Dalam posisi seperti apa Desantara harus menempatkan diri di tengah perubahan sosial, politik dan kebudayaan yang tengah berubah saat ini? Seiring pertambahan usia lembaga Desantara, adanya perubahan-perubahan dinamis di sekitar lokasi-lokasi kerja Desantara menuntut respon cepat tanggap dari Desantara sendiri. Misalnya, sekitar 8-10 tahun yang lalu, sulit membayangkan di Pati Jawa Tengah terjadi perubahan signifikan bagi munculnya gerakan petani Pati seperti yang ramai dibicarakan saat ini. Di Pati Selatan, tepatnya di kecamatan Sukolilo, gerakan petani ini terkonsolidasi melalui kesadaran untuk membela konservasi ekologi Gunung Kendeng.
Dalam posisi seperti apa Desantara harus menempatkan diri di tengah perubahan sosial, politik dan kebudayaan yang tengah berubah saat ini? Seiring pertambahan usia lembaga Desantara, adanya perubahan-perubahan dinamis di sekitar lokasi-lokasi kerja Desantara menuntut respon cepat tanggap dari Desantara sendiri. Misalnya, sekitar 8-10 tahun yang lalu, sulit membayangkan di Pati Jawa Tengah terjadi perubahan signifikan bagi munculnya gerakan petani Pati seperti yang ramai dibicarakan saat ini. Di Pati Selatan, tepatnya di kecamatan Sukolilo, gerakan petani ini terkonsolidasi melalui kesadaran untuk membela konservasi ekologi Gunung Kendeng.
Maka, seiring perkembangan baru yang menuntut adaptasi dan respon kreatif Desantara, Desantara berinisiatif melakukan pelatihan internal bagi seluruh staff dan organizer lapangan. Diskusi tiga hari ini dilakukan di kantor Desantara, senin-rabu/31 Mei-2 Juni 2010. Pelatihan ini membekali para pegiat kerja Desantara untuk memahami lebih jauh perkembangan gerakan petani di Pati, berikut konstelasi politik, ekonomi, sosial budaya yang menyertainya. Dipandu langsung oleh Direktur Desantara, Muhammad Nurkhoiron, pelatihan ini melibatkan seluruh staff Desantara.
Yang menarik pula pelatihan ini melibatkan Chairulliza (Ruli), salah satu relawan Desantara yang selama ini bergiat di pengorganisasian petani Pati di bagian utara. Pelatihan ini memaparkan visi Desantara dari gerakan yang mendukung dan menyuplai gagasan multikultural menuju gerakan pengorganisasian komunitas. Bagi Desantara, gerakan multikultural tidak harus berhenti menyuplai dan mendorong kesadaran massa/publik/komunitas untuk menghormati nilai-nilai keragaman dan mendesak digulirkannya kebijakan yang menghormati nilai keragaman itu. Desantara harus aktif mendorong komunitas yang selama ini distigma sebagai kelompok minoritas, dan dalam beberapa hal mengalami proses marjinalisasi menuju komunitas yang kritis dan transformatif.
Sebagaimana yang dapat kita simak dalam salah satu diskursus multikultural selama ini, dalam perjalanan komunitas dikenal apa yang disebut sebagai restriksi internal. Situasi ini kerap terjadi di komunitas-komunitas yang selama ini bertahan dengan seluruh sikap hidup; agama, dan nilai-nilai budaya mereka yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Konsep restriksi internal, menjelaskan adanya tekanan-tekanan komunitas yang melemahkan kebebasan individu yang menjadi bagian dari komunitas itu sembari memapankan konsentrasi kekuasaan di kalangan elite-elite komunitas. Dalam beberapa kasus, konsep “restriksi internal”, bisa jadi konstruksi konseptual yang dilekatkan oleh sejumlah ahli sosial/antropolog/pengambil kebijakan yang berasal dari luar komunitas itu sendiri.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan, kondisi resktriksi internal itu benar terjadi dan menimbulkan friksi/konflik di dalam komunitas. Tantangan Desantara adalah menempatkan diri secara dialogis dan interaktif, dimana Desantara turut menjadi bagian dari pergulatan komunitas sembari pada saat yang sama menjadi mitra kritis untuk melakukan proses perubahan.
Pelatihan yang diformat dalam bentuk diskusi ini juga memperkuat misi/visi Desantara bagi proses perubahan komunitas. Pembahasan ini meliputi diskusi mengenai narasi-narasi yang dibangun pihak luar selama ini mengenai komunitas (sebagai kelompok minoritas/yang diminoritaskan). Konstruksi dalam bentuk narasi-narasi ini terkait dengan konstelasi global terkait kolonisasi terhadap komunitas-komunitas, kebijakan negara, intervensi pasar/perusahaan dalam kondisi pasar bebas seperti saat ini.
Maka gagasan yang turut menempatkan posisi Desantara adalah, bahwa menjadi beda, dan bersikap untuk berbeda (secara agama,budaya/tradisi/adat) mesti memiliki relevansi dengan sikap kritis, evaluatif, dan sadar diri-komunitas untuk pertama-tama keluar dari ranjau kolonisasi, penetrasi pasar-besar/kapitalisme liberal, dan intervensi apapun dari pihak luar yang menjadikan mereka tersubordinasi.
Gagasan inilah yang menjadi kerangka pikir yang didiskusikan dalam pelatihan 3 hari ini, dan realisasi kerjanya dirancang secara bersama sebagai follow up dari pelatihan ini.