Pada tahun 1984, tepatnya Bulan Oktober, seorang seniman berwajah ala Nietsche menggebrak panggung kesenian di Banyuwangi. Ialah Sahuni, seniman cerdas yang mampu “mereinkarnasikan” kembali hadrah kuntulan yang nyaris tersingkir dalam panggung kesenian di Banyuwangi. Ia mengembangkan hadrah menjadi kesenian kundaran. Sebab kuntulan dalam hematnya kurang membumi.
Menurut Sahuni, Jika ditarik lebih kebelakang lagi, kundaran awalnya berasal dari Hadrah, sebuah kesenian yang tumbuh di lingkungan pesantren. Hadrah dimainkan oleh empat orang lelaki penabuh rebana, dalam kesenian ini tidak ada unsur gerakan tari sama sekali dan mengusung dakwah keislaman 100 persen dalam lirik-lirik yang dinyanyikannya.
Menurut catatan historisnya, hadrah tiba di Banyuwangi pada awalnya di bawa oleh Kyai Sholeh seorang tokoh agama Islam, yang berasal dari Lateng, Kecamatan Rogojampi, pada sekitar awal abad ke-18. Sampai sekarang hadrah masih tetap hidup di beberapa pesantren di Banyuwangi, wujudnya tidak sebagai pertunjukan tetapi pembinaan agama Islam. Kesenian yang hampir sama dengan hadrah adalah Gembrung, seni musik yang dimainkan dengan rebana besar-besar yang kental dengan nuansa Banyuwangen. Lantunan nyanyiannya diambilkan dari Surat Yusuf dari awal sampai akhir. Satu-satunya desa di Banyuwangi yang masih memiliki Gembrung adalah Desa Kemiren.
Melihat dan mendengarkan kundaran, menurut Sahuni, jauh lebih menarik daripada melihat kuntulan. Ini dimungkinkan bukan hanya karena musik dan lagunya yang dinamis, tetapi sudah merangsek pada penambahan-penambahan atribut-atribut pertunjukkan semisal kostum dan tata rias atau make up serta tata panggung. Kegairahan musik kundaran berasal dari banyaknya alat musik hasil kolaborasi antara musik kuntulan, gandrung, angklung dan musik damarwulan. Lirik yang digunakannya pun bervariasi, mulai dari lagu percintaan sampai pada pola hidup sehari-hari masyarakat using. “Hanya sekitar 15 sampai 10 % pesan agama islam yang tersisipkan”, kata pria kelahiran 22 Agustus 1949
“Kundaran itu ide saya pribadi dan didukung oleh seniman binaan saya, kolaborasi yang saya buat adalah musiknya”, tutur Sahuni. Dia menolak menyebut bahwa Kundaran adalah kesenian baru yang lahir di tanah Using. Kesenian ini menurutnya adalah sebuah kreasi yang lahir dan bersumber dari kuntulan. “Namanya saja masih tetap kuntulan”, ujarnya, “Tetapi karena dialah dan dikelola sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah pertunjukkan, munculah kata kundaran” lanjut kakek bercucu sembilan tersebut menerangkan.Meskipun berasal dari keluarga Islam taat dan cenderung konservatif, Sahuni kecil sudah senang dengan kesenian. Tari-tarian adalah bidang yang diminatinya. Masuknya Sahuni dalam kubangan kesenian diawali dari keaktifannya dalam kesenian yang bernama Umar Maya. Pada saat kelas Enam SR Singojuruh, Sahuni sudah memerankan tokoh dalam beberapa pementasan Umar Maya. “Tidak ada darah seni yang sekental saya dalam keluarga” kata Sahuni. Memang benar, jika kita melihat latar belakangnya. Buyutnya KH. Dul Hamid adalah seorang Kyai di Singojuruh, begitupun kakeknya H. Djaelani. Ayah Sahuni, Asri adalah lurah Pondok, seorang yang bertugas mengurus organisasi rumah tangga sebuah Pondok pesantren di Rogojampi. Asri adalah seorang yang mencintai seni. Dia rutin menabuh gendang dalam kesenian Umar Maya di kampungnya. Dari Asri inilah mungkin kecintaan Sahuni pada seni awalnya muncul.Tetapi menurut Sahuni, kakeknya yang berasal dari ibunya lah yang mendekati kentalnya darah kesenian yang dimilikinya. Kakek itu bernama Alwi, orang madura asli, yang hari kelahirnya sama dengan Bung Karno tahun 1901. Pada tahun 1923 Alwi adalah seorang tokoh kanuragan yang ditunjuk sebagai opas oleh Belanda di Singojuruh. “Kakek dipilih karena punya keberanian yang besar untuk melawan benggolan-benggolan (perampok)’, kenang Sahuni.Andaikata Sahuni hidup di dalam keluarga kecil tetapi berpegang teguh pada prinsip keislaman konservatif seperti keluarganya dahulu, mungkin dia tidak akan menjadi seniman. “Anak buyut dan kakek saya banyak jadi tidak punya waktu yang besar untuk mengawasi keturunannya satu-persatu”, akunya. Buyut Sahuni mempunyai 5 anak, sedangkan anak Kakeknya berjumlah duabelas.Di tahun 1960-1965, pada saat Sahuni beranjak dewasa, di Banyuwangi terjadi pergolakan politik yang sangat dasyat. Tiga partai politik besar yaitu PNI, PKI dan Partai partai Islam saling berebut pengaruh. Dalam kesenian, ketiganya bermanifestasi menjadi LKN, Lekra, dan beberapa organisasi berideologi Islam.Sahuni menikah pada tahun 1966 dan setahun kemudian anaknya yang pertama Umi Rahayu lahir. “Kepada dia rupaya darah seni saya turun mengalir”, katanya. Umi piawai dalam tarian dan kuat sebagai juru rias dan tata kostum. “Instingnya tajam sekali”, lanjut Sahuni. Sekarang Umi bertempat tinggal di Tuban dan aktif dalam Sentir, kesenian yang sangat dinamis, hampir persis dengan gandrung. Dalam kegitan sehari-harinya, sedikitnya ada tiga sanggar kesenian yang menjadi binaannya. Pertama Sayu Geringsing di kelurahan Kampung Melayu Banyuwangi, pimpinan Subari Affandi, yang kedua adalah Pelangi Sutro di Desa Kemiren dan yang ketiga adalah Langlang Buana di Desa Wonosobo, Kecamatan Srono. Desantara / MHN Huda / Ahmad Ainur Rochman