ini, dan juga harus diajarkan di sekolah. Yang tak kalah penting adalah peran pemeritah. Adalah kewajiban pemerintah untuk membuat sejumlah kebijakan untuk mempertahankan bahasa Sunda ini, misalnya memasukkan dalam kurikulum sekolah. Sekolah ‘kan tergantung pada kurikulum dan silabus yang dibuat para penentu kebijakan di bidang pendidikan. Jadi yang harus eling itu kepala dinas pendidikan, Disbudpar, Bupati, juga Gubernur. Eta nu kudu eling na mah. Kalau pelaksana di bawahnya itu sudah siap. Saya sekarang ini juga menyayangkan, misalnya mengapa yang mengambil prakarsa memperingati Hari Ibu Internasional hanya Kepala Dinas. Mengapa tidak Gubernur? Seharusnya Dani Setiawan mengintruksikan kepada setiap instansi agar menggunakan bahasa Sunda.
Anda optimis bahwa bahasa Sunda akan tetap eksis?
Allah akan memberi pertolongan. Saya percaya Tuhan akan memberi pertolongan. Kalau kita kukuh untuk membela bahasa Sunda, Insya Allah Tuhan akan memberi pertolongan. Semoga Allah membuka pintu hati masyarakat Sunda untuk mau menggunakan bahasa Sunda. Desantara