Pendahuluan. Akhir 2003, di Indonesia, para akademisi marak membicarakan teori yang disebut dengan Multikulturalisme. Perbincangan tentang hal tersebut hampir mirip dengan kemunculan Postmodernisme di medio 1994 yang dengan cepat menyebar ke berbagai ranah intelektual. Namun demikian, pembicaraan tentang Multikulturalisme tidaklah segegap gempita seperti halnya Postmodernisme dibicarakan. Kenapa demikian?
Kalau penulis tidak salah ingat, buku karangan Will Kymlicka-lah yang memicu popularitas tema Multikulturalisme dalam kancah akademik setelah wacana Postkolonial menjadi tren dalam diskusi-diskusi intelektual sebelumnya. Buku itu berjudul Multicultural Citizenship (Oxford, 1995) yang diterjemahkan oleh penerbit LP3ES pada tahun 2002 sebagai Kewargaan Multikultural. Isi buku ini bila disampaikan secara ringkas berisi suatu tesis bahwa tradisi liberal akan dapat memperjuangkan hak-hak minoritas, seperti halnya memperjuangkan budaya non-dominan.
Dalam kaitannya dengan pertanyaan sebelumnya, wacana Multikulturalisme tidak menjadi begitu “wah” karena sifat dari wacana ini yang dianggap dekat dengan paham liberal dan kepercayaan diri orang Indonesia bahwa Multikulturalisme itu tidak diperlukan secara praktis karena “kita” memang sudah menjalankan Multikultural sejak lama. Hal inilah yang mungkin jadi penyebab kenapa Multikulturalisme tidak begitu pesat perkembangan wacananya semenjak populer di tahun 2003.
Namun demikian, akhir-akhir ini, wacana Multikulturalisme ternyata mulai mendapatkan tempat kembali dengan masuknya wacana tersebut dalam kurikulum akademik di banyak perguruan tinggi Indonesia. Ada kebutuhan yang cukup kuat mengenai pemahaman wacana Multikulturalisme secara lebih baik. Dalam kerangka pembicaraan yang terakhir inilah tulisan ini dibuat. Bahwa apa yang disebut dengan Multikulturalisme perlu dipahami secara lebih baik lagi, terlepas dari apakah teori itu bersifat liberal ataupun tidak. Ini karena masyarakat dunia dan masyarakat Indonesia ternyata mengalami masalah yang sama. Seperti apakah masalahnya itu?
Eropasentrisme, Monokultural, dan Multikultural
Apa yang dihadapi dunia semenjak masalah kolonialisme “selesai” di pertengahan abad XX yaitu adalah proses pembentukan jati diri bangsa. Sebab, sebagian besar bangsa-bangsa yang ada di dunia pernah
mengalami fase penjajahan oleh bangsa Eropa. Dalam prosesnya ini, ada banyak kendala yang dihadapi. Salah satunya adalah perasaan inferioritas bangsa terjajah atas bangsa Eropa karena mereka harus mengalami kalah perang, lemah dalam ilmu dan teknologi, serta masih merasa menjadi “budak”.
Ini semakin diperparah ketika bangsa-bangsa Eropa unggul secara intelektual. Seluruh wilayah pengetahuan yang kita pakai, kembangkan, dan terapkan adalah berbasis pada kebudayaan Eropa. Sehingga, tidak salah bila banyak orang lalu menyebut akhir abad XX sebagai fase penjajahan kultural. Eropa kembali “menjajah” bangsa lain melalui apa yang disebut Eropasentrisme. Ini dapat diartikan secara sederhana sebagai: kebenaran ilmiah itu adalah Barat (Eropa).
Eropasentrisme akhirnya mencoba untuk melahirkan pula apa yang disebut dengan Monokultural. Bahwa, budaya dunia adalah budaya Eropa.
Kenyataan serupa ini lalu menjadi sorotan penting dalam figur-figur bangsa terjajah yang menjadi besar secara intelektual dalam situasi akademik Eropa.
Mereka menjadi gerah atas kenyataan bahwa ternyata Eropa adalah pusat kebudayaan dunia. Ada anggapan bahwa budaya-budaya lain hanya patut menghiasi museum dan menjadi objek tontonan maupun kajian laiknya di kebun binatang seperti diwacanakan dalam ilmu antropologi.
Perasaan-perasaan seperti inilah yang memunculkan benih-benih kajian Postkolonialisme dan juga Multikulturalisme. Walaupun demikian, pekerjaan rumah Postkolonialisme dan Multikulturalisme tidak selesai dengan hanya bereaksi atas Eropasentrisme. Sebab, kedua teori ini memiliki fondasi pula pada wacana yang Eropasentris, yaitu Liberalisme, Cultural Studies, maupun Postmodernisme itu sendiri.
Pun sebenarnya teori Multikulturalisme memiliki sederet masalah dalam kaitannya dengan wacana yang hendak dilingkupinya. Dalam bagian selanjutnya, hal inilah yang akan menjadi bahasan penulis.
Masalah-masalah di Seputar Teori Multikulturalisme
Ada banyak masalah yang menjadi bagian dari kajian Multikulturalisme. Di antara banyak masalah tersebut, yang terpenting adalah problem lokalitas vs globalisasi, homogenitas vs heterogenitas, Kapitalisme, dan juga masalah toleransi.
Lokalitas selalu menjadi sorotan Multikulturalisme karena ia tidak dipisahkan dari problem minoritas. Walaupun demikian, lokalitas juga bisa berarti lebih luas bila menyangkut bangsa-bangsa yang terjajah. Sebab, ini akan berhadapan dengan konteks globalisasi. Lokalitas pun menjadi lebih penting untuk diperhatikan karena aspek-aspek dari lokalitas ini mulai tergerus oleh budaya global melalui proses globalisasi. Apa yang kita temui sebagai kearifan lokal sekarang mulai hilang tergantikan oleh perspektif global yang cenderung berisi perspektif dominan Eropasentrisme. Pada sisi ini, Multikulturalisme dengan segala hal yang dibawanya, ingin menyelamatkan aspek-aspek lokalitas tersebut.
Masih karena pengaruh globalisasi, homogenitas mulai muncul sebagai persoalan baru dalam kehidupan bermasyarakat. Orang-orang dituntut untuk berbudaya seperti Eropasentris dalam hal pakaian, makanan, penghasilan, cara bicara, tingkah laku, maupun pola pikir. Semuanya itu dikonsumsi menurut cita rasa global. Atas hal yang demikian ini, Multikulturalisme ingin menjaga supaya aspek heterogenitas dari budaya-budaya yang ada itu tumbuh dan berkembang dengan baik.
Namun, dari efek globalisasi yang paling parah adalah berkembangnya paham Kapitalisme dalam seluruh lapisan budaya dan masyarakat. Apa pun hanya menjadi komoditas yang sebaiknya “dapat” diperjualbelikan. Ini tantangan besar bagi Multikulturalisme. Sebab, bisa jadi Multikulturalisme itu hanya barang dagangan intelektual baru yang perlu kita konsumsi dari Eropasentrisme.
Yang terakhir, ketika dalam teori Multikulturalisme dibuka ruang yang sangat bebas untuk toleransi, hal ini ternyata menimbulkan masalah pula. Sebab, toleransi pada akhirnya akan menemui jalan buntu ketika dihadapkan pada wacana intoleransi. Apakah seseorang harus mentolerir orang yang intoleran?
Penutup
Demikian perkenalan singkat yang dapat penulis sampaikan sebagai bahan diskusi wacana
Multikulturalisme. Dari bahan yang serba sedikit ini, penulis berharap ada pembatasan dalam hal diskusi sehingga diskusi tersebut menjadi lebih intens untuk dieksplorasi oleh semuanya.
*) Artikel ini disampaikan sebagai bahan diskusi “Menelusuri Basis Teoretis
Multikulturalisme – Suatu Kajian Filsafat” yang diselenggarakan oleh Desantara, Jakarta.
**) Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Hukum
Galunggung (STHG) Tasikmalaya, Jawa Barat, dan sedang menempuh studi di program Pascasarjana Magister Filsafat Universitas Indonesia.