Wawancara dengan Ahmad Suaedy dengan Perspektifbaru.Com
Sungguh kehormatan bagi saya, berhasil mengundang salah seorang kolega yang sudah lama tidak berjumpa. Dia adalah Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif the Wahid Institute, satu lembaga yang didirikan oleh KH. Abdurrahman Wahid mantan presiden kita. Selain itu, dia kerap menjadi narasumber untuk berbagai seminar maupun konsultan beberapa riset dan penelitian, bahkan juga menjadi juri di Jiffest.
Menurut Ahmad Suaedy, Indonesia secara hukum sangat maju dari segi konsep perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM), misalnya meratifikasi International Criminal Court (ICC). Kita juga memiliki UU tentang HAM dimana Komnas HAM ada di dalamnya. Jadi cukup luar biasa, tetapi justru dalam praktek kebalikannya. Kebijakan-kebijakan pemerintah baik dari tingkat daerah sampai pusat hampir tidak ada yang menunjukkan itikad untuk menjaminnya. Bahkan sebenarnya kalau kita mau realistis terhadap situasi, semestinya UU tentang HAM sudah harus diubah karena dibuat pada masa Orde Baru untuk kepentingan saat itu.
Ahmad Suaedy melihat sejak reformasi peranan agama sama pentingnya dengan peranan militer pada masa Orde Baru. Ada gejala birokratisasi agama, dulu ada birokratisasi militer. Agama masuk dalam sistem hukum, dalam materi hukum, dan seterusnya. Jadi salah satu kendala untuk memproteksi dan mempromosikan HAM adalah pemahaman dan gerakan keagamaan sekarang ini. Dia melihat sebagian kelompok agama dipakai untuk mencegah promosi HAM dan untuk menutupi pelanggaran HAM karena persepsi dalam agama tentang HAM. Mereka dipakai oleh kelompok-kelompok kepentingan untuk menutupi pelanggaran HAM. Misalnya, mantan-mantan militer yang mempunyai kepentingan untuk tidak diseret ke dalam masalah ini menggunakan kelompok agama untuk memproteksi mereka.
Berikut wawancara Faisol Riza dengan Ahmad Suaedy.
Anda dan Wahid Institute banyak menyoroti dan mengkaji pluralisme dan Islam moderat yang bisa menerima semua perkembangan baru. Saya kira, dan mudah-mudahan ini tidak keliru, dasar dari hal tersebut adalah derajat manusia yang sama. Sebelum kita mendiskusikan hak asasi manusia (HAM) secara umum, dari mana datangnya derajat manusia?
Bagi orang yang beragama, itu diklaim datang dari Tuhan. Secara eksplisit, menurut agama saya yang saya yakini benar, Tuhan memberikan tempat kepada semua manusia bahkan semua mahkluk. Dalam hal ini manusia tidak dibedakan menurut perbedaan agama, warna kulit, maupun jender. Jadi itu bersumber dari keyakinan keagamaan atau dengan kata lain dari Tuhan.
Saya kira manusia lahir tidak membawa derajat, tetapi derajat yang Anda katakan dari Tuhan mungkin juga dilihat agak abstrak. Di dalam kehidupan sosial, siapa sebenarnya yang harus memberikan kadar derajat pada manusia yang seharusnya sama?
Secara sosial tentu saja manusia itu sendiri, tetapi dalam praktek karena kita mempunyai konsep negara maka negara harus memberikan jaminan kepada semua manusia memiliki derajat yang sama. Saya meyakini ini juga berlaku di Indonesia. Dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 45 menyatakan itu dengan jelas. Negara harus menjamin berlakunya kesederajatan manusia.
Tapi ternyata dalam prakteknya, negara mungkin saja tidak mengakui atau justru tidak menjamin kesamaan derajat. Misalnya negara kita, Indonesia dalam sejarah kemerdekaannya banyak memiliki lobang yang menunjukkan tidak menjamin derajat manusia. Apa yang seharusnya negara lakukan untuk menjamin itu?
Ya, itu memang historis. Di Eropa atau Amerika juga ada proses perbaikan. Pertama-tama, ada diskriminasi bahkan ada pembunuhan seperti Nazi, itu bagian dari sejarah. Tapi saya kira hal itu tidak boleh terulang di masyarakat Indonesia. Karena itu ada beberapa tingkatan yang harus dilakukan. Secara hukum, misalnya, kita sudah mempunyai konstitusi UUD 45 dan itu menjamin. Hal secara hukum tersebut harus dijabarkan menjadi Undang-Undang (UU), kemudian menjadi kebijakan, dan seterusnya. Semua aturan kebijakan UU yang bertentangan dengan prinsip tadi harus diubah, dieliminasi, dan seterusnya.
Saya kira itu juga peran masyarakat untuk mengangkat atau menjamin derajat yang sama. Kita mungkin pada masa reformasi menyaksikan juga bagaimana diantara kita sendiri ternyata tidak saling menjaga derajat manusia yang sama. Apa faktor yang menyebabkannya selain negara sudah tidak menjamin itu?
Ada pemahaman keagamaan yang terbawa dari historis. Dulu orang dianggap tidak sederajat, misalnya keturunan raja beda dengan awam dan seterusnya. Itu masuk ke dalam konsep sosial, konsep politik, dan sebagainya. Jadi harus ada terus-menerus kritik terhadap konsep sosial politik dan seterusnya. Pengalaman juga sering kali memberikan pengaruh. Pengalaman orang yang pernah didiskriminasi, misalnya Indonesia pernah dijajah oleh Belanda, akan sulit untuk meyakini bahwa orang Barat itu tidak diskriminatif. Padahal kalau kita lihat di Barat lebih demokratis, lebih sederajat dibandingkan negara kita.
Jadi, apakah memang derajat manusia itu mutlak dan merupakan sesuatu yang hakiki bahwa semua manusia sama?
Iya betul. Kalau dalam prakteknya ada penyimpangan, maka itu yang harus diperbaiki terus menerus.
Persoalan HAM di Indonesia sering kali susah diselesaikan oleh negara maupun lembaga-lembaga yang berwenang dalam mengatasi masalah ini. Konflik lebih banyak dipicu karena persoalan siapakah yang berwenang dalam prosesnya dan pengadilan seperti apa yang tepat. Karena itu timbul banyak keinginan orang untuk menyelesaikannya dengan cara lain. Misalnya, kelompok yang terlibat di dalam peristiwa 1965 akhirnya membentuk Forum Anak Bangsa untuk membangun silaturahmi, mencoba mencairkan semua kebekuan, dan mengambil manfaat untuk bersama-sama menyelesaikan masalah tanpa menyakiti satu sama lain. Itu satu fenomena. Bagaimana catatan Anda terhadap perkembangan HAM atau perlindungan terhadap HAM yang dilakukan di Indonesia terutama sejak adanya Komisi Nasional (Komnas) HAM?
Di masa Orde Baru, dimana Komnas HAM lahir, memang ada sesuatu yang sangat berat. Namun justru betapa pun terbatasnya Komnas HAM, mereka mempunyai kemampuan besar terutama dalam mempromosikan komitmen beberapa orang, beberapa kelompok, dan bahkan dunia luar terhadap pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya pelanggaran berat. Tetapi di masa Orde Baru saya melihat ada kontradiksi. Di satu pihak, secara hukum, Indonesia sangat maju dari segi konsep perlindungan terhadap HAM, misalnya meratifikasi International Criminal Court (ICC). Kita juga memiliki UU tentang HAM dimana Komnas HAM ada di dalamnya. Jadi cukup luar biasa tetapi justru dalam praktek kebalikannya. Kebijakan-kebijakan pemerintah baik dari tingkat daerah sampai pusat hampir tidak ada yang menunjukkan itikad untuk menjamin HAM. Bahkan sebenarnya kalau kita mau realistis terhadap situasi, semestinya UU tentang HAM sudah harus diubah. UU HAM dibentuk pada masa Orde Baru, dalam hal ini diberi tempat tapi dibatasi. Misalnya, sebuah pelanggaran HAM berat itu harus diputuskan oleh pleno Komnas HAM kemudian dibawa ke DPR, setelah itu ke sidang pleno DPR. Ada lapis-lapis yang sangat berat untuk menentukan bahwa sebuah kasus itu masuk ke dalam kategori pelanggaran HAM atau pelanggaran berat. Sekarang ini saya bisa memahami sepenuhnya apabila Komnas HAM begitu terbatas, kecuali kalau komisionernya berjuang keras untuk itu. Tapi saya tidak melihatnya.
Jadi Anda tidak memiliki harapan kepada kolega-kolega Anda yang menjadi komisioner di sana. Ada beberapa orang yang bisa kita sebut sebagai orang yang memang dari dulu ada di dunia perlindungan HAM. Apakah Anda tidak terbersit sedikit harapan Komnas HAM akan lebih baik dari yang sebelumnya?
Iya, saya berharap sebenarnya. Ada beberapa teman yang memang gigih dan dia mengatakan akan melakukan itu tapi banyak kendala. Sebenarnya ada jalan keluarnya, misal lewat jalur internasional, dan lain lain. Sejauh ini saya belum melihat bagaimana upaya atau terobosan-terobosan mereka yang sedikit memberi harapan. Selama ini kita hanya mendengar bahwa ada teman, ada janji, ada harapan.
Apakah ini kanalisasi sebuah perjuangan agar tidak lebih berkembang lagi?
Mungkin seperti itu karena betapapun terbatasnya sebuah UU, namun itu masih bisa diterobos dengan cara opini publik, kampanye, dan mobilisasi dukungan. Dalam dunia politik tentu tidak lepas dari itu. Tapi saya belum melihat ini sebagai sesuatu yang signifikan.Bukankah yang memutuskan UU adalah DPR?
Iya, itu sayangnya. Saya menduga anasir-anasir Orde Baru yang dulu berambisi masuk ke Komnas HAM berupaya mencegah proses itu. Sekarang mereka tidak masuk Komnas HAM karena mereka sudah bisa menguasai level lain, misalnya semua keputusan yang ada di tingkat tertentu bisa dihentikan agar tidak sampai ke tingkat lain. Misalnya, kasus Semanggi sudah dengan mudah dihentikan di tingkat DPR. Sebelum masuk ke sidang pleno sudah hilang dulu, dan seterusnya.
Apakah itu artinya persoalan HAM terutama yang berat adalah persoalan politik?
Ya, betul.
Jadi itu menjadi kewenangan para pimpinan politik, entah presiden sebagai eksekutif, maupun DPR sebagai legislatif. Bagaimana pandangan Anda terhadap presiden dalam penanganan pelanggaran HAM?
Saya sama sekali tidak melihat presiden melakukan itu. Soal almarhum Munir, sudah berkali-kali istri Munir dan teman-teman pembelanya berjuang keras untuk mencoba menerobos sampai ke presiden. Saya kira justru dia secara politik menjadi presiden salah satunya untuk mencegah itu. Saya kira karena hampir tidak ada gejala bahwa dia akan melakukan itu. Memproteksi pun saya kira tidak menunjukkan itu.
Saya pernah mendengar suatu pernyataan yang betul-betul seperti melecehkan kewenangan presiden yaitu, "Wong dulu dia itu ajudan saya terus dia berani mengobrak-abrik saya?" Menurut saya, itu suatu pernyataan bahwa HAM itu adalah alas kaki saja. Tetapi kita kan tidak berhenti di sini, persoalan-persoalan masih akan muncul dan lembaga-lembaga masih akan diuji sampai seperti apa bisa berhasil. Saya kira persoalan HAM bukan cuma persoalan tentara saja. Apa yang Anda lihat mengenai persoalan HAM dalam fenomena terakhir?
Sejak reformasi saya melihat peranan agama sama pentingnya dengan peranan militer pada masa Orde Baru. Ada gejala birokratisasi agama, dulu ada birokratisasi militer. Agama masuk dalam sistem hukum, dalam materi hukum, dan seterusnya. Jadi salah satu kendala untuk memproteksi dan mempromosikan HAM itu adalah pemahaman dan gerakan keagamaan sekarang ini. Meskipun harus dibuktikan secara valid di sebuah riset yang baik, tetapi saya melihat sebagian kelompok agama dipakai untuk mencegah promosi HAM dan untuk menutupi pelanggaran HAM karena persepsi dalam agama tentang HAM. Mereka dipakai oleh kelompok-kelompok kepentingan untuk menutupi pelanggaran HAM. Misalnya, mantan-mantan militer yang mempunyai kepentingan untuk tidak diseret ke dalam masalah ini menggunakan kelompok agama untuk memproteksi mereka.
Sebagaimana yang Anda katakan, The Wahid Institute adalah suatu lembaga yang penting dalam merevitalisasi peran agama, memberi pengertian kepada masyarakat tentang hubungan agama dengan HAM, dan derajat persamaan itu. Apa yang The Wahid Institute sedang kerjakan terutama terkait dengan kekerasan pada masyarakat?
Saya melihat agama menjadi sentral isu dalam proses berperan masyarakat sekarang ini. Salah satu yang terpenting bagi saya adalah proses birokratisasi agama dalam banyak bentuk. Birokrasi tidak hanya dalam pemerintah, tapi juga di partai politik, perundang-undangan, dan seterusnya. Itu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingannya. Misalnya beberapa Peraturan daerah tentang syariat Islam dipakai oleh seorang bupati yang ingin terpilih lagi. Meskipun ada aspek-aspek positif seperti reaksi dari masyarakat untuk mencegah itu, tapi alur besarnya ke sana.
Kemudian juga persepsi para pejabat. Saya benar-benar tercenung ketika di depan pembukaan rapat kerja (Raker) Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa hari lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan akan mengikuti semua fatwa MUI. Fatwa MUI melahirkan antara lain 10 kriteria untuk menunjuk seseorang dianggap sesat. Menurut saya, dalam konteks ini, para pejabat sudah kehilangan kepemimpinan di dalam negara Republik Indonesia. Kalau saya boleh bicara keras, itu memberi peluang hukum rimba, jadi siapa yang kuat bisa membuat hukum, bisa dilaksanakan, dan pemerintah akan mengikutinya. MUI, misalnya yang merasa kuat, membuat hukum dengan 10 kriteria tersebut kemudian disebarkan ke masyarakat. Silakan masyarakat menindak sendiri kalau ada orang yang melanggar dari 10 kriteria tadi karena presiden sudah menyatakan akan mengikutinya. Kapolri juga menyatakan itu. Bagi saya, ini sangat mendasar. Jadi, pertama-tama persepsi para pejabat harus diberi pengertian.
Mereka seperti memicu lahirnya kekerasan yang bisa timbul dengan sendirinya di masyarakat.
Bagaimana seandainya saya mengikuti fatwa MUI mengenai 10 kriteria itu harus saya jalankan, lalu ada tetangga yang saya anggap sesat. Apa yang harus saya lakukan? Di situ tidak ada petunjuknya. Mungkin saya boleh menggebuknya atau lainnya. Jadi itu mengintroduksi semacam hukum rimba. Anehnya, pejabat mengikuti alur ini. Lalu, apa yang bisa kita harapkan lagi dari alur semacam ini? Nggak ada lagi. Apakah partai-partai politik? Saya tidak mendengar satu katapun partai politik yang merespons soal kekerasan, agama, dan seterusnya.
Apakah fenomena yang Anda lihat selain soal persepsi yang salah dari para pejabat kita karena kurangnya instrumen hukum yang memicu kekerasan timbul di masyarakat, atau problem-problem sosial, atau memang ada sesuatu yang laten sejak dulu sehingga dicungkil sedikit saja akan membuat seseorang langsung melakukan kekerasan?
Ini mungkin agak teoritis. Pada masa Orde Baru, kalau ada masalah biasanya militer dan intelijen langsung merumuskan dimana masalahnya kemudian orang yang mau demo didatangi. Anda mau demo, saya larang, kalau boleh saya ajak kerjasama. Kalau tidak mau, saya gebuk. Jadi hubungan antar manusia, antar kelompok diatur oleh pemerintah melalui banyak institusi, ada polisi, ada tentara. Di masa seperti sekarang, masyarakat semestinya bisa mengatur sendiri hubungan antar kelompok. Misalnya Anda berbeda dengan saya, saya berpendapat Anda sesat namun semestinya Anda tidak saya gebuk. Ada proses sosial yang disebut dengan social capital, saling percaya, dan ada norma-norma yang harus diikuti. seperti orang tidak boleh menggebuk orang sembarangan. Sekarang ini norma itu tidak ada. Jadi kalau ada orang berbeda dengan saya, maka saya boleh menggebuknya. Polisi akan melindungi orang yang menggebuk atau akan mengevakuasi orang yang digebuk. Dua hal dari modal sosial ini, saling percaya, dan norma sosial tidak terbentuk, pemerintah juga tidak melakukan itu.
Jadi, apa kesimpulan Anda terhadap masyarakat yang berkembang tanpa norma?
Semestinya pemerintah harus membangun itu, mendorong masyarakat agar membangun norma. Itu jelas tanggung jawab pemerintah tapi pemerintah tidak melakukannya. Misalnya, ada orang yang mau melakukan kekerasan, maka yang harus dicegah adalah orang yang hendak melakukan kekerasan, bukan mengusir korban lalu membiarkan mereka para penyerang leluasa. Ini menjadi aneh sekali. Di satu pihak, para intelektual tentu saja mesti mengintrodusir masalah-masalah substansial seperti ini. Di lain pihak, yaitu pemerintah dan aparat negara harus menunjukkan itikadnya juga untuk mengarahkan ini. Kalau tidak maka benar-benar akan menjadi hukum rimba.[] (perspektifbaru.com edisi 613, 17 Desember 2007)