Dari Mubes Kepala Adat Dayak se-Kaltim.Musyawarah Besar Kepala Adat Dayak telah berakhir. Jumat lalu, 22 Juni, Wakil Bupati Kukar, Samsuri Aspar, menutup acara yang berlangsung 18-21 Juni 2007 itu. Empat hari sebelumnya, kegiatan para kepala adat Dayak se-Kalimantan Timur ini juga dibuka seorang pejabat. Kepala Biro Sosial Setprov. Kaltim, Paini Hariyono, memberi sambutan mewakili Plt. Gubernur Kaltim, Yurnalis Ngayoh, di Pendopo Wabup Kukar.
Banyaknya pejabat yang hadir dalam mubes ini tak urung menimbulkan banyak kecurigaan. Sempat beredar kabar, acara mubes ini terkait dengan makin kencangnya aroma persaingan politik menjelang Pilkada Kaltim 2008 yang akan datang. Mengingat, dua kandidat Gubernur Kaltim berasal dari putra Dayak, Yurnalis Ngayoh dan Martin Billa yang kini masih duduk sebagai Bupati Bulungan. Kecurigaan misalnya datang dari sekretaris Majelis Adat Dayak Nasional. “MADN menegaskan Mubes itu ilegal,” ujar Sony Sebilang yang mengaku menirukan kata pimpinannya, Yurnalis Ngayoh, Ketua umum MADN.
Pertemuan ini tidak ilegal, jika ilegal tidak mungkin dihadiri pejabat pemerintah,Namun begitu, buru-buru kabar ini dibantah Samuel Robert Djukuw. ”Pertemuan ini tidak ilegal, jika ilegal tidak mungkin dihadiri pejabat pemerintah,” kata Ketua PDKT Kukar ini yang didampingi Wakil Ketua Panitia Musyawarah, Laoda Hupadding, dan Panglima Komando PertahananAdat Dayak Kalimantan, Lukas Kapung.
Lebih lanjut, menurut Samuel, musyawarah ini dilatari peristiwa yang dialami komunitas Dayak Benuaq Jahab, Kutai Kartanegara, Februari lalu. Ketika itu upacara adat ngugu taun yang disertai dengan botor buyang dicap aparat keamanan sebagai praktek perjudian. Dari sini, masyarakat lalu menuntut agar peristiwa ini dibahas dalam musyawarah di tingkat propinsi. Dan, masih kata Samuel, karena masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Dayak amat kompleks seperti kasus tanah (hutan) adat, denda ganti rugi, dan upacara-upacara adat. Maka disepakati pertemuan melibatkan para kepala adat se Kalimantan Timur.
Membentuk perangkat organisasi
Ada sekitar 423 orang pengurus dan kepala adat Dayak se-Kalimantan Timur yang hadir dalam pertemuan selama empat hari di rumah retret Bukit Rahmat Putak, Loa Duri, Kukar itu. Berdasarkan pokok-pokok acuan yang dibagikan kepada para peserta, kegiatan ini bertujuan ”agar para kepala adat mampu menegaskan kembali dan mengewajantahkan nilai adat-istiadat dan hukum adat Dayak Kalimantan Timur.”
Draf materi-materi juga nampak telah dipersiapkan matang yang dibahas dalam komisi-komisi. Seperti materi hukum adat mengenai hutan tanah pada masyarakat adat Dayak Kalimantan Timur, hukum adat perkawinan, hukum adat mengenai masuknya kegiatan dari luar, hukum adat tentang upacara adat, hukum adat mengenai subtitusi nilai benda yang bernilai hukum adat, dan hukum adat mengenai kedudukan kepala adat.
Sayangnya, draf-draf yang seharusnya menghasilkan ketetapan dan menjadi cermin aspirasi komunitas adat yang mandiri ini urung dibahas dalam komisi. Alasannya, selain keterbatasan waktu, ada keterbatasan pemahaman para kepala adat atas hukum positif yang berlaku, sehingga draf-draf tersebut dipercayakan pembahasannya kepada sebuah tim khusus.
Mengenai pembahasan draf ini, Andreas Lawing membenarkannya. ”Membahas draf-draf ini harus disertai pemahaman yang mendalam dan juga tinjauan yang lebih kompleks atas hukum positif kita yang berlaku, karena ini mendialogkan hukum adat dan hukum positif,” papar Sekretaris Kepala Adat Dayak Besar Kutai Timur ini yang merangkap sekretaris pimpinan sidang pleno Mubes.
Gagal membahas draf hukum adat yang disusun oleh Elisason yang pimpinan sidang Mubes ini, musyawarah akhirnya menyepakati dibentuknya tiga perangkat organisasi yang telah dibentuk para kepala adat. Perangkat ini meliputi: Komisi Perlindungan Hak Adat Masyarakat Hukum Adat Dayak Kalimantan Timur, komisi yang bertanggung menangani konflik yang melibatkan masyarakat Dayak dengan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah mereka; Barisan Pemuda Adat Dayak Kalimantan Timur, perangkat serupa laskar ini dibentuk untuk membantu dan memperlancar kerja-kerja Komisi Perlindungan Hak Adat Masyarakat Hukum Adat Dayak Kaltim; dan Forum Kepala Adat Dayak Kalimantan Timur yang akan difungsikan sebagai forum untuk menjaga kesinambungan komunikasi antar para kepala adat.
”Perangkat-perangkat ini dibentuk untuk mempercepat proses akomodasi hukum adat dalam hukum positif kita, bahkan bisa berfungsi menekan,” kata Andreas Lawing tandas. Tapi, persoalannya, bagaimana kita hendak mendialogkan hukum adat dengan hukum positif dan menegosiasikannya, sementara rumusan hukum adat yang berpihak pada komunitas adat sendiri belum terbentuk?
Dayak Centre
Persoalan lain yang memperoleh sorotan dalam Mubes ini adalah wacana Dayak Centre. Dayak Centre dianggap penting lantaran, menurut beberapa tokoh adat, belum ada kampung yang dinilai bisa merepresentasikan seluruh keragaman budaya Dayak di Kaltim.
”Pampang yang sering disebut kampung Dayak itu hanya mewakili suku Kenyah saja, bahkan sub-etnik Lepoq Bam saja,” ujar Indra Bengeh yang juga Kepala adat Dayak Besar Kutai Timur asal suku Bahau ini.
”Dayak Centre ini bukan wacana baru, sudah sejak lama kami perjuangkan. Saat ini kami sedang negosiasi dengan PT. MHU. Kami minta lahan kepada mereka di Tenggarong Seberang seluas 1000 hektar,“ papar Elisason, Ketua Pimpinan Sidang Musyawarah Kepala Adat Kaltim. Bahkan Elisason yang mewakili komunitasnya ini mengaku bertekad akan membangun sendiri Dayak Centre ini. Dayak Centre ini bukan wacana baru, sudah sejak lama kami perjuangkan. Saat ini kami sedang negosiasi dengan PT. MHU. Kami minta lahan kepada mereka di Tenggarong Seberang seluas 1000 hektar
Dayak Centre, yang dibayangkan sejumlah perwakilan komunitas Dayak itu semacam kompleks perumahan yang di dalamnya terdapat lamin dari seluruh sub-etnis Dayak di Kaltim. Wilayah ini konon akan didukung fasilitas pendukung seperti rumah dinas para kepala adat, tempat ibadah, fasilitas olahraga, dan sebagainya.
Keinginan untuk memperkuat lembaga adat Dayak, itulah kesan kita untuk sementara. Namun apakah musyawarah ini benar hendak mengangkat nasib dan martabat warga komunitas Dayak yang sudah lama marginal itu? Jelas masih kita tunggu buktinya.[]
*Dimuat di Harian Kaltim Pos, Minggu 1 Juli 2007. Kerjasama Yayasan Desantara, Naladwipa Institute dan Harian Kaltim Pos