Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi satu. Harusnya, motto ini bermakna bahwa kita boleh beda, dan memang beda itu perlu, tapi jangan baku hantam, tetap damai. Dalam prakteknya di Indonesia, perbedaan-perbedaan itu digiring untuk dilebur ke dalam proyek persatuan. Misalnya disebutkan dalam pasal 32, UUD 1945, “…usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan”.
Selain persatuan identik dengan penyeragaman, usaha persatuan sering dilakukan dengan paksa. Misalnya, jika di masa Orde Baru, etnis Cina dilebur supaya berganti nama, jika perlu berganti agama. Kini diskriminasi itu masih terjadi, lantaran etnis Cina bukan dianggap warga negara asli.
Di bidang agama, aliranaliran kepercayaan sering dicurigai karena dianggap aliran sesat. Oleh karena itu, aliran ini kerap dianjurkan untuk memeluk agama resmi. Jadilah perbedaan-perbedaan dengan seluruh dinamikannya, apakah itu sebentuk agama/ aliran keyakinan, etnis, ras, tidak pernah dipandang sebagai kekayaan.
Hak warga negara untuk mengekspresikan identitasnya secara beda terhalang oleh semangat penyeragaman ini. Masalahnya, bukan saja negara, masyarakat di Indonesia lebih suka berkomunikasi secara monolog, bukan dialog. Karena, dalam dialog itu diperlukan prasarat mendengar, berbagi dan bersedia menerima (termasuk menerima perbedaan perbedaan). Kita belum ke arah
sana.