Melepas stigma memang bukan urusan gampang, apalagi itu diproduksi dan direproduksi oleh tangan “gelap” subuah rezim kekuasaan.
Dalam lembaran teori, stigma diperlihatkan sebagai sesuatu yang melampaui fakta. Artinya, ia sudah meninggalkan fakta asalinya dan bergerak membangun realitasnya sendiri –sebuah realitas “semu” yang dikesankan seolah-olah menjadi realitas nyata. Dan di balik itu, ia menciptakan nilai kebenarannya sendiri agar eksistensinya tak tersentuh untuk menjamin kelanggengannya.
Selain itu, stigma memang tak pernah menyediakan ruang klarifikasi. Nilai fakta empirik menjadi tak penting lagi, karena yang dimainkan adalah simbol dan citra, negatif. Itu sebabnya, kenapa sebuah stigma memiliki kekuatan supra-dahsyat, yang sulit dihilangkan.
Mungkin penjelasan mengenai stigma di atas masih hambar, karena hanya mengawang-ngawang di level teoritis, tapi coba tanyakan saja kepada para eks tahanan politik 1965 (eks tapol ’65) di Sulawesi Tengah yang merasakan langsung bagaimana hebatnya belitan stigma itu. Susah-payah mereka melepasnya hingga di usianya yang tua, tapi banyak yang sia-sia.
Nasib para eks tapol ’65 ini benar-benar tragis. Sudah mengalami berbagai siksaan dan pemaksaan selama di penjara, ketika keluar pun masih harus menghadapi stigma negatif dari masyarakat di kehidupan keseharian mereka saat ini. Padahal menurut data yang ada, kebanyakan dari mereka adalah korban salah tangkap dari kebringasan penguasa saat itu. Tapi lagi-lagi, stigma memang tak mengenal dan menyediakan ruang klarifikasi.