Fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) kini sudah memakan tumbal yang tak terhitung jumlahnya. Tak hanya kelompok sempalan dalam tubuh Islam, komunitas adat yang memiliki sistem keyakinan tersendiri pun tak luput jadi korban. Kasus Madi adalah contoh paling nyata. Seorang penganjur agama Kaili dan guru silat biasa dari komunitas Salena itu mati diberondong peluru polisi Detasemen Khusus 88 Antiteror lantaran ajarannya difatwa sesat.
Dalam konteks ini, sebuah fatwa bukan lagi sekadar produk opini kelompok tertentu yang berpretensi mencari kebenaran, tapi lebih jauh lagi ia menjadi hakim atas serangkain perbedaan dan menjadi pembenar bagi kepentingan tertentu.
Ketika fatwa sesat bertemu dengan para milisi masyarakat, maka ia akan menjadi pengabsah tindak kekerasan. Ketika bersinggungan dengan negara, ia menjadi dalil untuk pemungkiran terhadap hak kebebasan beragama atau berkeyakinan warganya. Ketika beririsan dengan kepentingan modal, maka ia menjadi pemulus para konglemerat.
Ingat, sebelum Madi meregang nyawa, ada rencana pengambilalihan air oleh PDAM dan rencana masuknya investor untuk olah tambang marmer di wilayah adat Salena.