Selasa Nestapa Di Desa Manis Lor

desantara-default

Desantara.or.id

Pagi sepenuhnya belum beranjak, kira-kira matahari naik sejengkal dari ufuk timur, Desa Manis Lor yang berada di kaki bukit Ciremai sudah diselimuti situasi mencekam. Jalan Wisaprana –jalan utama desa– yang membujur ke arah timur-barat sepagi itu biasanya riuh dengan lalu-lalang warga yang hendak bepergian ke sawah, kali ini tampak sepi. Hanya terlihat gerombolan-gerombolan kecil warga di teras rumah mereka yang tengah membicarakan sesuatu. Entah apa persisnya yang dibicarakan, yang jelas dari wajah mereka membias kecemasan dan kekhawatiran mendalam. Pagi itu adalah selasa, 18 Desember 2007.

Di ujung pertigaan jalan Wisaprana yang menyentuh bibir jalan raya dengan volume padat kendaraan dari arah Cirebon menuju Kuningan, tampak para polisi dengan seragam lengkap tengah bergerombol santai di kelurahan. Ada yang sibuk dengan alat komunikasinya, ada pula yang duduk-duduk sambil merokok. Di sudut kiri pertigaan, terdapat masjid al-Huda milik warga non-Ahmadiyah. Ada apa gerangan? Kabarnya sejumlah Ormas Islam akan beramai-ramai datang ke sana hari itu. Tujuannya tak lain adalah ingin melenyapkan Ahmadiyah dari bumi Manis Lor, Jalaksana, Kuningan.

Mobil kepolisian yang diparkir berderet di tepi jalan menjadi perhatian tersendiri bagi pengguna jalan yang ketepatan melintas di sana. Ditambah lagi dengan dua spanduk besar yang terbentang di ujung jalan desa dengan coretan yang bernada provokatif nun garang. Satu spanduk bertuliskan: ”Halal darah Ahmadiyah (agama), haram darah Ahmadiyah (negara). Satu spanduk lagi berbunyi: ”Aksi Birokrasi Mandul, Aksi Jihad Muncul, Hindari Anarkhi, Pastikan Ahmadiyah Habis. Ahmadiyah di Dunia Sengsara, di Akherat Ke Neraka.” (komponen muslim kab. Kuningan).

Sementara itu, di sepanjang jalan masuk desa, bendera GUII ditancapkan berjajar teratur di tepi kanan-kiri jalan, dalam jarak tiap 20 meter. Rumah-rumah yang bukan milik jemaat Ahmadiyah ditandai dengan kertas yang bertuliskan: ”Warga masjid al-Huda, umat Muhammad saw.” Dua spanduk dan umbul-umbul itu sudah dibentang beberapa hari sebelumnya.

Jika masuk ke desa, sekitar 150-an meter dari pertigaan Wisaprana, terdapat masjid besar An-Nur yang sudah dalam kondisi tersegel. Di sebelah kanannya persis adalah rumah Laksamana Muhammad Soenarto, salah satu jemaat Ahmadiyah yang sekaligus dijadikan basecamp Ahmadiyah. Masjid An-Nur adalah pusat aktivitas jemaat Ahmadiyah Manis Lor yang disegel oleh Satpol PP atas perintah Bupati Kuningan pada Kamis, 13 Desember 2007 yang lalu beserta dua mushollah lagi, yaitu al-Hidayah dan al-Taqwa. Dalam bahasa Ahmadiyah, mushollah-mushollah itu disebut masjid kelompok.

Di rumah Laksamana Soenarto tampak ramai oleh orang. Selain para penggede Ahmadiyah, kawan-kawan dari Jaringan Kerja (JAKER) Pemantauan dan Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang beranggotakan lembaga; LBH Bandung, Desantara, Fahmina, PBHI Bandung, GKP, dan JIMM yang bermaksud ingin membantu warga Ahmadiyah dalam konteks kasus ini. Tak ada pembicaraan serius di antara mereka pagi itu. Yang terlihat hanya kegelisahan dan kecemasan yang terpancar dari wajah orang-orang itu. Bergitupun dengan para warga yang sudah mulai terlihat berkerumun di tepi jalan, utamanya sekitar masjid An-Nur. Tak ada keceriaan sedikit pun yang menghiasi wajah mereka, kecuali kemuraman yang penuh panik.

Matahari mulai meninggi, namun cuaca hari itu tak begitu cerah akibat mendung yang memayungi bumi Manis Lor dan kawasan sekitarnya. Kepanikan kian bertambah ketika ada kabar massa sebentar lagi akan datang. Tampak sudah direncanakan, beberapa kaum Hawa mulai berdatangan dan langsung berdiri berjajar di depan masjid An-Nur. Melihat hal itu, kaum Hawa lainnya yang semula masih bergerombol di depan rumah langsung berbondong-bondong dan bergabung dalam barisan tersebut. Mereka merapatkan barisan sambil bergandengan tangan membuat pagar betis untuk menghadang kedatangan massa yang hendak menghancurkan masjid mereka. Semua kaum Hawa Ahmadiyah Manis Lor, mulai dari mudi-mudi sampai ibu-ibu, hari itu tumplek jadi satu di depan An-Nur.

Sontak, suasana menjadi riuh-gemuruh oleh suara-suara mereka yang meneriaki, memanggil, dan berkoordinasi antar sesamanya dalam membentuk barisan blockade sebagai benteng terakhir penyelamatan tempat ibadah mereka yang mau diacak-acak orang luar. Sementara para pemuda dan bapak-bapak turut berjibaku mengatur barisan tersebut. Muski dalam situasi panik yang meninggi, tapi kaum hawa tampak sudah bulat tekad, apapun yang terjadi mereka akan tetap bertahan di sana, menjaga simbol kesucian agama mereka. Barisan itu kian memanjang seiring dengan terus berdatangannya kaum hawa yang lain. Jumlah mereka sekitar 400-an.

Sesaat kemudian, barisan pagar betis mereka terlihat sudah mulai agak rapi. Karena terlalu panjang, maka barisan dibuat rangkap dua. Barisan yang tepat berada di depan pintu utama masjid An-Nur membentangkan sepanduk panjang warna putih yang bertuliskan: ”Kebebasan menjalankan ibadah dijamin oleh konstitusi pasal 28 E (1) dan (2) UUD.” Suasana riuh itu pun berlahan-lahan mulai sirna, yang terdengar kemudian sayup-sayup kalimat doa dan wiridan yang keluar dari mulut para ibu-ibu itu.

GUII Datang, Manis Lor Mencekam
Apa yang dicemaskan warga pun akhirnya tiba juga. Tepat pada jam 11.05 WIB., jemaat Ahmadiyah yang berkerumun di depan masjid An-Nur itu lamat-lamat mendengar gemuruh suara massa di kejauahan. Awalnya, suara itu tak jelas. Namun berlahan-lahan semakin nyaring. Para warga jemaat pun segera sadar, bahwa suara-suara itu adalah suara massa yang hendak meluluh-lantakkan tempat-tempat ibadah Ahmadiyah di sana. Suara itu datang dari arah timur, tepatnya dari jalan raya dan sudah mulai mendekat ke pertigaan jalan Wisaprana –jalan menuju ke masjid An-Nur.

Suasana di jalan Wisaprana, tepatnya depan An-Nur, menjadi gaduh. Para kaum Hawa yang didominasi ibu-ibu itu kian merapatkan barisan pagar betisnya dengan gugup. Doa-doa itu pun berhenti sejenak karena saking paniknya. Para pemuda dan bapak-bapak (warga Ahmadiyah Manis Lor) langsung berhamburan turun jalan. Tak ada alasan lagi bagi mereka kecuali bersiap-siap melawan massa itu jika sampai mengacak-acak tempat suci mereka, apapun resikonya. Itu situasi yang terjadi di sekitar An-Nur.

Sementara itu, ratusan massa yang mengatasnamakan Gabungan Umat Islam Indonesia (GUII) tiba di pertigaan Manis Lor, tepat di sebelah masjid Al-Huda. Mereka datang dengan mengenakan berbagai atribut; ada yang berseragam hitam, ada yang berjubah putih, mengenakan sorban, ada pula yang memakai songkok, dan banyak lagi atribut yang menandai identitas mereka masing-masing. Beberapa kaos mereka tertera ”Gerakan anti-maksiat kab. Kuningan”. Bendera warna hijau yang bertuliskan lafal ”Lailahaillallah” berkibaran mengiringi semangat mereka yang dilambari amarah. Di bagian bawah bendera-bendera yang diacung-acungkan itu bertuliskan Gabungan Umat Islam Indonesia sebagai penanda identitas kelompok. Sebagian lainnya tampak bendera warna putih berkelebatan di atas massa. Sementara sisanya membawa tongkat dan benda-benda keras lainnya yang terus diacung-acungkan ke atas.

Sementara sang orator, Ustad Sudrajat, tampak berdiri gagah di atas mobil. Dengan bantuan pengeras suara yang berukuran besar, ia berorasi dengan lantang mengobarkan semangat massa dengan seruan-seruan yang ia sebut sebagai ‘jihad’. Suaranya menggema, memecah suasana sekitar. Teriakannya yang membahana dengan kalimat-kalimat garang itu mampu mengendali massa dalam satu komando. Jumlah mereka kurang lebih 700-an orang.

GUII adalah gabungan dari sejumlah organisasi massa, seperti: Front Pembela Islam (FPI) Kuningan, GIBAS (Gerakan Individu Barisan Anak Siliwangi), GERAH (Gerakan Anti Ahmadiyah), Rudal (Remaja Masjid al Huda), BARAK (Barisan Rakyat Kuningan), Gerakan Anti Maksiat, Laskar Jihad Kab. Kuningan, Komponen Masyarakat Kuningan, FUI (Forum Ukhuwah Islamiah), Bimasuci, Ikatan Pencak Silat Indonesia Cabang Kuningan, GAMAS (Gerakan Anti Maksiat), GAPPAS, MMI Cirebon, FPI Majalengka dan beberapa elemen lainnya.
Melihat kedatangan massa itu, aparat keamanan yang terdiri dari dua pleton Polres Kuningan, satu pleton Brimob Cirebon, dan satu pleton Polres Cirebon langsung membuat blockade berlapis untuk menghadang massa agar tak sampai ke masjid An-Nur yang jadi titik incaran mereka. Massa GUII pun berhenti di pertigaan, persis di sebelah masjid Al-Huda. Kini, mereka berhadap-hadapan dengan barisan aparat keamanan.

Sekitar 100 meter di belakang blockade berlapis aparat keamanan itu, tampak barisan Garda Bangsa yang berjumlah 25 orang dengan seragam resmi. Kehadiran mereka tak lain adalah turut membantu Ahmadiyah agar tak terjadi hal-hal yang anarkis. Sementara itu, di depan masjid An-Nur, warga tampak sudah siap menghadapi massa GUII andai mereka berhasil menjebol blockade kepolisian dan melakukan tindak pengerusakan. Para ibu-ibu dan remaja yang membuat pagar betis di depan masjid terlihat kian tegang. Untuk mengusir kekalutannya, mereka kembali membaca doa-doa dan sholawat. Di sela-sela itu, satu pleton polisi berjalan melintas di depan barisan mereka menuju ke ujung barat jalan Wisaprana, mengantisipasi kalau ada massa yang akan masuk lewat arah barat.

Situasi di pertigaan timur kian menegang. Massa GUII yang berhadapan dengan barisan aparat keamanan itu terus menggemuruhkan suara mereka, berteriak-teriak seraya menghujat Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Kalimat-kalimat suci ke-Tuhan-an pun bercampuraduk dengan nada-nada hujatan, melengking ke udara. Sang orator terus berorasi, tak henti-henti, memompa semangat massa dengan menggelontorkan kalimat-kalimat permusuhan. Atas nama Tuhan pula, mereka menghalalkan darah Ahmadiyah. Emosi massa pun kian membuncah.

Situasi seperti itu terus berlangsung sekitar setengah jam. Massa tampak mulai tak sabar. Sang orator memberi waktu 5 menit kepada polisi untuk berbicara di depan massa GUII. Kalau tidak, maka mereka akan menghancurkan sendiri masjid an-Nur. Namun permintaan mereka tak dipenuhi polisi.

Setelah lima menit berlalu, sang orator mulai menyerukan pada massa untuk membaca kalimat thoyyibah (doa untuk mengantarkan jenazah) sebagai tanda bahwa jemaat Ahmadiyah sudah tidak bernyawa. Ancaman mereka tampak tak main-main. Lewat komando korlap, massa mulai merapatkan barisan, bersiap-siap menabrak barisan polisi. Massa pun mulai merangsek, mendorong aparat yang memakai tali dadung untuk menghadang. Bentrokan antara massa dengan polisi pun tak bisa dihindar. Dengan bringas, massa memukul polisi dengan pentungan yang tergenggam kuat di tangan mereka. Beberapa ada yang melempar batu dan kayu.

Tak urung, jumlah massa yang jauh lebih besar dibanding aparat keamanan, dalam sekali gebrak saja sudah mampu membuat kocar-kacir barisan pertahanan polisi dan berlarian ke belakang karena tak kuasa membendung gempuran massa. Blokade polisi lapis pertama pun jebol. Massa hendak langsung melesat menuju ke masjid An-Nur, namun mereka langsung disambut semprotan gas air mata oleh blokade polisi ring kedua. Massa pun semburat dan berlarian tak beraturan. Melihat hal itu, orator sekuat tenaga berteriak berusaha mengorganisir kembali massa yang kocar-kacir akibat gas air mata. Massa pun mundur dan mengambil jarak beberapa meter dari blokade polisi ring kedua. Sementara itu, dari pihak kepolisian yang berada di ring pertama terlihat ada yang mengalami luka akibat seranggan massa. Ia pun diistirahatkan.

Setelah massa bisa dikumpulkan kembali, selang beberapa menit, tepatnya pukul 11.45, korlap GUII meminta massa istirahat sejenak untuk shalat dhuhur dahulu. Massa pun menurut dan langsung berjalan menuju masjid al-Huda yang persis berada di samping lokasi kejadian. Sepeninggal mereka shalat, suasana menjadi lengang. Situasi ini pun dimanfaatkan oleh polisi untuk beristirahat pula.

Sementara itu, para warga yang meluber ke jalan di depan masjid An-Nur diminta oleh polisi untuk menepi atau masuk ke gang-gang, agar tak terlihat oleh massa GUII. Sebab itu dirasa bisa memancing emosi massa. Warga pun menurut. Sedangkan ibu-ibu dan mudi-mudi yang semula berdiri membuat pagar betis itu mengubah strategi pertahanannya. Kini, mereka duduk teratur menghadap ke arah timur, memenuhi ruas jalan Wisaprana depan masjid sambil tetap membentangkan spanduk di depan. Kebanyakan mereka memejamkan mata, mulutnya komat-kamit membaca doa dan kalimat wirid yang intinya memohon keselamatan dari yang Esa. Tak sedikit pula, dari mata ibu-ibu yang menitikkan air mata secara pelan-pelan. Posisi mentari yang tepat di atas kepala tak mereka hiraukan. Mereka berusaha tetap hikmad di tengah situasi mencekam itu.

Shalat Dhuhur Usai, Pengrusakan Dimulai
Setelah 30 menit berlalu, usai melaksanakan shalat dhuhur, massa kembali berkumpul membentuk barisan di tempat semula, pertanda babak kedua aksi akan segera dimulai. Sang orator kembali mengobarkan semangat dengan garang. Massa memukuli tiang listrik di sekitar mereka, menimbulkan bunyi gaduh tak karuan diikuti teriakan-teriakan riuh dengan nada permusuhan. Takbir pun kembali menggema.

Sementara itu, blokade barisan kepolisian sudah bersiaga, berhadap-hadapan hampir tak berjarak. Para wartawan berebut memilih posisi yang paling pas untuk bersiap-siap menunggu chaos babak kedua kembali terjadi antara massa dan polisi. Agar mereka tidak kehilangan momentum untuk bisa mengabadikan peristiwa kelam hari itu.
Selang beberapa saat, tepatnya pukul 12.48, Camat Jalaksana Maman Hermansyah mengambil mix yang dipakai orator lalu berbicara di hadapan massa. Inti isi yang disampaikan adalah bahwa ia telah mengadakan rapat dengan para pimpinan aksi. Hasilnya, Camat akan mengawasi dan memastikan bahwa semua masjid dan mushollah milik jemaat Ahmadiyah Manis Lor tidak akan dipakai untuk aktivitas ibadah apapun sampai menunggu keputusan dari Bupati Kuningan, H Aang Hamid Suganda. Sekali lagi Maman menegaskan bahwa itu adalah kesepakan dengan para pimpinan aksi.

Menimpali paparan Maman, sang orator menyerukan massa untuk melangkah mundur beberapa meter demi menghormati kesepakatan tersebut dan meminta agar tidak ada tindak anarkis di situ. Ia juga bilang bahwa massa akan tetap berada di tempat menunggu sampai masjid dan mushollah-mushollah Ahmadiyah benar-benar disegel.
Sang orator terus menyerukan massa agar mundur. Emosi massa pun tampak mulai surut. Namun, tiba-tiba massa yang merupakan gabungan dari beberapa organisasi itu tampak mulai tak bisa dikontrol dalam satu garis komando. Sebagian dari mereka malah berteriak untuk terus merangsek maju, menjebol blokade. Sementara yang lainnya tunduk pada titah orator. Di atas mobil yang dibuat memuat sound system, terjadi pula perebutan mix antar mereka. Salah seorang langsung merebut mix dari tangan orator dan membiuskan rumor bahwa salah satu dari mereka ada yang terkena bacok. Sontak, emosi massa pun meledak.

Sebagian massa yang semula sudah mundur terpancing emosinya dan segera bergerak kembali ke depan. Situasi semakin tak terkendali, perbedaan terjadi di dalam barisan dan di atas mobil untuk menguasai mix. Teriakan-teriakan mereka mulai tak sewarna, tapi semakin keras. Barisan depan massa dengan gemuruh emosi tinggi berjibaku menarik teman-temannya untuk maju dan bersama melabrak polisi. Dengan emosi meluap-luap, massa pun bergerak maju, merapatkan barisan dan mengacungkan segala pentungan di tangan mereka.

Kini, tanpa komando dari orator, massa bergerak secara liar berusaha menjebol blokade aparat keamanan. Kembali, bentrok antara massa GUII dengan aparat pun tak terelakkan. Gas air mata segera ditembakkan. Mereka pun semburat dan berlarian menyelamatkan diri masing-masing dari semburan gas yang memerihkan mata itu. Melihat demikian, beberapa ponggawa massa, berjibaku mengkoordinir massa yang kocar-kacir itu untuk berkumpul kembali agak ke belakang. Massa pun akhirnya bisa dikumpulkan kembali. Namun jarak mereka agak jauh dari barisan aparat. Aparat keamanan mulai merapikan barisannya yang baru saja digedor massa. Sementara itu, para ponggawa massa, terlihat melakukan pembicaraan serius. Tampaknya mereka mau membuat strategi baru. Pembicaraan di tengah massa itu berjalan agak lama juga. Tak ada suara yang keluar dari sound, tak ada pula gemuruh teriak massa. Suasana pun tak sebising tadi.

Tak lama kemudia, sound pun berbunyi. Sang orator baru memegang mix dan berbicara dengan lantang. Ia mengkhabarkan bahwa massa saat ini tengah menyebar lewat gang-gang desa untuk menghancurkan tempat ibadah jemaat Ahmadiyah. Mendengar itu, para warga yang berkumpul di sekitar masjid An-Nur tampak mulai panik. Sebagian kecil dari mereka langsung bergerak menuju ke tujuh mushollah untuk berjaga-jaga agar tak dirusak. Sementara yang lainnya tetap bersiap-siap di sekitar An-Nur, karena masjid inilah yang jadi incaran utama massa.

Anehnya, tak satu pun aparat kepolisian yang mau bergerak untuk melakukan penjagaan dan penyelamatan mushollah-mushollah yang mendapat ancaman tersebut. Mereka tetap berdiam di tempat semula dengan alasan kalau energi kepolisian dipecah, maka blokade utama di jalan Wisaprana, sebelah timur, akan mudah dijebol massa. Beberapa pengurus Ahmadiyah juga meminta kepada aparat yang berjaga di ujung barat untuk menyelamatkan mushollah-mushollah mereka. Pihak polisi pun tak mau dengan alasan menunggu intruksi dari atasannya, baru mereka akan bergerak. Para ponggawa Ahmadiyah pun tampak kecewa bercampur panik.

Ucapan mereka tampaknya bukan gertakan sambal belaka. Beberapa massa mulai bertebaran menyusup lewat gang-gang dari arah utara dan barat desa. Namun jumlah mereka tak terlalu besar. Yang lainnya tetap berkumpul di pertigaan. Yang mereka tuju dua mushollah jemaat Ahmadiyah, yaitu at-Taqwa dan al-Hidayah.

Di mushollah al-Hidayah, massa dari GUII secara beringas melakukan perusakan: empat buah jendela atas diremukkan, dua pintu dirusak, dan kubah mushollah diambil. Massa juga merusak tiga buah pagar mushollah dan 120 genting. Selain pengerusakan, mereka juga menjarah 20 buah genteng, satu lampu sorot, podium, satu buah amplifier di mushollah itu. Dalam sekejap saja, massa mampu melumatkan kaca-kaca mushollah al-Hidayah. Tak hanya mushollah, massa juga merusak empat buah rumah warga yang berada di sekitar mushollah al-Hidayah. Keempat pemilik rumah itu adalah Pak Mansum yang kaca jendela rumahnya pecah, Ibu Laski yang kaca rumahnya juga pecah, Pak Shaleh yang kaca nakonya pecah, dan Ibu Sanukri yang 9 gentengnya remuk.

Perusakan yang sama juga terjadi di mushollah at-Taqwa. Bedanya, warga yang bertempat tinggal di sekitar mushollah tersebut memberi perlawanan sengit kepada massa GUII yang hendak menghancurkan mushollah tersebut dan rumah warga. Perkelahian tak terhindarkan, dan korban pun berjatuhan. Sapudin –yang biasanya akrab dipanggil Oden–, salah satu warga Ahmadiyah, ditusuk massa dengan menggunakan benda tajam di bagian kiri perutnya. Sementara itu, kaki kiri Dedi tertusuk tongkat yang ujungnya dikasih paku. Pelipis Nana Rusdia mengucur darahnya akibat terkena lemparan batu. Bagian muka dan punggung Deni pun terkena lemparan batu. Dan, pelipis Ibu Zaetun terkena pantulan batu.

Akibat pengerusakan itu, dua pintu mushollah at-Taqwa rusak, 15 jendela pecah, mimbar rusak, perpustakaan diacak-acak, dan 12 al-Qur’an dibakar. Yang dirusak tak hanya at-Taqwa, namun rumah warga sekitar pun menjadi sasaran amuk massa. Perinciannya sebagai berikut: Rumah Bapak Ela, 5 jendelanya dirusak, 150 gentengnya pecah; Pagar rumah Bapak Arwa dirobohkan, 3 buah komet (jendela kecil) dirusak. Sementara; Ruah Bapak Arsim, 50 genteng rumahnya plus dua buah jendela dirusak; Dan Bapak Emon, 10 buah kaca jendela, 50 genteng, dan satu pintu rusak parah.
Oden yang kondisinya semakin melemah karena darah terus keluar dari perut bagian kirinya akibat ditusuk massa itu segera dilarikan ke Puskesmas setempat. Namun karena agaknya parah, ia lantas dilarikan ke salah satu rumah sakit swasta di Kuningan. Tapi memang sungguh naas nasib Oden. Tiga jam ia diterlantarkan, tidak mendapat perawatan dari dokter rumah sakit bersangkutan. Tak jelas apa alasan pihak rumah sakit membiarkan Oden yang sudah tak berdaya itu. Tapi ada slentingan, karena Oden adalah warga Ahmadiyah. Karenanya rumah sakit enggan merawatnya. Akhirnya, Oden pun terpaksa dilarikan ke rumah sakit RS Ciremai, Cirebon, agar nyawanya bisa diselamatkan.

Setelah berhasil merusak mushollah al-Hidayah dan at-Taqwa, massa pun kembali dan bergabung dengan teman-teman mereka di pertigaan dengan puas nun senang. Salah seorang mengambil mix dan kemudian menginformasikan kepada semua yang ada di sana bahwa mereka sudah berhasil menghancurkan 2 mushollah milik jemaat Ahmadiyah. Massa yang sedari tadi menunggu di pertigaan itu pun bersorak-sorai penuh kemenangan.

Pemandangan yang kontras terjadi di sekitar masjid An-Nur. Setelah mendengar kabar dua mushollah mereka telah dirusak, para jemaat Ahmadiyah tak dapat menyembunyikan kesedihannya. Apalagi mudi-mudi dan ibu-ibu yang sejak dhuhur duduk di depan masjid itu semakin tak kuasa menerima kenyataan ini. Hujan air mata pun mengiringi doa-doa dan shalawat yang terus mereka bunyikan. Isak-tangis pun pecah di mana-mana. Jemaat Ahmadiyah dirundung duka.

Negosiasi, Aparat Tidak Ped
Matahari kian condong ke barat, bahkan hampir tenggelam. Situasi di pertigaan Manis Lor tetap seperti semula. Muski sudah berhasil merusak dan memporak-porandakan mushollah al-Hidayah dan at-Taqwa beserta beberapa rumah warga, namun massa GUII tampak belum begitu puas. Mungkin karena masjid An-Nur belum berhasil mereka hancurkan. Mereka masih tetap bergerombol di tempatnya semula sambil berteriak-teriak menghujat Ahmadiyah seraya membawa-bawa nama Tuhan dan kebenaran.

Di depan masjid An-Nur, sampai sore hari, ibu-ibu dan mudi-mudi tak bergeming sedikit pun dari posisi semula, seraya terus melafalkan kalimat doa-doa dan sholawat memohon perlindungan Tuhan. Para pemuda dan bapak-bapak tetap bersiaga di tepi jalan, di gang-gang. Sementara para pengurus Ahmadiyah tampak kehabisan cara dan was-was. Sebab hari sudah sore, namun massa belum juga meninggalkan bumi Manis Lor.

Begitu pun juga dengan pihak aparat keamanan. Mereka tampak mulai kelelahan setelah seharian beradu otot dengan massa GUII. Akhirnya, para pimpinan aparat keamanan mengambil inisiatif untuk melakukan negosiasi dengan pihak Ahmadiyah dan para pendamping Ahmadiyah.

Tepat jam 13.45, negosiasi itu dilakukan di ruang tamu rumah pimpinan Ahmadiyah. Negosiasi ini dimaksudkan untuk mencari jalan tengah dan teraman atas nama ketertiban dan stabilitas. Negosiasi itu dihadiri oleh Kapolres Kuningan (AKBP Rachmad Hidayat), Dandim (Indra Permana), Kasi Intel Kejari (Herdiansyah), Camat Jalaksana (Maman Hermansyah), Kepala Desa Manis Lor, dan segenap pengurus jemaat Ahmadiyah, serta angggota JAKER.
AKBP Rachmad Hidayat, Kapolres Kuningan, mengawali pembicaraan dalam forum tersebut dengan menjelaskan terlebih dahulu maksud negosiasi itu. Dengan ekspresi wajah letih dan bingung, ia mengatakan bahwa massa GUII sulit dikendalikan dan diajak bicara. Sebab yang dikedepankan mereka adalah emosi dan amarah. Karenanya, Hidayat kemudian menawarkan jalan tengah yang dianggap paling adil, yaitu dengan cara menyegel seluruh tempat Ahmadiyah ( satu masjid dan tujuh mushollah –namun masjid dan 2 mushollah sudah disegel tanggal 13 sebelumnya) sampai ada keputusan dari Bupati Kuningan. Hal ini dimaksudkan untuk meredam emosi massa yang sudah memuncak dan brutal. Seluruh argumentasinya disandarkan atas nama keamanan, ketertiban, dan stabilitas.

Hal itu diperkuat oleh Dandim, Indra Permana. Menurutnya memang sudah tidak ada jalan lain kecuali menyegel seluruh tempat ibadah Ahmadiyah. Ia memohon ke pihak Ahmadiyah supaya memahami kondisi tersebut dan bersedia menerima tawaran penyegelan tersebut. Usai bicara, ia memberi kesempatan pihak Ahmadiyah untuk berbicara.
Namun, sebelum bicara, pihak Ahmadiyah mempersilahkan kepada JAKER untuk berbicara terlebih dahulu. Pihak Jaker yang diwakili Unung berusaha menggiring ke wilayah hukum dan berusaha menolak ide penyegelan tersebut, karena Ahmadiyah merupakan organisasi resmi yang memiliki hak untuk mendirikan tempat ibadah dan menjalankan keyakinannya seraya berusaha menegaskan kepada pihak aparat keamanan untuk bisa menjamin dan menindak tegas massa yang berusaha menghancurkan hak kebebasan Ahmadiyah.

Hal itu disambung oleh pihak Ahmadiyah yang diwakili oleh Kulman selaku sesepuh Ahmadiyah Manis Lor. Ia menceritakan kisah perjalanan Ahmadiyah sejak awal berdiri hingga kini yang kerap mendapat ancaman dan gangguan dari pihak yang tidak mengehendaki Ahmadiyah berkembang di desa Manis Lor dan Indonesia umumnya. Tak ketinggalan, dia juga memberi paparan bukti bahwa Ahmadiyah adalah organisasi resmi yang berbadan hukum. Sementara itu, ketua Ahmadiyah, Abdul Syukur, hanya terdiam seolah tiada daya.

Namun, Kapolres dan Dandim sekali lagi menegaskan bahwa hendaknya semua yang ada di situ, khususnya pihak Ahmadiyah, mendahulukan keamanan dari pada soal hak. Pihak aparat juga mengungkapkan bahwa pihaknya merasa kuwalahan menghadapi massa sekian banyak yang susah diajak bicara. Ada kesan yang muncul, pihak aparat seolah ”tidak mau ambil resiko dan tidak sanggup” lagi menghadapi massa.

Pembicaraan berlangsung dengan alot. Pihak Ahmadiyah dan JAKER berusaha menolak ide penyegelan itu, tetapi aparat keamanan tetap bersikukuh dengan tawaran solusinya tersebut. Hingga tak ada pilihan lagi bagi Ahmadiyah kecuali menerima ide kompromi tersebut, muski dengan terpaksa. Sebab, ketika melihat aparat keamanan sudah mulai melembek dengan massa, maka yang jadi kekhawatiran adalah keselamatan ribuan warganya.

Adapun detail hasil negosiasi itu adalah sebagai berikut: (1) Kapolres memohon kepada semua pihak agar mendahulukan keamanan daripada soal hak, dia sangat memahami kondisi ini, (2) Penyegelan semua tempat ibadah merupakan jalan yang terbaik agar emosi GUII tidak semakin memuncak dan brutal. Karena mereka sudah tidak bisa diajak dialog, (3) Pihak-pihak luar diharapkan tidak membuat keruh situasi dengan memprovokasi Ahmadiyah maupun jaringan yang ada di pusat, (4) Keputusan selanjutnya diserahkan ke Bupati yang sampai hari ini masih di Jakarta, (5) Pemda juga menunggu keputusan dari pusat yang sedang mengkaji persoalan Ahmadiyah, (6) Sudah diadakan 5 kali dialog antara kedua belah pihak, akan tetapi tidak pernah menemukan titik temu.

Usai jalan penyegelan disepakati, semua orang yang ada di forum itu langsung tertunduk sedih, kecuali pihak aparat. Mereka tak dapat menyembunyikan rasa kecewa yang begitu mendalam atas kesepakatan itu, utamanya pada pihak aparat yang terkesan canggung dan tidak pede untuk menindak massa yang nyata-nyata melakukan tindak pelanggaran.
Namun apalah daya. Kesepakatan sudah dibuat. Ahmadiyah harus menerimanya muski itu pahit baginya. Semua itu demi ribuan warga yang tak berdosa itu. Sebab, jika nanti blokade keamanan jebol, dan massa berhasil meluluh-lantakkan tempat-tempat ibadah di sana, maka aparat kepolisian akan punya alasan ringan: kenapa penyegelan yang ia tawarkan tidak disepakati?

Hujan Air Mata Di manis Lor
Usai negosiasi, Kapolres keluar dari rumah Abdul Syukur dan meminta kepada Ka Satpol PP, Indra Purwantoro, untuk menyegel kelima mushollah milik Ahmadiyah: Baiturrahman, al-Jihad, al-Ihsan, al-Hikmah, dan al-Barokah. Sebab sebelumnya masjid An-Nur, mushollah al-Hidayah dan at-Taqwa sudah disegel pada kamis, 13 Desember 2007 pukul 12.00 WIB.

Sang komandan Satpol PP pun mematuhi titah Kapolres. Penyegelan itu atas nama pemerintah Kuningan, karenanya ia memakai jasa satpol PP. Titah itu diucapkan tepat pukul 14.45 WIB. Sementara situasi di dalam basecamp tampak masih muram. Tak ada lagi pembicaraan serius di antara mereka. Yang tersisa di sana adalah JAKER, Garda Bangsa, Kepala Desa Manis Lor, dan para ponggawa Ahmadiyah. Ketua Ahmadiyah, Abdul Syukur, tampak begitu shock dan hanya bisa pasrah.
Masih dengan kondisi shock, Abdul Syukur berjalan keluar dari rumahnya. Jalannya pun terlihat tidak sempurna, agak sempoyong. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Abdul Syukur meminta para ibu-ibu dan mudi-mudi yang masih setia duduk di jalan depan masjid An-Nur untuk berdiri dan membubarkan diri seraya mengkhabarkan bahwa mushollah-mushollah mereka akan disegel atas dasar kesepakatan negosiasi yang berlangsung satu jam tadi. Namun mereka memprotes keputusan itu dan berniat akan terus duduk di sana. Namun sekali lagi Abdul Syukur dengan tanpa ekspresi menjelaskan sembari berusaha melunakkan niat mereka. “Kita serahkan semuanya ini pada Allah,” demikian kalimat bijak penuh kepasrahan yang keluar dari bibir Syukur. Para ibu-ibu dan mudi-mudi itu pun akhirnya melunak dan berlahan-lahan meninggalkan tempat itu.

Selang 45 menit, tepatnya pukul 15.30 WIB, mobil patroli Satpol PP bernomor E 8013 Y dari melaju dari arah pertigaan memasuki desa Manis Lor dan berhenti tepat di depan masjid An-Nur. Mobil itu membawa kayu-kayu berukuran panjang yang sengaja dipersiapkan untuk menyegel. Melihat kedatangan mobil tersebut, para ibu-ibu dan mudi-mudi langsung berlarian dan membuat pagar betis persis di pintu gerbang sekolah SMP Amal Bhakti yang berhadap-hadapan dengan masjid An-Nur.

Kayu-kayu di atas mobil itu diturunkan oleh Satpol PP. Dan, mereka sejenak melakukan koordinasi serta mengecek kelengkapan alat segel. Ibu-ibu berteriak meluapkan kejengkelan yang berpadu dengan kesedihan. Meraka tampak tak terima melihat pemandangan yang tidak adil itu. Ibu-ibu itu pun menyumpahi para Satpol PP yang sudah bersiap-siap itu, membacakan dalil-dalil yang intinya berkaitan dengan bahwa tindakan tidak adil dan sewenang-wenang di dunia kelak akan mendapat ganjaran setimpal di akhirat, di depan Tuhan yang Esa.

Para anggota Satpol PP hanya terdiam, tak mereaksi ucapan ibu-ibu. Ibu-ibu terus meluapkan emosinya dengan kata-kata; ada yang membaca sholawat, doa-doa, dalil-dalil, ada pula yang hanya diam terpaku di tempatnya, saking shocknya. Suara mereka bersaut-paut dalam nada sumpah. Suasana kian dramatis. Mereka pun tak kuasa lagi membendung air mata, menetes ke bumi. Suara tangisan pun pecah di bumi kelahiran mereka. Mereka terus berteriak sekuat-kuatnya. Gemuruh emosi dan kepedihan yang tak cukup hanya dilepaskan lewat kata-kata itu membuat fisik mereka mulai melemah. Berlahan-lahan, satu per satu, ibu-ibu mulai tak kuat lagi berdiri hingga akhirnya mereka pun bersimpuh di tanah dan mulai tak sadarkan diri.

Sungguh sebuah pemandangan yang tragis nun memilukan. Semua orang di sana yang menyaksikan itu tampak miris dan bergetar rasa kemanusiaannya.

Tak lama kemudian, para anggota Satpol PP kembali menaikkan kayu-kayu tersebut ke atas mobil. Setelah itu, para anggota Satpol PP satu per satu ikut naik mobil. Mobil pun bergerak menuju ke mushollah Baiturrahman. Para ibu-ibu yang masih sadarkan diri bergegas berlarian menyusul laju mobil tersebut. Tak butuh waktu lama, mobil itu sampai dan berhenti di depan Baiturrahman. Para ibu-ibu langsung berbaris, menghalang-halangi Satpol PP yang hendak menyegel salah satu tempat suci mereka itu. Pihak Satpol PP itu agaknya kerepotan menghadapi barisan ibu-ibu yang larut dalam suasana histeris itu.

Hujan tangis pun terjadi. Suaranya semakin meninggi. Namun dengan segala cara dan penuh kepongahan, Satpol PP akhirnya berhasil memalang pintu-pintu dan jendela-jendela mushollah itu dengan kayu. Tanda bahwa tempat ibadah tersebut telah disegel. Melihat kenyataan demikian, banyak ibu-ibu yang harus terkulai lemas dan kemudian tak sadarkan diri. Sebagian yang lainnya tak bisa lagi mengeluarkan air mata dan hanya bisa terpaku di tempatnya sambil memandangi semua itu dengan shock. Perasaan dan batin mereka tampak tersayat-sayat. Di bumi sendiri, mendapat perlakukan tidak adil.

Di tengah situasi memilukan itu, tiba-tiba seorang ibu setengah baya berlari menuju pintu mushollah Baiturrahman yang sudah disegel. Sejenak ia berdiri dan menatapnya dengan perasaan remuk-redam. Berlahan-lahan ia mulai mendekatkan kepalanya ke daun pintu mushollah. Dan, ia pun menciuminya dengan segenap kesucian jiwa seorang hamba sebagai tanda kesetian pada Sang Illahiyah. Suasana sakral pun muncul di tengah ketidakadilan.

Setelah berhasil menyegel mushollah Baiturrahman, Satpol PP melanjutkan tugasnya yang belum rampung. Mereka mendatangi musollah al-Jihad, kemudian al-Ihsan, lalu al-Hikmah, dan al-Barokah satu per satu secara bergantian untuk melakukan tugas yang sama, yaitu menyegel. Setiap prosesi penyegelan masing-masing mushollah itu selalu diiringi kisah pilu yang sesak oleh isak-tangis, jeritan, dan sumpah masyarakat.

Demikian kisah kelam pada hari Selasa di bumi Manis Lor. Jemaat Ahmadiyah dipaksa menerima ketidakadilan di tanah kelahirannya sendiri. Dan, nasib mereka pun mengapung di negara hukum. Desantara / M. Kodim

BAGIKAN: