Oleh: Erlin Sitinjak
Mungkin, pertanyaan itu tidak pernah terlintas di benak Anda. Bahkan, Anda sama sekali tidak ingin mengajukan pertanyaan serupa itu karena Anda memang tidak punya alasan, kepentingan, latar belakang, atau apapun namanya, untuk mempertanyakannya. Namun, bila seseorang yang sedang duduk tepat di depan hidung Anda membuat sebuah pernyataan bahwa Batak adalah penjajah, adakah Anda, sebagai bagian dari republik yang ber-Bhineka Tunggal Ika ini, pernah tergugah untuk mempertanyakan maksud orang tersebut?
“Sebenarnya, orang Batak itu penjajah,” demikianlah komentar Idris Pasaribu, salah seorang redaktur senior harian Analisa[3]ketika menghadiri acara penutupan Sekolah Multikultural Desantara[4] pada 28 Juni lalu. “Lihat saja Medan ini. Sebenarnya, Medan tanahnya orang Melayu. Tapi, kenyataannya, orang Bataklah yang menguasai Medan. Saking berkuasanya orang Batak di Medan, semua orang yang ada di sini disebut orang Batak, padahal sudah jelas namanya Suparji atau Suprapto” sambung lulusan Fakultas Hukum USU, yang akhirnya memilih untuk menjalani hidupnya di dunia jurnalistik tersebut.
Ini bukanlah kali pertama saya mendengar pernyataan serupa sehingga saya merasa tertarik untuk mengulasnya pada kesempatan ini. Beberapa teman-teman saya yang berasal dari etnis Jawa dan Minangkabau seringkali mengungkapkan kekesalannya kepada saya tentang pengalamannya ketika berkenalan dengan orang-orang yang berasal dari luar Sumatera Utara. Seperti yang dikemukakan oleh Idris Pasaribu, mereka seringkali disangka sebagai orang Batak. Meskipun mereka tidak secara terus terang mengatakan bahwa Batak telah ‘menjajah’ identitas mereka, jelas sekali terlihat melalui ekspresi wajah dan intonasi suara mereka betapa mereka merasa sangat tidak nyaman dengan identitas Batak yang secara manasuka dilekatkan pada diri mereka.
Jika Anda menyaksikan acara ajang pencarian bakat Dangdut Mania Dadakan[5] pada 24 Juni lalu, Anda pasti masih ingat bagaimana Leo, salah satu finalis dari Medan, menolak untuk menyanyikan salah satu lagu daerah Batak Toba. Di depan host acara, para komentator/dewan juri, ratusan hadirin, dan ribuan peserta yang menyaksikannya langsung dari seluruh penjuru tanah air, Leo menegaskan bahwa dia tidak akan menyanyikan lagu tersebut karena dia bukan orang Batak Dia orang Mandailing. Sepintas, sikap Leo memang menunjukkan apa yang selama ini disebut sebagai sikap chauvinisme (paham kedaerahan yang berlebihan). Mengapa? Leo sebenarnya bisa saja menyanyikan lagu tersebut, meskipun dia bukan orang Batak, seperti yang disangka oleh host acara karena, bagi seorang entertainer, menyanyikan lagu daerah orang lain bukanlah sesuatu yang aneh, apalagi salah. Jangankan lagu daerah orang lain, lagu kebangsaan negara lain pun pernah dinyanyikan oleh orang yang tidak berkewarganegaraan negara tersebut. Semuanya dilakukan dengan alasan dan untuk tujuan profesional. Namun, bukan di sana duduk persolannya. Kenyataan bahwa Leo tidak bisa menyanyikan lagu tersebut adalah bukti bahwa dia tidak sama dan bahkan sangat berbeda dengan orang-orang yang disebut Batak. Dalam hal ini, posisinya sebagai idola dan acara yang disiarkan secara langsung merupakan sarana dan prasarana yang sangat efektif untuk menunjukkan identitas sesungguhnya kepada masyarakat.
Peran posisi dan situasi ternyata juga disadari oleh seorang pendeta yang berasal dari etnis Nias. Drs. Yulianus Harefa, M.Ed. TESOL, sekjen ISNI (Ikatan Sarjana Nias Indonesia), mengatakan bahwa sebagai etnis Nias, mereka sebenarnya keberatan jika mereka disebut sebagai orang Batak. “Nias tidak bisa disamakan dengan Batak karena keduanya benar-benar berbeda, baik dari postur wajah, bahasa, adat-istiadat, dan lain sebagainya.” Bentuk keberatan ini, dikatakannya, pernah dinyatakan oleh seorang pendeta bernama Sanus Lase, yang pada sekitar sepuluh atau lima belas tahun lalu menulis sebuah artikel tentang hal-hal yang membuat Nias tidak dapat disamakan dengan Batak. Tulisan tersebut sempat mendapat perhatian yang cukup serius dari masyarakat, namun karena tidak ada tindak lanjut dari pemerintah, gagasan tersebut tinggal menjadi sebuah tulisan yang lapuk bersama kertas surat kabar tersebut. “Sebagai orang yang tidak mempunyai kedudukan dan pengaruh di Sumatera ini, kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menerima kenyataan ini. Tetapi, kami sangat mengharapkan peranan pemerintah untuk mensosialisasikan etnis-etnis yang ada di Indonesia, khususnya yang ada di Sumatera Utara.” Simpul Yulianus Harefa mengakhiri wawancara singkatnya dengan saya pada 25 Juni lalu.
Jika etnis Mandailing dan Nias telah menyatakan keberatan dan ketidaksetujuannya tentang Batak yang menjadi representasi identitas masyarakat Sumatera Utara, maka lain halnya dengan Dra. Zaslina Zainuddin, M.A., seorang etnis Aceh yang lahir dan besar di Sumatera Utara. Direktur American Corner Universitas Sumatera Utara, yang menikah dengan laki-laki asal Jawa Tengah ini memilih untuk tidak terlalu mempersoalkan masalah identitas. “Saya pilih jalan amannya saja,” jawabnya ketika ditanya apakah beliau tidak memiliki kerinduan untuk dikenal sebagai orang Aceh. Jawaban singkat ini memang terkesan cukup koperatif dan ‘aman.’ Tetapi, jawaban inilah yang menuntun kita kembali kepada persoalan semula: Apakah Batak benar-benar telah menjajah identitas orang-orang non-Batak di Sumatera Utara sehingga mereka terpaksa menerima kenyataan yang terjadi sekarang ini untuk dapat hidup aman di tanah Melayu, yang kini katanya telah dikuasai oleh orang Batak?
Meskipun para sosiolog, antropolog, dan pakar kebudayaan menganggap masalah identitas sebagai sesuatu yang terlalu biasa sehingga mereka dengan mudahnya mengatakan bahwa apa yang dialami oleh Leo, Yulianus Harefa, dan Zaslina Zainuddin sebagai ‘politik identitas’ atau ‘political identity’, yaitu suatu keadaan di mana identitas menjadi sesuatu yang cair, saya, sebagai orang Batak yang hidup di tengah-tengah fenomena ini, memandangnya sebagai sesuatu yang pantas untuk diperhatikan.
Untuk sampai kepada jawaban atas pertanyaan apakah orang Batak benar-benar telah menjajah identitas orang-orang non-Batak di Sumatera Utara, alangkah baiknya jika kita mengenal orang Batak secara lebih dekat.
Dalam sejarah orang Batak, yang diwariskan secara turun-temurun dari mulut ke mulut, dikenal sebuah ungkapan “Madekdek sian langit, mapultak sian bulu.” Secara harfiah, ungkapan ini dapat diartikan “Jatuh dari langit, keluar dari batang bambu.” Proses keberadaan orang Batak yang terbilang ajaib sehingga tak mungkin ditelusuri garis sejarahnya ini, tentu saja, sangat bertentangan dengan berbagai teori yang mengatakan bahwa orang Batak merupakan keturunan ras Mongol yang bergerak dari Yunan, Cina Selatan. Tetapi, satu hal yang perlu kita ingat adalah bahwa ungkapan ini akan tetap terpelihara dengan baik, meski dalam jangka waktu beberapa tahun mendatang muncul teori dan hipotesa baru yang mencoba menjelaskan tentang asal mula orang Batak.
Selain melalui ungkapan “Madekdek sian langit, mapultak sian bulu” kita juga mengenal karakteristik orang Batak melalui istilah “Raja.” Karena sifatnya yang selalu merasa sebagai manusia yang istimewa dan berbeda dengan manusia lainnya, orang Batak selalu menyebut dirinya sebagai raja. Kenyataan ini dapat dengan mudah kita saksikan pada upacara-upacara adat, seperti upacara perkawinan atau upacara kematian. Pada upacara-upacara seperti ini, semua hadirin disapa dengan gelar kehormatan Raja, seperti Raja ni Hula-hula, Raja ni DonganTubu/Sabutuha, Raja ni Boru, Raja ni Dongan Sahuta, dan lain sebagainya. Gelar kehormatan ini diberikan tanpa memandang jenis kelamin, status ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Maka, bagi orang Batak, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika seorang perempuan paruh baya yang bekerja sebagai pedagang kaki lima disapa sebagai “Raja ni Boru” pada suatu upacara adat perkawinan.
Sifat dan karakteristik ini kemudian menjadi unik dan menarik karena telah menjadi darah dan daging orang Batak. Bahwa mereka tercipta dengan cara yang ajaib dan seringkali dipanggil raja, ternyata bukanlah ungkapan dan prinsip yang dipelihara dan tercermin melalui upacara adat saja. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, prinsip ini mempengaruhi cara hidup orang Batak. Ketika harapan untuk hidup layak di tanah sendiri semakin kecil, orang Batak selalu siap untuk merantau hingga ke pelosok t
anah air, bahkan ke ujung dunia sekalipun, asalkan tetap menjadi raja atas diri sendiri. Dan sungguh luar biasa, dengan berbekalkan prinsip ini, orang Batak mampu bertahan di tengah kerasnya hidup dan kezamnya zaman dengan menjadi seorang pemulung, supir/kernet, pedagang asongan/kaki lima, hingga pejabat tingggi di lingkungan pemerintahan. Mungkin, inilah yang membentuk orang Batak menjadi manusia yang dikenal berwatak keras dan pantang menyerah pada keadaan.
Di tengah padatnya aktivitas di tanah perantauan, seperti di Medan, orang Batak tidak pernah melupakan asalnya. Hal ini tercermin dari punguan (perkumpulan), baik perkumpulan se-marga, segaris keturunan, atau perkumpulan sekampung halaman, yang sengaja dibentuk sebagai wadah perjumpaan dengan sesama perantau. Di samping sebagai wadah untuk mempererat hubungan silaturahmi dan kekerabatan dengan sesama, perkumpulan seperti ini juga merupakan wadah untuk menanamkan suatu prinsip agar orang Batak selalu ambil peduli terhadap nasib ‘sesamanya’ dan sebisa-bisanya terlebih dahulu memberi uluran tangan kepada ‘saudara’ yang membutuhkan. Dengan demikian, orang Batak akan lebih mudah dikenal di mana pun bumi dipijak.
Tak dapat dipungkiri memang, prinsip untuk selalu mendahulukan dan mengutamakan ‘sesama’ atau ‘saudara’ seringkali dipelesetkan menjadi sebuah tindak ‘terkutuk’ yang sejak Mei 1998 tiba-tiba menjadi momok yang sangat menakutkan—NEPOTISME. Batak pun, sebagai etnis yang sangat menjunjung tinggi prinsip ini, masuk ke dalam blacklist etnis paling nepotis di bumi pertiwi ini. Alhasil, ketika pucuk pemerintahan di Sumatera Utara atau jabatan tertinggi suatu instansi dipegang oleh orang Batak, maka orang beramai-ramai ‘mengikhlaskan diri’ sebagai orang Batak: mereka memakai marga Batak yang sepadan dengan marganya atau ketika mereka berasal dari etnis yang tidak memiliki padanan marga dengan marga-marga Batak, mereka akan ‘lumrah’ saja ketika orang lain mengenal dan menyebutnya sebagai orang Batak. Banyak orang kemudian merasa ‘aman’ berlindung di balik indentitas mereka sebagai orang yang ‘di-Batakkan’ hingga tiba hari ketika mereka merasa bahwa posisi dan situasi yang ada sangat memungkinkan untuk menunjukkan identitas mereka yang sesungguhnya.
Apakah kenyataan ini memberi sebuah petunjuk bahwa Batak telah menjajah identitas orang-orang non-Batak di Sumatera Utara? Ternyata tidak. Dari data dan fakta yang telah diuraikan di atas, jelas sekali bahwa orang Batak hanya ingin mereka dikenal di Sumatera Utara atau di bagian mana pun dunia ini, bukan agar Sumatera Utara dikenal sebagai tanah Batak. Perkumpulan dan prinsip yang ada semata-mata ditujukan untuk menyatakan dan menegaskan eksistensinya di negeri yang memang disadari penuh dengan keanekaragaman ini. Jadi, tidak ada alasan untuk mem-Batakkan atau menyangkal identitas orang-orang non-Batak yang ada di Sumatera Utara karena orang Batak sendiri menyadari betapa keinginan untuk dikenal sebagai diri kita yang sebenarnya adalah sesuatu yang hakiki.
Lalu, bagaimana Batak sampai kepada suatu posisi, yaitu sebagai ‘ikon’ Sumatera Utara sehingga orang-orang yang ada di tanah Melayu ini, yang secara statistis ternyata lebih banyak dihuni oleh orang Jawa, dikenal sebagai orang Batak? Pertanyaan inilah yang sebetulnya paling pantas untuk kita renungkan ketika kita, baik sebagai orang Batak maupun orang non-Batak, berhadapan langsung dengan orang-orang seperti Idris Pasaribu.
Bagi kita yang setuju bahwa istilah Timur/Oriental dan Barat tidak diciptakan oleh orang Timur sendiri, melainkan oleh orang Barat yang mempunyai kepentingan atas pemisahan ini[6], maka tidak akan sulit untuk mengerti bahwa image Sumatera Utara sebagai Batak dengan sengaja diciptakan oleh pihak tertentu untuk kepentingannya. Apa yang disebut oleh para antropolog, sosiolog, maupun budayawan sebagai ‘geographical ethnicity’ atau ‘etnis geografis’ kemudian dipertegas dengan pembangunan Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII). Melalui tempat yang diagung-agungkan sebagai miniaturnya Indonesia ini, kita ‘dilatih’ dan ‘dibiasakan’ untuk berpikir bahwa Indonesia terdiri dari kantung-kantung budaya yang tertata sedemikian rupa. Setiap wilayah geografis, dalam hal ini keduapuluhtujuh provinsi’ direpresentasikan oleh etnis yang dianggap sebagai etnis mayoritas di wilayah tersebut. Bentuk representasi ini tercermin dari dibangunnya rumah adat Batak di Sumatera Utara, rumah adat Jawa di Jawa Barat, rumah adat Dayak di Kalimantan Timur, rumah adat Manado di Sulawesi Utara, dan seterusnya.
Tentu saja pembangunan TMII tidak sepenuhnya salah dan melulu membawa dampak negatif. Setidaknya dengan dibangunnya tempat yang kini menjadi salah satu tujuan wisata tersebut, kita mengetahui dan mengenal salah satu ‘indigenous ethnic’ yang mendiami wilayah tersebut. Hal ini menjadi salah ketika pemerintah tidak mampu menghadirkan ‘indigenous ethnic’ lain yang terbilang minoritas di dalamnya. Lebih salah lagi, ketika pemerintah tidak pernah membuat semacam sosialisasi penyadaran bahwa Indonesia tidak sesederhana model yang ditata sedemikian apiknya dalam TMII. Indonesia akan jauh lebih indah ketika etnis-etnis yang disebut minoritas tersebut dihadirkan dan didudukkan berdampingan dalam posisi yang sejajar dengan etnis mayoritas yang ada.
Seperti halnya Indonesia, Sumatera Utara yang didiami oleh beragam etnis, baik kesepuluh etnis asli[7], berbagai etnis pendatang dari daerah lain di Indonesia[8], maupun etnis yang berasal dari bangsa lain[9], akan jauh lebih indah daripada Sumatera Utara yang sampai saat ini lebih dikenal sebagai ‘sarang’ orang Batak. Kenyataan bahwa semua etnis yang mendiami Sumatera Utara mampu hidup berdampingan dalam suasana yang rukun dan damai merupakan syarat yang lebih dari sekedar cukup untuk mengatakan bahwa Sumatera Utara merupakan replika hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ‘Gemah Ripah Loh Jinawi.’
Untuk mewujudkan dan menunjukkan keindahan Sumatera Utara, adalah tugas kita untuk mengambil sikap dan tindakan sembari menunggu tindak lanjut dari pemerintah. Sebagai orang Sumatera yang non-Batak, kita tidak perlu takut menunjukkan identitas kita karena sejarah telah membuktikan bahwa orang Batak tidak pernah melakukan tindak anarkis atau bentuk diskriminatif lainnya terhadap orang-orang yang ingin untuk menunjukkan identitasnya. Pernyataan bahwa ‘Batak adalah penjajah’ yang datang dari orang Batak sendiri, yaitu Idris Pasaribu, adalah bukti konkret bahwa orang Batak tidak pernah menutup mata terhadap segala fenomena sosial yang terjadi, sekecil apapun itu. Sekali lagi, kita tidak perlu menunggu sampai hari ketika kita berada dalam posisi dan situasi yang kuat untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya karena orang Batak bukanlah penjajah yang berusaha untuk melakukan genosida terhadap etnis-etnis lain.
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin berbagi cerita kepada Anda:
Seorang laki-laki, sebut saja SM, baru saja turun dari sebuah angkutan umum. Karena ramainya kegiatan di lokasi pemberhentian angkutan umum tersebut, ia tidak sadar bahwa dompet yang ada di saku belakang celananya telah dicuri. Beberapa menit kemudian, ia sadar bahwa dompetnya sudah tidak ada. Ia pun berputar-putar, mencari-cari dompetnya tersebut. Karena lelah, SM terduduk di sebuah warung kecil. Ia terus berpikir hingga seseorang dari kejauhan datang menghampirinya. Ternyata orang tersebut adalah pencuri yang telah mengambil dompetnya. Dompet tersebut, beserta seluruh isinya, dikembalikan kepada SM. Mengapa? Ternyata, ketika menggeledah isi dompet terseb
ut, pencuri tersebut melihat KTP SM. Si pencuri dan SM sama-sama orang Batak.
Pertanyaannya:
Beberapa pertanyaan yang patut kita renungkan secara bijak.
[1] Ditulis untuk Desantara “Institute for Cultural Studies”
[2] Siswa Sekolah Multikultural Desantara Angkatan 2008
[3] Salah satu harian lokal di Sumatera Utara
[4] Diadakan pada 23-28 Juni 2008 di Gedung BLPLP Sumatera Utara
[5] Disiarkan secara langsung setiap Selasa malam melalui statsiun TPI (Televisi Pendidikan Indonesia)
[7] Sumatera Utara terdiri atas sepuluh etnis asli, yaitu Melayu Pesisir, Melayu, Karo, Simalungun, Batak Toba, Mandailing, Angkola, Pakpak, Nias, dan Ulu
[8] Hampir seluruh etnis yang ada di Indonesia ada di Sumatera Utara. Etnis-etnis tersebut dating melalui program transmigrasi ataupun kegiatan perdagangan.