Somba Opu, salah satu warisan sejarah terbesar Bugis-Makassar terancam keberadaannya. Bangunan seluas 1500 hektar ini kini sedang dalam proses pemugaran. Truk-truk besar, traktor hilir mudik di sekitar situs Somba Opu. Kendaraan-kendaraan besar ini digunakan untuk meratakan tanah dan menyusun lahan untuk pembangunan wisata. Bahkan, saat Desantara berkunjung ke situs ini, beberapa areal sudah diratakan dengan tanah. Truk-truk berjejer tanda proyek sudah mulai. Beberapa areal bahkan sudah dipagari tanda adanya kesibukan dan larangan masyarakat umum memasuki areal ini. Kurungan-kurungan berbentuk setengah bulat telur sudah dipasang. Menurut staff proyek yang ditemui Desantara di lapangan, kurungan ini untuk burung-burung penghias GDP (Gowa Discovery Park). Tidak luput disekitar proyek dibentangkan spanduk-spanduk provokatif. Rupa-rupa isinya meliputi, ajakan kepada masyarakat untuk tidak terprovokasi ikut menolak proyek pembangunan, kesetujuaan masyarakat setempat, dan seterusnya. Spanduk ini ditujukan untuk melawan berbagai sikap perlawanan yang akhir-akhir ini muncul atas rencana pembangunan GDP.
Sesuai rencana, pembongkaran situs Somba Opu sebagai sarana hiburan modern bernama GDP ini, didalamnya meliputi waterboom, patung gajah, dan sarana penunjang lain. Lahan ini akan menjadi sarana hiburan berikutnya setelahnya munculnya transstudio di Makassar. Zaenal Tayyeb pengusaha pribumi keturunan Bugis Makassar ditunjuk sebagai investornya Beberapa sumber terdekat menyatakan proyek ini menghabiskan dana sekitar 20 milyar, dan membutuhkan lahan 17 hektar.
Maksud Pemerintah Daerah/Propinsi memanfaatkan areal benteng Somba Opu ini supaya tidak dibiarkan telantar. Karena faktanya, Dinas Pariwisata seperti menutup mata atas keberadaan situs bersejarah ini. Selama bertahun-tahun areal ini tidak terurus, sampai akhirnya sebagian lahan dimanfaatkan warga untuk menanam rumput hias yang bisa dijual ke pasar.
Namun, khawatir atas kian rusaknya warisan bersejarah ini, sebagian masyarakat menyatakan ketidaksetujuannya. Aktivis mahasiswa, peneliti, arkeolog menyatakan prihatin atas pembangunan yang serampangan terhadap situs Somba Opu. Menurut Karim, Direktur Lembaga LAPAR Makassar, pembangunan waterboom Somba Opu merupakan bukti ketidakpedulian pemerintah atas warisan budaya di Makassar. M.Nawir, salah satu koordinator KPRM (Komite Pembebasan Rakyat Miskin) Makassar justru menyatakan ketidaksetujuannya pembangunan waterboom ini. Selain proyek ini hanya ditujukan mengeruk keuntungan dan tidak beraspek edukatif, kegiatan di atas situs Somba Opu dikhawatirkan merusak keaslian situs.
Suwardi, salah satu peserta Sekolah Pelatihan Riset dan Menulis Etnografi Desantara-Lapar, mepaparkan hasil temuan sementara. Menurutnya, dari awal proses pemugaran benteng Somba Opu tidak partisipatif. Mardi bahkan menggambarkan bagaimana masyarakat sekitar tidak diajak diskusi. Mereka sekedar dimobilisasi melalui rapat-rapat RT/RW. “Tidak semua masyarakat diundang, bahkan permohonan tanda tangan untuk meminta kesetujuan masyarakat cuma dijajakan di trotoar jalan raya”. Saya menduga rencana ini melanggar RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah kota/wilayah Propinsi. Oleh karena itu, saya akan terus telusuri sejauhmana dan melalui proses seperti apa pembangunan waterboom di atas situs Somba Opu ini dilakukan.
Ruth Indiah Rahayu menyesali tindakan pemerintah ini. Menurutnya, rencana pemugaran ini sama artinya dengan menghapus ingatan kolektif atas sejarah masa lalu Makassar. Cara seperti ini tidak beda dengan Orde Baru, berusaha menghapus sejarah masa lalu demi membangun masa depan dari perspektif pemerintah. Masyarakat jadi amnesia, bukti paling parah terjadinya amnesia kolektif adalah terciptanya massa mengambang (floating mass). Kemampuan bangsa ini belajar dari sejarahnya dihilangkan. Padahal, hanya bangsa yang besar yang bisa menghargai sejarahnya, papar peneliti pada Institute Kajian Krisis dan Studi Pembangunan Alternatif yang juga menjadi salah satu fasilitator Sekolah Pelatihan Menulis dan Riset Etnografi Desantara-Lapar, Makassar.
Muhammad Nurkhoiron, direktur Desantara Foundation malah menyimpulkan cara seperti ini jauh lebih vandalis dan anarkis dibandingkan dengan demo-demo mahasiswa yang marak dan berujung kekerasan akhir-akhir ini di Makassar. Apa yang disampaikan direktur Desantara ini tidak berlebihan. Sampai hari ini, pemugaran gedung-gedung bersejarah marak terjadi. Sebagai akibat dari percepatan pembangunan, kota Makassar terus bersolek. Sayangnya, pembangunan untuk memenuhi perubahan ini tidak lagi memperhatikan aspek arsitektural kota lama. Pemugaran bangunan kuno dilakukan semena-mena. Gereja-gereja tua, gedung-gedung kuno peninggalan kolonial dipugar tanpa menyisakan keasliannya. “Siapapun boleh prihatin atas maraknya kekerasan dalam demonstrasi mahasiswa, tapi harusnya yang jauh lebih diprihatinkan dan dikutuk adalah pembangunan yang serampangan, tidak partisipatif dan berusaha menghapus warisan sejarah masa lalu. Jangan-jangan anarkisme mahasiswa adalah imbas dari pembangunan kota yang anarkis dan vandalis seperti ini, paparnya saat diskusi di kantor Lapar Makassar. (Desantara)
Makassar, 28, Desember 2010