Bagi saya menulis tentang Porong adalah sebuah dilema. Di satu sisi keadaan begitu carut-marut. Menulis bisa jadi hanya akan menambah masalah bukan bagian dari solusi. Di sisi lain, manakala tak ditulis, lalu bagaimana kita akan memetik buah-buah pelajaran dari kasus ini? Saya sampai pada posisi dilematis itu terutama setelah kedatangan saya yang pertama kali di Porong pada penghujung bulan Mei tahun 2009. Ketika itu saya datang dengan sebuah agenda penelitian, yang hubungannya adalah dengan tulis-menulis. Sebelumnya saya hanya bisa mengikuti perkembangan di Porong dari media.
Dalam kesempatan itu saya berhadapan dengan orang-orang yang sudah sangat taktis dan kenyang dengan pertanyaan penelitian. Ketaktisan mereka dapat dilihat ketika proses wawancara. Saya merasa sedang berhadapan dengan dua kutub ekstrim sekaligus. Di satu kutub, sisa trauma pasca-bencana melekat masih sangat pekat. Di luar pakem teori penelitian lapangan yang ada, orang-orang bercerita lancar tanpa diminta, tentang cerita duka, rumah yang terkubur, dan kampung yang tinggal kenangan. Dalam kasus ini pilihan terbaik adalah menjadi telinga. Di kutub yang lain, banyak di antara orang yang saya temui yang sudah sangat sinis dengan penelitian. “Ditanyain terus Mas, bosan,” kata mereka ketika itu. Atau malah sebelum ditanya mereka akan bertanya lebih dahulu apakah ada hubungan antara penelitian yang sedang saya lakukan dengan proses percepatan pembayaran uang ganti rugi aset mereka. Saya lantas berpikir andaikata saya jadi merekapun saya akan merasakan hal yang sama, kebosanan dalam perjuangan untuk memperoleh hak, atau kebosanan menghadapi para peneliti yang mengorek banyak hal dari komunitas korban, tetapi jarang yang membawa sumberdaya.
Dalam obrolan sehari-hari, kalau anda tinggal di Porong dan banyak berbincang-bincang dengan warga, maka cerita tentang warga yang mendapat “uang kaget” dalam bentuk ganti rugi 20% yang sangat besar jumlahnya, adalah hal biasa. Bagian selanjutnya man on the street akan bercerita tentang si Fulan yang menginap selama bermalam-malam di Tretes—tempat hiburan malam yang menawarkan kesenangan berharga mahal—mabuk-mabukan dan bermain perempuan, atau kasus lain dimana lelaki beristri lari ke pelukan perempuan lain setelah mendapatkan uang ganti rugi (seperti kasus Bu Setia dalam bagian lain tulisan ini), atau yang lebih ekstrim, karena motivasi ekonomi, remaja perempuan menjadi benda yang diperdagangkan. Atau kenyataan tentang rambut yang tadinya ikal tiba-tiba di-rebounding dan dicat aneh warna-warni, jalanan yang tiba-tiba penuh dengan sepeda motor seri terbaru, mobil mewah yang di dalamnya penuh debu, dan juga generasi hp terbaru. Maksud saya untuk poin terakhir: kapitalisme telah menjadikan mereka sebagai pasar yang gemuk.
Lantas, selain pesimisme, pelajaran apa yang dapat kita petik dari korban yang lelah di lapis pertama, dan masih terus-menerus menjadi mangsa empuk iklan konsumerisme yang menggoda pada lapisan berikutnya? Di sinilah mungkin menjadi menarik untuk melihat lebih jauh dampak bencana aliran lumpur panas Lapindo ini pada kaum perempuan, terutama dalam irisannya dengan aktivitas ekonomi untuk menggerakkan roda ekonomi keluarga. Selama ini perhatian publik lebih tersedot kepada kerugian material berupa hilangnya aset material warga korban (rumah/harta, tanah, dan pekerjaan). Bagaimanakah nasib perempuan korban bencana aliran lumpur panas Lapindo? Bagaimana ekonomi keluarga mereka? Apa saja yang hilang tak tercatat? Bagaimana mereka bertahan? Seperti apa mereka punya cara? Adakah negara berperan? Tulisan ini akan difokuskan pada dan dipersembahkan untuk mereka itulah.
Selain orang yang meninggal, aset, fabrik, sekolah, dan kampung yang tenggelam, di bidang ekonomi riil dampak bencana ini tak kurang dahsyatnya. Dampak bencana di bidang transportasi sangatlah nyata berupa rusaknya Jalan tol Surabaya-Gempol. Sebelum bencana jalur tol ini dilalui oleh sekira 20.000—30.000 kendaraan bermotor per hari, termasuk di antaranya 3.000 truck kontainer. Kerusakan tol ini menyebabkan jarak tempuh menjadi lebih lama. Sebagai contoh, sebelum bencana jarak tempuh sebuah truck dari Surabaya ke Probolinggo adalah 4 jam, dan sekarang menjadi dua setengah kali lipat, menjadi 10 jam. Tambahan waktu ini diperkirakan meningkatkan biaya transportasi sebanyak Rp 600.000 rupiah per kontainer. Secara keseluruhan diperkirakan peningkatan biaya transportasi yang terjadi akibat bencana mencapai 30%, bahkan sampai pada angka 50—60%. Dalam hitungan ekonomi yang lebih pasti, diperkirakan kerugian yang terjadi dalam sektor bisnis sampai pada bulan Agustus tahun 2007 saja mencapai Rp. 28.3 triliun, yang menyakup Rp 8.3 triliun kerugian karena kerusakan infrastruktur, Rp. 5.8 triliun kerugian karena hilangnya produksi Kabupaten Sidoarjo, dan Rp. 14.2 triliun kerugian secara tidak langsung akibat terganggunya aktivitas ekonomi di Provinsi Jawa Timur, termasuk di antaranya pada sektor makanan, transportasi, dan industri kulit.
Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sidoarjo menurun dari angka 6.7% pada tahun 2005 (sebelum bencana) menjadi hanya 4.6% pada tahun 2006 (sesudah bencana). Lebih luas, bahkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Malang yang terletak di dekat Kabupaten Sidoarjo juga mengalamai gangguan akibat bencana lumpur ini. Pada tahun 2005 (sebelum bencana) tercatat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Malang sebesar 7.2%, dan menurun menjadi hanya 5.3% pada tahun 2006 (sesudah bencana).
Bagaimana kerugian ekonomi beroperasi di tingkatan yang lebih kecil dapat dilihat pada industri tas di Desa Kedensari, Kecamatan Tanggulangin. Begitu tol Surabaya-Gempol runtuh, maka industri tas inipun ikut limbung. Pendapatan salah satu toko menurun drastis dari angka sekira 100 juta rupiah per bulan sebelum bencana lumpur, menjadi hanya sekira 30 juta rupiah sebulan setelah bencana lumpur, itupun dengan susah payah. Atau koperasi Industri Tas dan Koper (INTAKO), yang merupakan gabungan sebanyak 400 perajin tas dan koper, mengalami penurunan omzet yang sangat drastis. Sebelum lumpur, koperasi yang berdiri pada tahun 1976 ini, menangguk Rp 10—15 juta per hari, dan setelah lumpur menjadi sangat susah hanya untuk mendapatkan omzet sebesar Rp. 5 juta per hari. Kondisi perekonomian seperti di atas dirangkum pada tabel 1
Tabel 1: Kondisi beberapa indikator perekonomian di Porong dan sekitarnya.
Indikator ekonomi | Kerugian |
Peningkatan biaya transportasi | Naik hingga 30%, bahkan ada yang mencapai 50?60% |
Perkiraan di sektor bisnis | Mencapai Rp. 28.3 triliun pada bulan Agustus 2007 |
Indikator ekonomi | Sebelum bencana | Sesudah bencana |
Densitas jalan tol Gempol?Surabaya per hari | 20.000?30.000 kenderaan bermotor (3.000 diantaranya truck kontainer) | Putus total |
Jarak tempuh truck kontainer Surabaya?Probolinggo | 4 jam | 10 jam (menyebabkan naiknya biaya operasional Rp. 600.000,- per truck) |
Pertumbuhan ekonomi tahunan Kabupaten Sidoarjo | 6.7 % (2005) | 4.6 % (2006) |
Pertumbuhan ekonomi tahunan Kabupaten Malang | 7.2 % (2005) | 5.3 % (2006) |
Pendapatan per bulan salah satu toko tas di Desa Kedensari | 100 juta rupiah | 30 juta rupiah (sebulan setelah bencana) |
Omzet INTAKO per hari | 10?15 juta rupiah | 5 juta rupiah |
Diolah dari pelbagai sumber
Ketika kita menampilkan statistika seperti di atas, seringkali kita terjebak pada angka dan lupa tentang apa yang ada di balik angka. Sebenarnya, pertumbuhan perekonomian suatu daerah atau negara, ditopang oleh satuan geografis yang lebih kecil lagi. Katakanlah dalam kasus dampak bencana aliran lumpur panas Lapindo terhadap perekonomian Kabupaten Sidoarjo, kita seringkali terjebak pada konteks Kabupaten Sidoarjo dan melupakan bahwa Kabupaten Sidoarjo itu tersusun atas Kecamatan Porong, Kecamatan Tanggulangin, dan seterusnya. Poinnya, maju dan mundurnya perekonomian Kabupaten Sidoarjo, sepenuhnya tergantung pada maju dan mundurnya perekonomian Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan seterusnya. Lebih jauh, satuan geografis tersebut mengerucut hingga ke tingkat desa, keluarga, dan individu. Di sinilah kita bisa melihat posisi penting perempuan, karena dengan alur logika seperti ini, perempuan menemukan tempatnya sebagai salah satu unit terkecil dalam masyarakat. Asumsinya, apabila unit terkecil ini berada dalam posisi tidak bagus secara ekonomi, maka ke atas, bangunan ekonomi yang lebih besar bisa jadi jauh lebih buruk. Akan semakin parah kalau setiap kali kita naik menapaki jenjang piramida ekonomi ke wilayah yang lebih tinggi, maka di setiap tahap pula kita menemukan tabungan defisit.
Berdasarkan penelitian di tingkatan keluarga pada pertengahan tahun 2009 (tiga tahun setelah bencana) terhadap korban dari Desa Kedungbendo, maka didapatkan empat kesimpulan; 1)sangat banyak korban yang masih tinggal di rumah-rumah kontrakan; 2)ada beberapa keluarga yang tinggal bersama dalam satu rumah untuk menghemat anggaran kontrak rumah, mengingat uang kontrak dari PT Minarak Lapindo Jaya (PT MLJ), kasir PT Lapindo Brantas Inc., (PT LBI), beberapa di antaranya sudah habis pada bulan Juli tahun 2008, sementara pembayaran uang ganti rugi 80% untuk kelompok cash and carry masih belum dibayar; 3)adanya beban yang makin berat pada pihak perempuan akibat bencana aliran lumpur panas Lapindo; dan 4)timbulnya ketegangan baru dalam hubungan intergenerasi pada keluarga korban.
Dalam wilayah relasi gender pembebanan ganda pada perempuan tereksperesikan misalnya pada meningkatnya secara konsisten angka perceraian dengan nama perempuan/istri yang terdaftar di pengadilan agama Sidoarjo dalam 4 tahun terakhir, dan pada akhirnya mencapai puncaknya pada tahun 2008 dengan perbedaan antara rasio terdaftar laki-laki dan rasio terdaftar perempuan mencapai hampir 2 kali lipat. Dengan demikian banyak perempuan yang menjadi single parent.
Bagi mereka yang tetap setia dengan ikatan perkawinannya, masalah tak kurang rumitnya karena juga mengalami pembebanan yang meningkat. Upaya menuntut ganti rugi adalah proses yang panjang. Lebih tiga tahun sejak bencana terjadi pertama kali pada bulan Mei tahun 2006, sampai sekarang masih banyak korban yang masih berjuang untuk memperoleh haknya. Misalnya saja dalam kelompok Gerakan Korban Lapindo Pendukung Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 (GEPPRES). Kelompok GEPPRES muncul sebagai reaksi atas pembusukan yang terjadi pada kalangan elit Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL). Kalangan elit GKLL semakin lama semakin rapat dengan pihak PT MLJ, maka terjadilah fragmentasi gerakan yang menghasilkan Tim 16 dari Perumtas dan GEPPRES. Pada awalnya anggota GEPPRES sangat banyak. Para anggota adalah mereka yang berpegang teguh kepada hukum, yaitu Perpres No 14 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa satu-satunya skema pembayaran ganti rugi aset warga adalah cash and carry 20% dan 80%. Kaum laki-laki yang tadinya adalah tulang punggung ekonomi keluarga, pasca terjadinya bencana, tersedot ke wilayah gerakan memperjuangkan hak atas ganti rugi aset mereka. Akibatnya, mau tak mau banyak kaum perempuan yang mengambil alih peran tulang punggung ekonomi keluarga.
Celakanya, peningkatan peran perempuan dalam hal ekonomi keluarga ini tidak diimbangi oleh peningkatan peran mereka dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, misalnya uang kompensasi dibelanjakan untuk kebutuhan apa seringkali sepenuhnya diputuskan oleh suami. Yang lebih ekstrim lagi, karena rekening bank yang menjadi alamat tujuan pembayaran uang kompensasi atas nama laki-laki, maka ada kasus dimana pihak laki-laki membawa kabur uang ganti rugi 20% dan menjalin hubungan dengan perempuan lain , setidaknya ini dialami oleh Bu Setia (bukan nama sebenarnya).
Bu Setia tadinya adalah warga Desa Kedungbendo. Setelah bencana lumpur, mereka sekeluarga mengontrak rumah di daerah Kejapanan. Rumah kontrakan ini dipilih karena dekat dengan lokasi sekolah Selfi, sang anak yang masih duduk di kelas satu SMU. Begitu mendapatkan uang ganti rugi sebesar 20%, suami Bu Setia pergi meninggalkan keluarga dan membawa lari uang ganti rugi. Pada bulan Maret tahun 2009 kontrakan rumah mereka habis, dan karena ketiadaan uang, Bu Setia tidak punya pilihan lagi kecuali pindah menumpang ke rumah yang salah satu keluarga dekatnya.
Dalam banyak kasus di tingkatan individu, perempuan ternyata memiliki kemampuan yang lebih baik dalam adaptasi dengan lingkungan yang baru dibandingkan kaum laki-laki. Perempuan lebih cepat menyatu dengan institusi sosial seperti PKK dan pengajian yang ada di tempat baru. Institusi sosial menjadi hal yang penting, karena adakalanya institusi sosial seperti PKK bukanlah sekedar institusi sosial, tetapi merupakan tempat warga meminjam uang. Dengan terjadinya bencana aliran lumpur panas Lapindo, maka institusi sosial berantakan dan dengan demikian hilang juga fungsinya sebagai lembaga tempat meminjam uang. Dampak lebih jauh, ada warga yang, karena tidak memiliki tempat meminjam uang untuk memulai usaha, kemudian secara permanen terjerat ke dalam perangkap rentenir, seperti pengalaman Bu Mukana (juga nama samaran).
Bu Mukana adalah warga Desa Jatirejo yang telah tenggelam. Sekarang ia bekerja sebagai penjual makanan di pinggir rel kereta yang membujur di samping tanggul lumpur Lapindo. Sebelum bencana aliran lumpur panas, Bu Mukana bekerja sebagai penjual makanan di dekat stasiun kereta Porong. Dalam sehari penghasilan kotornya bisa mencapai Rp. 200.000, sementara suaminya bekerja sebagai pengumpul barang bekas.
Sebelum bencana lumpur, menurut Bu Mukana, ibu-ibu warga RT-nya meminjam uang di PKK. Kalau seseorang meminjam sebanyak Rp. 100.000,-, maka dia wajib mengembalikannya dengan cara menyicil. Cicilan sebanyak 10 kali dengan masing-masing besarnya Rp. 15.000 rupiah. Dari hasil akhir, sebanyak Rp. 25.000,- di antaranya dimasukkan ke dalam tabungan anggota PKK yang hanya bisa diambil pada waktu lebaran. Demikian seterusnya warga memutar hasil uang cicilan para peminjam dengan cara meminjamkannya lagi kepada warga lain yang membutuhkan.
Ketika bencana terjadi, warga yang pada saat itu tinggal di Pasar Baru Porong, karena didorong ketidakjelasan tempat tinggal yang baru dan desakan kebutuhan ekonomi, membagi-bagi uang kas PKK. Dengan demikian, tamatlah riwayat PKK Desa Jatirejo tersebut. Ada pun Bu Mukana, setelah selama empat bulan tinggal di lokasi pengungsian di Pasar Baru Porong, bersama keluarganya memutuskan mengontrak rumah di Kalitengah.
Di rumah baru di Kalitengah situasi menjadi lebih sulit karena tempat itu sangat jauh dari stasiun kereta Porong tempat Bu Mukana berjualan. Sementara itu sang suami, karena tinggal di perumahan baru, tidak boleh mengumpulkan barang bekas lagi. Lama-kelamaan, mungkin karena didera stress, akhirnya suami Bu Mukana meninggal karena sakit empedu (hati). “Suami saya meninggal karena sakit pedu. Menderita bathin,” katanya.
Sepeneniggal sang suami, karena merasa tidak nyaman tinggal di rumah di Kalitengah tersebut, meskipun rumah sudah dikontrak untuk waktu 2 tahun dan baru berjalan 15 bulan, akhirnya Bu Mukana memutuskan pindah ke Desa Beringin. Di sana ia tinggal selama 6 bulan. Pada masa 6 bulan di Desa Beringin, Bu Mukana sempat juga menumpang di salah satu rumah keluarganya di Kranggen. Dan pada akhirnya, karena ia butuh berjualan lagi di pinggir rel di sebelah barat tanggul, maka ia memutuskan untuk pindah ke Desa Jatirejo di sebelah barat jalan raya Porong, karena dari tempat baru itu jarak tempuh ke tempatnya berjualan jauh lebih dekat.
Meskipun dihantam secara beruntun oleh keadaan yang semakin sulit sejak bencana, Bu Mukana tidak pernah menyerah. Dalam hal memperjuangkan uang ganti rugi aset keluarganya, ketika para korban lumpur melakukan demonstrasi besar-besaran di Jakarta, karena harus berjualan dan tidak bisa ikut ke Jakarta, Bu Mukana memberikan uang sangu (belanja) bagi salah seorang anggota keluarganya yang berangkat ke Jakarta untuk memperjuangkan ganti rugi atas aset mereka yang merupakan warisan keluarga.
Selain itu, dari tempat yang baru, ia memulai lagi berjualan makanan kecil-kecilan di tepi rel. Warungnya sendiri adalah sebuah kedai beratapkan terpal, tiang-tiangnya terbuat dari bambu. Terpalnya banyak sobek di sana dan di sini. Luasnya hanya berukuran sekira 2 meter ke samping dan 1.8 meter ke atas. Sewaktu kereta lewat, suasana benar-benar berisik karena memang persis berada di tepi rel. Alat-alatnya berjualan adalah sebuah gerobag, kompor, dan kursi bambu. Di gerobag ada wadah tempat air panas, wadah-wadah yang lain berisi gorengan, nasi bungkus, dan minuman sasetan yang digantung berjejer di atas gerobag. Para pengunjung biasanya duduk di kursi bambu yang ditata mengelilingi gerobag. Setiap Rabu dan Sabtu ia membayar masing-masing Rp. 1.000 sebagai pajak warungnya kepada petugas pasar.
Bu Mukana, yang uang ganti rugi 80% aset keluarganya belum dibayar oleh PT MLJ sebesar Rp. 192.800.000,- ini, bercerita bahwa dalam sehari penghasilan kotornya bisa mencapai 150 ribu rupiah. Akan tetapi pada bulan puasa omzet itu menurun menjadi hanya tinggal sekitar separohnya, 80 ribu rupiah. “Wong-wonge pada puasa mas,” katanya.
Dengan penghasilan dari berjualan di tepi rel kereta itu, Bu Mukana menggerakkan perekonomian keluarganya. Selain untuk kebutuhan konsumsi keluarga, ia juga harus membiayai anaknya yang baru saja melanjutkan sekolah ke tingkat SMU di salah satu yayasan Ma’arif. Setiap hari untuk si anak ini ia mengeluarkan uang sebanyak Rp. 15.000,- yang meliputi keperluan: untuk kepentingan bayar ojek ke sekolah sebanyak Rp. 10.000,- (bolak-balik); bayar ongkos angkutan dari pangkalan ojek ke sekolah Rp 4.000,- (bolak-balik); dan untuk uang jajan sebanyak Rp. 1000,-.
Untuk menambah modal dagangannya ia meminjam ke rentenir, yang oleh warga disebut dengan bank titil (cuil). Disebut bank titil karena setiap pembayaran penagih datang dan memberikan secuil kertas berisi angka kepada nasabah/peminjam. Cuilan kertas tersebut berisi angka jumlah pembayaran. Kalau misalnya hari ini adalah pembayaran yang ke-5, maka di cuilan kertas tersebut tertulis angka 5.
Aturan peminjaman di bank titil tersebut tampaknya tidaklah susah. Hanya modal kepercayaan tanpa jaminan, akan tetapi dengan bunga yang sangat besar. Untuk peminjaman sebanyak Rp. 100.000 rupiah, menurut Bu Mukana ia harus menyicil sebanyak 26 kali dengan besar masing-masing cicilan sebanyak Rp. 5000,-. Artinya bunga pinjamannya sebesar 30%. Dan anehnya, meskipun peminjam akan menyelesaikan cicilannya untuk paket pinjaman Rp. 100.000,-, katakanlah pada cicilan yang ke-23, meskipun si nasabah tidak mau meminjam lagi, akan tetapi oleh petugas bank titil tidak boleh diakhiri. “Eman-eman Bu,” (maksudnya: sayang kalau fasilitas pinjaman tidak digunakan—BB), begitu kata petugas bank titil menurut Bu Mukana. Dan jadilah peminjam diberikan pinjaman baru, yang artinya setiap hari ia harus menyicil sebanyak Rp. 5.000,-. Atau dengan kata lain, sekali peminjam masuk skema meminjam di rentenir atau bank titil, maka akan sangat susah baginya untuk terbebas dari pinjaman.
Sepertinya sektor ekonomi (sebut saja) “super-mikro” memang menjadi wilayah rentenir. Terutama karena lembaga keuangan finansial seperti perbankan tidak sampai ke wilayah ini. Petugas PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Porong Idaman yang terletak di Desa Juwetkenongo misalnya, menyatakan bahwa jumlah terkecil pinjaman yang mereka berikan untuk kredit mikro adalah sebesar satu juta rupiah, itupun harus disertai jaminan. Ada dua mekanisme jaminan, pertama jaminan sertifikat yang dibuktikan dengan menyertakan fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Hak Milik (SHM) dan Surat Hak Guna (SHG) bangunan. Atau skema kedua dengan menyertakan jaminan berupa BKPB roda dua atau empat. Kebutuhan akan jaminan ini tampaknya membuat para peminjam super-mikro lebih senang berurusan dengan bank titil.
Di bidang pelayanan, BPR kalah jauh dari bank titil. Di BPR, nasabah akan berhadapan dengan pegawai yang birokratis dan wajah-wajah yang terlihat tidak begitu puas dengan capaian hidupnya, ataupun kalau ada senyum di sana, seringkali senyum para pegawai bank terlihat mekanis, seperti puisi yang dihafal, senyuman mereka terasa tawar. Beda halnya dengan petugas bank titil, mereka aktif menjemput bola, mendatangi secara rutin nasabahnya, dan tak jarang terjalin juga relasi personal yang kuat.
Hal lain yang membuat para korban bencana aliran lumpur panas Lapindo menjadi peminjam di bank titil adalah karena BPR tidak mau memberikan pinjaman kepada korban lumpur. Tentu saja ini adalah standar yang sangat baku di dalam dunia perbankan: peminjam harus memiliki penghasilan dan domisili yang tetap, dimana prasyarat ini berkebalikan dengan kondisi korban bencana aliran lumpur panas Lapindo yang, bahkan tiga tahun lebih setelah bencana, masih banyak yang tinggal di rumah-rumah kontrakan dan terus berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang baru dengan pekerjaan alakadarnya. Penolakan meminjam di BPR ini menimpa Bu Manisah (juga bukan nama asli).
Bu Manisah aslinya berasal dari Desa Kedung Solo. Suaminya dari Risen, jadi keluarga mereka terdaftar sebagai korban bencana lumpur dari Risen. Uang ganti rugi 20% mereka sebesar Rp 43 juta rupiah sudah dibayar. Uang itu mereka gunakan untuk menyicil tanah. Bu Manisah bekerja sebagai penjual es dan minuman botol dicelah sempit antara rel kereta dan jalan raya Porong. Sebagai contoh ia berjualan es rumput laut. Ia membutuhkan bahan-bahan seperti kolang-kaling, dawet, nenas, rumput laut, dan roti. Satu stoples kolang-kaling ia beli dengan harga 4.000 rupiah, satu stoples nenas 2.000 rupiah, 1 stoples rumput laut 2.000 rupiah, dan 1 stoples roti 1.500 rupiah. Ditambah es dan sedikit susu kental, maka semua bahan di atas bisa menjadi sekira 40 mangkok es rumput laut, dengan harga satu mangkoknya 3.000 rupiah. Dalam satu hari kalau lagi ramai ia bisa mendapatkan penghasilan kotor 100 ribu rupiah, dan kalau sepi sekira 50 ribu rupiah.
Sementara itu, suaminya bekerja sebagai penjual air minum keliling dengan penghasilan antara 15—25 ribu rupiah per hari. Dari penghasilan gabunganlah mereka menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Membiayai 2 orang anak yang masih sekolah SMP dengan uang sangu sebesar Rp. 10.000 per anak per hari dan untuk konsumsi mereka sekeluarga sebesar Rp. 30.000 per hari.
Bu Manisah pernah berniat meminjam uang di BPR, tetapi tidak diperkenankan oleh petugas, meskipun ia memiliki surat-surat kenderaan bermotor. Dan akhirnya ia meminjam di bank titil untuk menambah modal usahanya. Ia menjadi peminjam di bank titil dengan jaminan Bu Mukana. Menurut Bu Mukana dia menjadi jaminan bagi pinjaman untuk Bu Manisah karena petugas bank titil tidak terlalu percaya dengan Bu Manisah. Dengan adanya pernyataan dari Bu Mukana bahwa ia mengenal Bu Manisah, maka petugas bank titil mau memberikan pinjaman kepada Bu Manisah. Dari hasil pinjaman dari bank titil itulah ia kemudian melengkapi warung kecilnya.
Dari kedua kasus di atas, tampaknya ada hal yang tidak pas. Rasanya kita butuh secara hati-hati meninjau ulang stereotype jelek tentang rentenir yang berkembang di kalangan masyarakat, dan lebih khusus lagi di kalangan terpelajar. Karena, betapapun jeleknya mereka, katakanlah karena bunga pinjaman yang besar misalnya, pada dasarnya justru rentenir yang menambal lobang yang ditinggalkan oleh lembaga finansial formal seperti perbankan. Secara teoritis, kalau kita percaya bahwa perilaku pelaku ekonomi dikendalikan oleh nalar agen sebagai homo economicus yang penuh kalkulasi, maka siapa yang bertahan berati dia dibutuhkan oleh sistem. Demikian juga dengan rentenir, karena sampai sekarang ia bertahan, maka seseorang harus menyimpulkan bahwa kehadirannya dibutuhkan dalam masyarakat.
Selain fakta nyata bahwa kehadiran mereka dibutuhkan di dalam masyarakat, tampaknya di pihak rentenir sendiri ada perbedaan pendapat tentang profesi mereka ini. Ada yang sama sekali tidak merasa bahwa mereka sedang melakukan suatu kejahatan karena adanya hubungan yang eksploitatif lewat skema pinjaman dengan bunga besar dan kesulitan bagi para nasabah untuk melepaskan diri dari jaringan peminjaman jenis ini dan ada juga yang merasa citra dirinya jelek sebagai penghisap keringat orang, dan karenanya perlu diperbaiki. Sayang sekali, sampai pada waktu menulis tulisan ini, saya belum dapat kesempatan untuk berbincang-bincang dengan salah seorang rentenir, karena itu saya akan memakai informasi pembanding saja.
Kasus terjerat dalam jejaring rentenir juga terjadi di komunitas Rakyat Miskin Kota (RMK) . Dalam kasus rentenir di komunitas RMK, salah seorang rentenir merasa tidak ada masalah pada pekerjaannya, sama saja dengan pekerjaan yang lain. Hal ini bertolak belakang dengan rentenir di komunitas Bantul yang sangat terbebani dengan streotype penghisap yang disematkan kepada mereka. Hingga kadang-kadang mereka melakukan aktivitas sosial seperti berderma kepada seseorang yang sedang mengalami kemalangan sebagai upaya membangun citra diri rentenir. Tentu saja berderma boleh-boleh saja, tetapi sebagai rentenir motivasi utama mereka tentu saja tetap keuntungan ekonomi. Semua pengeluaran berdermanya dengan sangat cerdik sudah dikalkulasi untung ruginya, karena pada dasarnya mereka berdermapun untuk kepentingan usaha rentenirnya.
Dan uniknya, untuk kasus RMK Jakarta, penagih lapangan juga adalah bagian yang terjebak berhutang terus-menerus kepada juragan mereka. Kasus ini bisa terjadi karena rentenir di Jakarta memiliki juragan. Mereka yang mendatangi para nasabah secara kontinu tiap hari dengan membawa buku catatan kecil dan kertas cuilan adalah pekerja. Di balik yang terlihat di lapangan ada juragan besar yang menjadi big boss. Tentang big boss dan rentenir ini ada fakta yang menarik, untuk kasus rentenir di komunitas RMK Jakarta, maka sang big boss adalah seorang perempuan. Hal ini tampaknya ada hubungannya dengan perspektif psikologis pada masyarakat Jawa bahwa perempuan lebih mampu mengelola uang dibandingkan dengan laki-laki. Sebab model ini juga ditemukan dalam kasus rentenir di komunitas Bantul. Dari 11 orang rentenir di komunitas Bantul, tercatat hanya 2 orang (18.2%) diantaranya laki-laki, selebihnya sebanyak 9 orang (81.8%) adalah perempuan.
Di masyarakat yang lebih luas, streotype yang buruk tentang rentenir tampaknya memang sudah mengakar. Ini bisa dilihat dari bagaimana orang sering juga menyebut rentenir dengan sebutan “lintah darat”. Lintah adalah binatang yang hidup di air dan menghisap darah korbannya. Penyebutan seperti ini, mau tak mau menghantarkan kita pada persepsi bahwa rentenir memiliki fungsi yang kurang lebih sama dengan lintah: menghisap darah nasabahnya. Bedanya: lintah di dalam air sedangkan rentenir di darat.
Apakah para nasabah atau korban tidak merasa malu atau marah dengan hubungan yang eksploitatif ini? Barangkali cerita tentang Bu Mukana bisa memberikan penjelasan. Ketika saya sedang ngobrol di warung Beliau dan bertanya ini dan itu, dalam sebuah kesempatan Bu Mukana menyatakan bahwa ia sudah tidak meminjam lagi kepada bank titil. Karena pada kesempatan sebelumnya ia mengatakan bahwa setiap kali ia mau mengakhiri pinjamannya tetapi selalu saja diberikan pinjaman baru, saya menjadi sangat tertarik dengan informasi dari Beliau ini. Bagaimana caranya?
Selanjutnya saya bertanya bagaimana cara dia melepaskan diri dari berhutang kepada bank titil. Bu Mukana mengatakan bahwa ia mengakhiri meminjam di bank titil dengan cara mencarikan satu orang nasabah peminjam baru. Setelah ia mendapatkan calon peminjam baru, maka ia bisa mengakhiri pinjamannya sendiri. Itu yang dia katakan, akan tetapi ketika saya akan meninggalkan warungnya, di luar dugaan saya dan barangkali juga di luar dugaannya, penagih bank titil datang ke warung tersebut untuk menagih angsuran harian. Tentu saja, karena tidak mungkin saya tanyakan, saya tak punya pilihan lain kecuali menginterpretasi bahwa sebenarnya Bu Mukana belum terlepas dari berhutang di bank titil, akan tetapi karena malu atau mungkin sebenarnya ia tidak senang berurusan dengan bank titil, maka ia mengatakan bahwa ia sudah tidak berhutang lagi kepada bank titil. Atau kalau mau dilanjutkan, sebenarnya ia ingin lepas dari perangkap bank titil.
Terakhir, saya tidak punya cara lain lagi untuk mengunci tulisan ini kecuali mengembalikan lagi pembahasan ke persoalan dilema personal seperti pada bagian awal. Tentu saja tulisan ini sama sekali tidaklah hendak, atau ingin dicap, menyeret-nyeret siapapun ke dalam dilema atau terjebak pada rasa frustrasi berkepanjangan karena melihat semuanya itu dengan nada pesimis. Karena itu, apapun ceritanya optimisme harus dibangun. Kehadiran rentenir, kehadiran pedagang kecil seperti Bu Mukana dan Bu Manisah yang terjebak berhutang pada rentenir dengan bunga tinggi, bolehlah dibaca sebaliknya sebagai siasat ekonomi kaum kecil dalam menghadapi masa krisis, terutama karena ketidakmampuan lembaga perbankan menjangkau sektor ini.
Lebih jauh, ada hal mendasar, ini menjadi bukti yang sangat bagus tentang buruknya peran negara di bidang pelayanan bagi warga. Karena, meskipun rentenir menarik bunga tinggi, tetapi warga masih saja mengambil kredit pada rentenir. Terutama karena satu dan lain hal yang menyebabkan mereka tidak bisa mengakses pinjaman di lembaga keuangan seperti perbankan. Pada titik pelayanan terhadap kredit super-mikro ini, negara bukan saja telah mengalami disfungsi seperti pada kasus penanganan bencana aliran lumpur panas Lapindo secara keseluruhan, tetapi juga ia lebih buruk dari rentenir.
Rentenir, meskipun menghisap nasabahnya melalui hubungan yang eksploitatif dengan bunga yang tinggi, masih memercayai mereka untuk meminjamkan uang. Negara menghisap rakyatnya melalui pajak (misalnya pajak tanah) dan kebijakan ekonomi yang menyediakan “efek menguap ke atas” (steam-up effect) akan tetapi dibumbui dengan gombal bahwa kebijakan ekonomi tersebut akan memberikan “efek menetes ke bawah” (trickle-down effect). Dan kemudian bank pemerintah tidak mampu melayani kebutuhan kredit rakyat, atau sebenarnya bank pemerintah mampu memberikan kredit, tetapi mereka tidak percaya kepada rakyat.
Dan bagi kita, dari korban kita mendapatkan energi untuk terus memelihara harapan, karena ketiadaan harapan jauh lebih buruk daripada ketiadaan uang sekalipun. Begitulah.