desantara.or.id
“Belajarlah dari Jepang!” demikian ungkap Gus Dur singkat. Ungkapan singkat namun lugas ini diungkapkan Abdurrachman Wahid, yang biasa dipanggil Gus Dur, mengawali sambutan acara pemberian penghargaan perdamaian oleh The Wahid Institute kepada Mr. Daisaku Ikeda pada Senin14 juli 2008 di Jakarta. Sayangnya, acara bahagia ini tidak bisa dihadiri langsung oleh Mr. Daisaku yang menjabat Presiden Soka Gakkai International University Jepang. Akhirnya penghargaan kepada Daisaku Ikeda yang juga dikenal sebagai seorang filsuf yang memiliki kontribusi besar terhadap perwujudan perdamaian dan tercipatanya dialog antarbudaya, serta pendidikan ini diwakilkan kepada putera beliau.
Dalam sambutannya, Gus Dur mengungkapkan, “Jika RRC, India, dan Indonesia mau belajar tentang strategi kepada negara Jepang, mungkin tak lama lagi, Asia bisa menjadi pusat perhatian dunia.” Apa yang disampaikan Gus Dur itu memang bukan isapan jempol atau igauan seorang bocah di siang bolong. Jika dicermati, puluhan tahun yang lalu, para pendiri bangsa termasuk Soekarno, Gandhi, bahkan Mao Tse Tung berupaya memformulasikan gagasan sebuah bangunan/tatanan masyarakat dengan satu kata: nasionalisme. Sedangkan kegagalan dan berhasilnya gagasan kebangsaan yang mereka tawarkan, sejarah yang akan melakukan evaluasi dan generasi penerus berhak merefleksikannya.
Gus Dur memberikan komentarnya pada sebuah partai politik yang mengusung agama Islam sebagai landasan bernegara (baca: PKS), bahwa saat ini, di tubuh partai itu telah terjadi gesekan idologis untuk mengusung gagasan ke-Islam-an menuju konsep kenegaraan, ataukah nasionalisme yang membawa Islam mewarnai bangunan kenegaraan Indonesia. Hal yang patut disoroti dari fenomena tersebut adalah semangat untuk tetap mendialogkan kepentingan politik dalam bingkai pluralitas –dari sebuah partai yang dicap fundamentalis– yang memang menjadi kegelisahan beberapa politisi di negeri ini.
Jika melihat kasus Ahmadiyah yang mengalami diskriminasi, UUD 1945 sebenarnya telah menjamin hidup dan harkat kelompok minoritas yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Ketertindasan kelompok minoritas di Indonesia saat ini adalah suatu cerminan kurangnya dialog antarbudaya dalam bingkai nasionalisme. Lain dengan negara Jepang. Di sana kaum lesbian, gay, dan homoseks bisa melangsungkan pernikahan tanpa melalui proses verifikasi sosial terlebih dahulu. Semangat nasionalisme telah berhasil mengakomodasi perbedaan budaya, agama, gender, dan menjadi jembatan sosial yang jernih. Dialog sudah tercipta di sana.
Akhir perjumpaan di Wahid Institute, Taman Amir Hamzah, Jakarta, Gus Dur mengingatkan pada segenap komponen bangsa Indonesia untuk terus mengupayakan dialog dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Futomo