Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003

desantara-default

Desantara.or.id

english version source

Undang-Undang Dasar memberi “semua orang hak untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing,” dan menyatakan bahwa “negara berlandaskan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” dan pemerintah biasanya menghargai ketentuan-ketentuan ini; namun, ada sejumlah pembatasan pada jenis kegiatan keagamaan tertentu dan agama-agama yang tidak diakui. Pemerintah memberikan pengakuan resmi dalam bentuk perwakilan di Departemen Agama kepada lima agama besar: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Sekalipun hanya lima agama yang resmi diakui, agama-agama lain tidak dilarang menurut hukum.

Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003

Diterbitkan oleh Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan Perburuhan

Pemerintah telah membuat cukup banyak kemajuan di beberapa bidang, seperti mengurangi kekerasan antaragama di kepulauan Maluku dan Sulawesi Tengah, dan menangkapdan mengadili teroris dan ekstremis keagamaan karena melakukan serangan yang bermotifkan agama. Namun, dalam beberapa kasus pemerintah gagal untuk meminta tanggung jawab ekstremis keagamaan atas pembunuhan dan kejahatan-kejahatan lain.

Setelah memerantarai kesepakatan damai dengan ditandatangani oleh para pemimpin komunitas Kristen dan Islam di Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah, Pemerintah menurunkan militer dan polisi dalam jumlah besar di wilayah konflik utama dan mendorong ekstremis Islam asal Jawa untuk meninggalkan tempat ini. Kekerasan antaragama turun di tiga provinsi ini; angka kematian di Maluku turun sampai dua per tiga. Kondisi yang damai membuat orang yang kehilangan tempat tinggal bisa pulang, terutama di Sulawesi Tengah, dan pemerintah serta beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) memfasilitasi kepulangan ini. Meskipun begitu, ada insiden kekerasan antaragama yang bersifat lokal di provinsi-provinsi ini. Paling tidak 55 orang tewas dan 291.000 orang masih kehilangan tempat tinggal selama periode dalam laporan ini.

Pemerintah membuat kemajuan dalam mempromosikan kebebasan beragama yang dirusak oleh teroris dan ekstremis lain yang melakukan serangan atas nama agama. Setelah anggota Jemaah Islamiyah (JI), sebuah organisasi teroris yang bercita-cita mendirikan negara Pan-Islam yang kuat di Asia Tenggara, meledakkan bom di dua kelab malam di Bali pada 12 Oktober 2002 dan menewaskan 202 orang, pemerintah gencar melacak dan menangkap sedikitnya 32 orang. Anggota JI mengakui belasan aksi teroris dalam beberapa tahun sebelumnya, termasuk pengeboman gereja-gereja di seluruh Indonesia di malam Natal 2000 yang menewaskan 19 orang. Pemerintah mendakwa pemimpin kelompok ini Abu Bakar Ba’asyir dengan tuduhan makar, dan pengadilannya dimulai pada April 2003 di Jakarta. Persidangan masih berjalan sampai periode akhir pembuatan laporan ini. Polisi menangkap dan menyidik sedikitnya 18 tersangka yang merupakan anggota Laskar Jundullah, sebuah milisi yang dalam tahun-tahun sebelumnya melakukan serangan terhadap kaum Kristen di Maluku dan Sulawesi Tengah. Milisi Islam Laskar Jihad, yang membunuh banyak umat Kristen Maluku, secara resmi dibubarkan pada Oktober 2002.

Namun, ada sejumlah kemunduran dalam hal sikap penghormatan terhadap kebebasan beragama selama periode yang dilaporkan ini. Pemerintah gagal menahan banyak ekstremis keagamaan yang bertanggung jawab terhadap tindakan kriminal yang dipicu intoleransi beragama. Pemerintah tidak menuntut anggota-anggota Laskar Jihad yang telah membunuh dan meneror umat Kristen di Maluku dan Sulawesi Tengah, dan mengizinkan mereka pulang ke tempat asal mereka, sebagian besar di Jawa, tanpa tuntutan hukum. Pemerintah menangkap pemimpin Laskar Jihad, Jafar Umar Thalib, dan mendakwanya memicu kekerasan berlatar belakang agama dan dua kasus pelanggaran yang relatif kecil. Pada 30 Januari, pengadilan Jakarta membebaskannya dari tuduhan, yang menyulut dugaan adanya intervensi tingkat tinggi.

Di Provinsi Aceh, Pemerintah mulai melaksanakan penerapan hukum Islam, atau Syariah, pada 3 Maret dengan mengeluarkan dekrit presiden mengenai pembentukan pengadilan Syariah. Sejumlah warga khawatir sekiranya penerapan Syariah akan memberi kekuatan baru kepada lembaga penegakan hukum yang sudah diragukan serta memberi kesempatan bagi pemerintah untuk memasuki daerah persoalan agama yang sifatnya pribadi. Sampai akhir periode laporan ini dibuat, masih belum jelas apakah Syariah akan diberlakukan kepada kaum non-Muslim di provinsi ini. Pada 19 Mei, Pemerintah memberlakukan hukum darurat militer sepenuhnya sebagai bagian dari operasi militer untuk menghancurkan gerakan separatis. Sampai akhir pembuatan laporan ini, masih belum jelas dampak dari kelanjutan penerapan Syariah.

Islam garis keras kadang-kadang mengecam, mengancam, atau menyerang umat Muslim lain yang memiliki pandangan agama yang lebih moderat.

Ekstremis keagamaan, seperti Front Pembela Islam (FPI), kembali menyerang sejumlah kelab malam, bar, dan kelab bilyar atas nama agama, menyatakan bahwa tempat-tempat ini tidak bermoral. Ada indikasi kuat bahwa banyak dari serangan ini terkait dengan skema pemerasan dan uang semir daripada motif keagamaan. Serangan yang paling mendapat perhatian terjadi di Jakarta pada 5 Oktober 2002. Pemerintah menanggapinya dengan mendakwa pemimpin FPI, Habib Rizieq, dengan tuduhan memicu kekerasan. Pengadilan Rizieq mulai digelar di Jakarta pada 8 Mei dan sedang berjalan sampai akhir periode laporan ini.

Partai-partai politik tertentu menyokong amandemen terhadap Undang-Undang Dasar untuk memakai Syariah dalam skala nasional, namun parlemen menolaknya, dan organisasi-organisasi Muslim terbesar di negara ini masih menentang gagasan ini.

Di provinsi paling timur, Papua, beberapa LSM melaporkan bahwa para pejuang Laskar Jihad hadir dalam jumlah cukup banyak pada awal pembuatan laporan ini. Namun, pada bulan Juni, enam bulan setelah kelompok ini dibubarkan, tak ada bukti meyakinkan bahwa ada orang-orang semacam itu di sana.

Beberapa kemajuan yang layak dicatat dalam toleransi dan kerja sama antaragama terjadi selama periode pembuatan laporan ini. Misalnya, pada waktu Natal 2002, yang diliputi kecemasan yang tinggi akan terulangnya kekerasan pada Natal 2000, banyak umat Muslim bergabung dengan rekan-rekan Kristen mereka untuk menjaga gereja-gereja di seluruh negeri. Pada paruh pertama tahun 2003, banyak umat Muslim dan Kristen di Maluku dan Sulawesi Tengah bekerja bersama memperbaiki masjid-masjid dan gereja-gereja.

Pemerintah Amerika Serikat mendiskusikan masalah kebebasan beragama dengan Pemerintah Indonesia dalam konteks dialog dan kebijakan untuk mempromosikan hak-hak asasi secara keseluruhan. Selama periode yang tercakup dalam laporan ini, Pemerintah Amerika Serikat berhubungan secara aktif dengan para pemimpin agama dan dengan Pemerintah Indonesia, dan memfasilitasi sejumlah konferensi dan seminar antariman. Kegiatan-kegiatan ini melibatkan akademisi dan mahasiswa perguruan tinggi, dan menekankan pentingnya kebebasan beragama dan toleransi dalam masyarakat yang majemuk.

Bagian I: Demografi Keagamaan

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau yang keseluruhan wilayahnya meliputi 1,8 juta mil persegi (sekitar 0,7 mil berupa daratan), dan jumlah populasinya sekitar 230 juta jiwa. Diperkirakan, setengah dari populasi tinggal di Pulau Jawa.

Tak ada statistik mutakhir yang bisa diandalkan berkenaan dengan agama yang dianut warga. Data paling akhir yang tersedia, dari tahun 1990, menunjukkan bahwa 87 persen populasi adalah Muslim; 6 persen Protestan; 3,6 persen Katolik; 1,8 persen Hindu; 1 persen Buddha; dan 0,6 persen memeluk keyakinan “yang lain”, termasuk di dalamnya adalah kepercayaan tradisional penduduk asli, kelompok Kristen lain, dan Yahudi. Meskipun begitu, komposisi pemeluk agama di negara ini adalah sebuah masalah yang politis, dan beberapa orang Kristen, Hindu, dan pemeluk keyakinan minoritas lain percaya bahwa statistik tahun 1990 ini sangat mengecilkan angka sesungguhnya dari warga non-Muslim. Para penganut Khonghucu mencatat bahwa ketika Pemerintah mengumpulkan statistik di tahun 1990, ada pelarangan dalam peribadahan agama mereka. Sebuah sensus resmi yang dilakukan pada tahun 1976-1977 memperlihatkan bahwa 0,7 persen penduduk memeluk ajaran Khonghucu, namun angka terkini dari pemeluk Khonghucu di negara ini saat ini tidak diketahui. Hukum mengharuskan warga negara yang sudah dewasa untuk mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan kartu ini mencantumkan agama yang dipeluk si warga. Selama periode pelaporan ini, beberapa warga non-Muslim, seperti kaum animis, menemui kesulitan atau bahkan tak bisa sama sekali memperoleh KTP yang secara akurat mencerminkan keyakinan mereka, dan konsekuensinya, banyak dari mereka yang dicatat secara tidak tepat sebagai Muslim. Tak ada informasi yang tersedia tentang jumlah kaum ateis, namun angkanya diyakini kecil saja.

Umat Muslim adalah mayoritas penduduk di sebagian besar wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Maluku Utara. Muslim hanya menjadi minoritas di Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian Sumatra Utara dan Sulawesi Utara. Kebanyakan Muslim adalah Sunni, sekalipun ada penganut aliran lain dalam Islam, termasuk Syiah, yang jumlahnya sekitar 100.000 secara nasional; Sufi; dan Ahmadiyah. Pemerintah sampai sekarang secara resmi masih melarang kegiatan Ahmadiyah. Komunitas besar Muslim bisa dibagi menjadi dua kelompok: “modernis” yang berpegang teguh kepada teologi ortodoks yang ada dalam kitab suci sembari merangkul pengajaran dan konsep modern; dan kelompok “tradisionalis” Jawa yang lebih dominan, yang sering merupakan pengikut ulama karismatis dan dibentuk di lingkungan pesantren Islam. Organisasi sosial “modernis” nasional terdepan adalah Muhammadiyah, yang didirikan pada tahun 1912 dan memiliki sekitar 30 juta pengikut dan cabang-cabang di seluruh negeri. Kelompok ini mendirikan masjid, tempat ibadah, klinik, panti asuhan, tempat penampungan orang-orang miskin, sekolah dan perpustakaan umum, dan mengelola universitas. Organisasi sosial “tradisionalis” terbesar adalah Nahdlatul Ulama (NU) yang punya 40 juta anggota, yang terkonsentrasi di Jawa dan didirikan pada tahun 1926, sebagian sebagai reaksi atas berdirinya Muhammadiyah. NU berfokus pada banyak kegiatan yang sama. Dua organisasi ini sering mengeluarkan pernyataan bersama yang mempromosikan toleransi beragama dan menentang kewenangan agama kelompok ekstrem.

Ada juga sejumlah kecil kelompok Islam mesianik (penyelamat dunia), termasuk Darul Arqam yang terkait dengan Malaysia, yang basis dukungannya tumbuh sepanjang periode pelaporan ini, dan Jamaah Salamulla Indonesia, sebuah sekte sinkretis yang angkanya masih kecil. Para pengikut Ahmadiyah, yang kelompoknya berkembang selama periode pelaporan ini, menyatakan bahwa pemimpin mereka Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang rasul Muslim India dan bahwa semua orang bisa menjadi rasul. Ahmadiyah memiliki 242 cabang yang tersebar di hampir seluruh wilayah negeri ini; ada 8 masjid Ahmadiyah di Jakarta. Sebuah kelompok mesianik lain, Negara Islam Indonesia (NII), yang berharap mengubah negara ini menjadi negara Islam, kehilangan dukungan sepanjang periode pelaporan ketika bukti datang yang mengarah pada dugaan kelompok ini telah mendorong seorang anggota untuk melakukan perampokan. Kelompok lain yang semacam ini adalah Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia, didirikan di Jawa Timur pada tahun 1940-an (lihat Bagian II, Penyerangan terhadap Kebebasan Beragama).

Sebagian besar umat Kristen di negara ini tinggal di wilayah timur. Katolik Roma dianut penduduk dalam persentase yang tinggi di sebagian besar wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Umat Katolik juga terkonsentrasi di bagian tenggara Provinsi Maluku. Agama Protestan dominan di bagian tengah Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara. Di Papua, Protestan dominan di utara, dan Katolik di selatan, sebagai akibat kebijakan kolonial Belanda, yang dilanjutkan Pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan, dengan membagi wilayah antara misionaris asing Katolik dan Protestan. Penduduk Kristen dalam jumlah besar berada di Sumatra Utara, pusat gereja Huria Kristen Batak Protestan. Ada pula umat Kristen dalam jumlah signifikan di Kalimantan Barat (kebanyakan Katolik), Kalimantan Tengah (kebanyakan Protestan), dan Jawa, terutama di kota-kota besar. Banyak warga perkotaan beretnis Cina memeluk keyakinan Kristen atau menggabungkan ajaran Kristen dengan Buddha atau Khonghucu. Kelompok yang lebih kecil termasuk Saksi Jehovah, yang menyatakan punya anggota aktif sekitar 17.100, tidak termasuk anak-anak.

Selama tiga dekade terakhir, perpindahan penduduk di dalam negeri, baik disponsori pemerintah ataupun keinginan sendiri, telah mengubah demografi negara ini. Secara khusus hal ini telah meningkatkan persentase Muslim di wilayah timur negara ini yang didominasi Kristen. Pada awal 1990-an, umat Kristen menjadi minoritas untuk pertama kalinya di sejumlah daerah Maluku. Sekalipun transmigrasi yang disponsori pemerintah dari Jawa dan Madura yang sangat padat penduduknya ke wilayah negara ini yang jarang penduduknya telah menyumbangkan kenaikan jumlah penduduk Muslim di wilayah pemukiman baru, tak ada bukti yang menunjukkan bahwa penciptaan mayoritas Muslim di daerah Kristen adalah sasaran kebijakan ini, dan kebanyakan kepindahan atas kemauan sendiri. Terlepas dari niatnya, konsekuensi ekonomi dan politik dari kebijakan transmigrasi menyumbang pada konflik keagamaan di Maluku dan Sulawesi, dan dalam tingkatan yang lebih kecil di Papua.

Banyak pemeluk Hindu di negara ini tinggal di Bali, di mana jumlah mereka melebihi 90 persen dari total penduduk. Meskipun begitu, Parishada Hindu Dharma Indonesia (PDHI) mencatat bahwa ada konsentrasi besar umat Hindu di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung. PDHI melaporkan bahwa 18 juta umat Hindu tinggal di Indonesia, sebuah angka yang jauh melebihi perkiraan pemerintah. Ajaran Hindu di Bali telah mengembangkan berbagai ciri-ciri lokal yang membedakannya dengan ajaran Hindu yang dipraktekkan di jazirah India. Ada pula minoritas Hindu (bernama “Keharingan”) di Kalimantan Tengah dan Timur, Kota Medan (Sumatra Utara), Sulawesi Selatan dan Tengah, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). Beberapa dari umat Hindu ini meninggalkan Bali menuju wilayah-wilayah ini sebagai bagian program transmigrasi pemerintah. Kelompok Hindu seperti Hare Krishna dan pengikut dari pemimpin spiritual India Sai Baba juga hadir di negara ini, sekalipun jumlahnya kecil. Selain itu ada sejumlah keyakinan asli, termasuk “Naurus” di Pulau Seram (Provinsi Maluku), yang mencomot ajaran Hindu. Pemeluk Naurus menggabungkan Hindu dan keyakinan animis, dan banyak juga yang menggunakan prinsip-prinsip Protestan.

Di antara pemeluk agama Buddha di negara ini, sekitar 70 persen diperkirakan mempraktekkan aliran Mahayana. Pengikut Theravada angkanya sekitar 20 persen, dan sisanya adalah penganut ajaran Tantrayana, Tridharma, Kasogatan, Nichiren, dan Maitreya. Menurut Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), 60 persen pemeluk Buddha adalah keturunan Cina. MBI adalah bagian dari Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI). Organisasi Budhha lain yang lebih tua yang aktif secara nasional adalah Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI), yang punya ikatan dengan semua aliran. Hubungan antara KASI dan WALUBI sedang tegang selama periode yang tercakup dalam laporan ini, dengan anggota KASI merasa pemerintah telah secara tidak adil memberikan dukungan kepada WALUBI.

Angka pemeluk agama Khonghucu di negara ini masih belum jelas. Sensus nasional, yang dilakukan setiap lima tahun, tak lagi memungkinkan responden untuk mengidentifikasi mereka sebagai pemeluk Khonghucu. Namun,menurut Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), di tahun 1976-1977, tahun terakhir di mana kategori ini masih disertakan, ada 0,7 persen penduduk menyebut diri mereka pemeluk Khonghucu. Sejak sensus itu proporsi praktek ibadah Khonghucu boleh jadi telah sedikit meningkat mengingat pencabutan larangan pemerintah atas ajaran Khonghucu membuat ibadah lebih mudah dilakukan. MATAKIN memperkirakan 95 persen pemeluk Khonghucu adalah keturunan Cina, dan sisanya kebanyakan asli Jawa. Mayoritas pemeluk Khonghucu tinggal di Jawa, Pulau Bangka, Sumatra Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan Tengah, dan Maluku Utara. Banyak pemeluk Khonghucu juga mempraktekkan ajaran Buddha dan Kristen. Sebelum larangan atas ajaran Khonghucu dicabut, banyak kuil Khonghucu berada di dalam wihara Buddha.

Animisme dan sistem keyakinan tradisional lain, lazimnya disebut “Aliran Kepercayaan,” masih dipraktekkan cukup banyak penduduk di Jawa, Kalimantan, dan Papua. Banyak dari mereka yang menjalankan Kepercayaan menyebut aliran ini lebih sebagai jalan spiritual berdasarkan meditasi daripada sebuah agama. Banyak animis menggabungkan keyakinan mereka dengan salah satu agama yang diakui pemerintah.

Ada puluhan Yahudi di Surabaya, Jawa Timur, di mana satu-satunya sinagog di negara ini (Ortodoks, Sephardi) berlokasi. Ada pula komunitas kecil Yahudi di Jakarta.

Komunitas Baha’i menyebut punya ribuan anggota di negara ini, namun angka sebenarnya tidak dapat dipastikan.

Falun Gong memiliki 2-3 ribu pengikut di negara ini, dan anggotanya menyebut jumlah pengikutnya sedikit bertambah selama periode pelaporan ini. Menurut perwakilan keyakinan ini, di Yogyakarta ada seribu penganut. Mereka menambahkan bahwa sejumlah kegiatan kelompok ini sedikit dirintangi pemerintah karena adanya tekanan eksternal.

Tak ada data yang tersedia tentang agama yang dianut warga asing dan imigran.

Paling tidak 350 misionaris asing, utamanya Kristen, beroperasi di negara ini. Banyak yang bekerja di Papua, Kalimantan, dan daerah-daerah lain di mana terdapat animis dalam jumlah banyak.

Bagian II: Status Kebebasan Beragama

Undang-Undang Dasar memberi “semua orang hak untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing,” dan menyatakan bahwa “negara berlandaskan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” dan pemerintah biasanya menghargai ketentuan-ketentuan ini; namun, ada sejumlah pembatasan pada jenis kegiatan keagamaan tertentu dan agama-agama yang tidak diakui.

Departemen Agama memberikan status resmi hanya kepada lima agama: Islam, Katolik, Protestan, Buddha, dan Hindu. Organisasi agama di luar lima yang diakui bisa mendaftar ke pemerintah, namun hanya ke Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, dan itu pun semata sebagai organisasi sosial. Akibatnya, ada pelarangan jenis kegiatan keagamaan tertentu dan pelarangan agama-agama dengan pengikut dalam negeri yang sedikit jumlahnya. Di tahun-tahun terakhir, pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk menormalisasi status pemeluk Khonghucu dan Saksi Jehovah namun gagal memberikannya. Pemerintah juga gagal memberikan perlakuan yang setara di bidang-bidang tertentu seperti catatan sipil kepada anggota agama yang pemeluknya sedikit. Agama-agama yang tidak diperkenankan untuk mendaftar tidak boleh menyewa tempat untuk menyelenggarakan peribadahan. Setiap agama yang tak bisa mendaftar dipaksa mencari cara alternatif untuk menjalankan keyakinan mereka.

Pemerintah memperbolehkan praktek Aliran Kepercayaan asli Indonesia, namun hanya sebagai manifestasi budaya, bukan sebagai sebuah agama; para pengikut Aliran Kepercayaan harus mendaftar ke Departemen Pendidikan Nasional. Beberapa umat agama minoritas yang aktivitasnya dilarang di masa lalu, seperti Rosicrucia diizinkan untuk beroperasi secara terbuka. Agama-agama minoritas lain seperti Majusi, Shinto, dan Tao secara resmi juga diizinkan.

Sekalipun Islam adalah agama dari mayoritas besar penduduk, negara ini bukanlah sebuah negara Islam. Selama 50 tahun terakhir, banyak kelompok fundamentalis Islam secara berkala berusaha mendirikan sebuah negara Islam, namun komunitas besar Muslim, termasuk organisasi sosial yang berpengaruh seperti Muhammadiyah dan NU, terus-menerus menolak gagasan ini. Pendukung gagasan negara Islam gagal mewujudkan keinginan mereka di tahun 1945 dan sepanjang demokrasi parlementer pada periode 1950-an untuk pencantuman kata-kata kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan Syariah (Piagam Jakarta) dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar. Selama rezim Suharto, pemerintah melarang semua bentuk dukungan terhadap gagasan sebuah negara Islam.

Dengan melonggarnya kebebasan berbicara dan beragama yang menyusul jatuhnya Suharto di tahun 1998, pendukung Piagam Jakarta berupaya kembali menyuarakan gagasan ini, dan hal ini terjadi pada Agustus 2002 sebelum Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebuah lembaga yang punya kekuasaan untuk mengubah Undang-Undang Dasar. Partai-partai politik sekuler serta perwakilan polisi, militer, serta golongan yang diangkat, yang menguasai mayoritas kursi di MPR, menolak usulan amandemen Undang-Undang Dasar yang mencantumkan Syariah ini dalam rapat komisi, dan pembahasan tentang hal ini tidak pernah sampai ke tahapan pengambilan suara secara resmi. Meskipun begitu, MPR menyetujui perubahan Undang-Undang Dasar yang memberi mandat kepada pemerintah untuk meningkatkan “keimanan dan kesalehan” dalam pendidikan. Keputusan ini, yang dilihat luas sebagai upaya kompromi untuk memuaskan partai-partai Islam, adalah awal bergulirnya Rancangan Undang-Undang Pendidikan yang kontroversial yang disetujui pada bulan Juni. Syariah Islam adalah sumber perdebatan sengit dan keprihatinan selama periode pelaporan ini, dan banyak masalah yang diangkat dalam debat menyentuh kebebasan beragama. Di Aceh pemerintah mengizinkan penerapan Syariah sebagai bagian paket otonomi khusus yang dirancang untuk mengakhiri pemberontakan separatis yang

sudah berjalan lama. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001, yang memberi Aceh otonomi khusus, mencakup kewenangan untuk menerapkan Syariah di provinsi itu sepanjang tidak melanggar hukum nasional. Untuk pemberlakuannya, undang-undang mensyaratkan hukum Syariah dimasukkan ke dalam hukum resmi melalui peraturan-peraturan daerah yng disahkan oleh dewan legislatif provinsi. Sampai saat ini, UU No. 18 Tahun 2001 maupun dua peraturan daerah yang sudah diloloskan belum jelas menyebutkan apa yang harus dilakukan untuk masalah-masalah yang rumit seperti bisakah Mahkamah Agung menilai putusan pengadilan Syariah atau apakah Syariah akan berlaku bagi non-Muslim di Aceh atau orang Aceh di luar provinsi ini.

Penerapan Syariah bukanlah permintaan gerakan separatis bersenjata Aceh ataupun masyarakat sipil. Tak ada konsensus di masyarakat Aceh tentang arti atau yurisdiksi Syariah. Beberapa orang mengkhawatirkan hal ini akan memberi kekuatan baru bagi lembaga penegakan hukum yang sudah diragukan untuk mencampuri wilayah keagamaan pribadi, seperti bolehkah seseorang menjual makanan atau rokok selama bulan suci Ramadan. Beberapa pendukung Syariah melihat penerapan ini sebagai mekanisme untuk menciptakan sistem keadilan yang lebih efektif di Aceh.

Dewan legislatif provinsi menyetujui dua peraturan daerah yang berkaitan dengan Syariah selama periode pelaporan ini. Peraturan Daerah No.10 Tahun 2002 memberikan kewenangan kepada pengadilan Syariah untuk “memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan kasus-kasus yang terkait dengan masalah keluarga, perdata, dan pidana.” Hal ini secara efektif menyingkirkan kewenangan pengadilan agama yang sudah terlebih dulu ada, yang bertanggung jawab untuk kasus-kasus perdata yang berkaitan dengan hukum masalah keluarga dan melibatkan kaum Muslim. Pada 3 Maret, pemerintah pusat mengeluarkan Dekrit Presiden 11/2003, yang secara resmi membentuk pengadilan Syariah semata-mata hanya dengan mengubah nama pengadilan-pengadilan agama di sana, sementara pada saat yang sama mempertahankan infrastruktur, yurisdiksi, dan staf mereka. Namun hakim-hakim pengadilan Syariah baru ini menolak pengembangan yurisdiksi mereka ini dengan alasan kurang pengalaman. Mereka berkata hanya akan menggelar kasus-kasus yang berkaitan dengan “pelaksanaan Islam dalam kehidupan sehari-hari,” yang merupakan subjek dari peraturan daerah kedua yang disetujui oleh dewan legislatif.

Peraturan Daerah No.11/2002 mewajibkan pelestarian budaya Islam, penghormatan terhadap hari raya Islam dan pemakaian “busana Islami” oleh Muslim. Banyak ketentuan ini merupakan bagian dari norma sosial Aceh dan sudah secara luas dipatuhi. Misalnya, mayoritas wanita di Aceh telah mengenakan semacam kerudung saat di tempat umum. Tak ada bukti bahwa pejabat yang berwenang telah menghukum orang Muslim – atau non-Muslim – karena pelanggaran aturan berpakaian selama periode pelaporan ini. Meskipun begitu, penyokong kebebasan beragama memprihatinkan pemberlakuan peraturan ini.

Para pemimpin agama yang bertanggung jawab menyusun peraturan daerah Syariah menegaskan bahwa tak ada rencana untuk memberlakukan aspek yang lebih keras dari hukum Islam yang dijumpai dalam hudud (hukum yang telah ditentukan bentuk dan kadarnya dalam kitab suci), seperti pemotongan tangan atau rajam. Pada 19 Mei, pemerintah memberlakukan darurat militer sepenuhnya sebagai bagian dari operasi militer untuk menghancurkan gerakan separatis. Sampai akhir pembuatan laporan ini, masih belum jelas dampak dari kelanjutan penerapan Syariah.

Kelompok wanita mengambil peran penting dalam proses penyusunan peraturan daerah untuk menghindari pasal-pasal yang mungkin mengekang hak-hak wanita. Debat di antara wanita atas penerapan Syariah meningkat selama periode pelaporan ini, dengan sejumlah buku diterbitkan dan paling tidak penyelenggaraan dua konferensi.

Pemerintah mewajibkan agama-agama resmi untuk mematuhi peraturan Departemen Agama dan departemen-departemen lain dalam pencatatan dan kegiatan mereka. Di antaranya adalah Peraturan Pembangunan Tempat Ibadah (Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1/1969); Pedoman Penyiaran Agama (Surat Keputusan Menteri Agama No.70/1978); Bantuan Luar Negeri untuk Lembaga Keagamaan di Indonesia (Keputusan Menteri No.77/1978).

Kasus pindah agama memang terjadi, yang memang tidak dilarang oleh undang-undang, namun tetap merupakan sumber kontroversi. Tak ada statistik komprehensif yang tersedia, namun para pemuka Katolik menyatakan sekitar 10 ribu Muslim menjadi Katolik setiap tahunnya. Beberapa orang Kristen yang menjadi Islam melakukannya agar bisa menikahi seorang Muslim. Banyak dari Muslim yang menjadi Kristen karena pengaruh penginjilan maupun bantuan kemanusiaan atau kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok gereja. Kalangan Muslim menuduh penggunaan bantuan makanan dan program mikrokredit oleh misionaris Kristen untuk memikat kaum Muslim yang miskin berpindah agama. Beberapa dari mereka yang berpindah agama merasa berkepentingan untuk tidak mengabarkan kejadian ini karena alasan yang terkait dengan keluarga dan sosial.

Pengajaran agama memicu debat publik yang panas selama periode pelaporan ini. Pengajaran semacam ini wajib bagi siswa di sekolah dasar dan lanjutan pertama negeri. Pada 11 Juni, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang kontroversial, yang sebagian disebabkan kata-kata “keimanan dan kesalehan” yang baru-baru ini dicantumkan di Undang-Undang Dasar. RUU ini sangat didukung oleh kaum Muslim dan ditolak oleh kalangan Kristen. (Lihat (Bagian II, Pembatasan Kebebasan Beragama). RUU ini antara lain menyatakan bahwa setiap siswa punya hak untuk menerima pelajaran agama dari guru yang beragama sama. Mengingat sedikit saja non-Muslim yang masuk sekolah Muslim, sekolah-sekolah semacam ini praktis tidak terpengaruh oleh RUU ini, dan dengan demikian tidak harus mempekerjakan guru-guru non-Muslim, membuat program untuk kelas agama bagi non-Muslim, atau menyediakan tempat ibadah bagi siswa Kristen atau yang beragama lain. Meskipun demikian, banyak gereja, persekutuan gereja, dan sekolah Katolik dan Protestan melihat RUU ini sebagai campur tangan negara yang keterlaluan dalam masalah agama yang sifatnya pribadi. Mereka menyuarakan keprihatinan bahwa sekolah-sekolah Kristen bermutu tinggi yang menarik banyak siswa Muslim akan dipaksa untuk mempekerjakan guru-guru Muslim yang fundamentalis, membuat program untuk kelas Islam, dan membangun mushola. Kalangan Muslim yang mendukung RUU ini berpendapat bahwa kehancuran moral bangsa membutuhkan tindakan segera untuk penanaman etika dan moralitas di kalangan generasi muda. Kalangan Muslim yang lain berkata bahwa RUU ini bermaksud menjamin para orang tua Muslim bahwa anak-anak mereka bisa menerima pendidikan sekolah Katolik yang bermutu tinggi tanpa dipaksa untuk mengabaikan atau mengorbankan identitas Muslim mereka, misalnya. Banyak cendekiawan Muslim menentang RUU ini dengan menyebutnya terlalu jauh masuk wilayah agama dan tujuan pendidikan seharusnya pencerahan ketimbang kesalehan. Para pengamat politik melihat penyetujuan RUU sebagai upaya politik murni bagi pemilihan umum tahun 2004. Presiden Megawati mengesahkan RUU itu menjadi UU pada tanggal 8 Juli.

Ada 15 partai politik yang berafiliasi sepenuhnya atau sebagian dengan Islam: Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Partai Bulan Bintang (PBB); Partai Keadilan Sejahtera (PKS); Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (KAMI); Partai Umat Islam (PUI); Partai Kebangkitan Umat (PKU); Partai Politik Islam Masyumi (PPIM); Partai Indonesia Majelis Syuro Muslimin (PIMSM); Partai Serikat Islam Indonesia (PSII 1905); Partai Nahdlatul Umat (PNU); Partai Persatuan (PP); Partai Islam Demokrat (PID); Partai Solidaritas Umat Nasional (PSUN); Partai Bintang Reformasi (PBR); dan Partai Penyelamat Perjuangan Reformasi (PPPR). Para mantan pemuka Muhammadiyah dan NU memimpin partai-partai nasionalis, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang mencoba mendapatkan dukungan akar rumput dari organisasi sosial Islam mereka sebelumnya.

Indonesia memiliki lima partai Kristen: Partai Kristen Indonesia (Partindo); Partai Kristen Nasional Indonesia (KRISNA); Partai Katolik Demokrat; Partai Katolik; dan Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB). Hanya ada satu partai Buddha, Partai Budis Indonesia (PARBUDI). Dalam pemilihan umum terakhir di tahun 1999, tiga partai Kristen yang ada saat itu menerima suara yang relatif sedikit, sementara 15 partai Islam yang ada secara bersama-sama mendapatkan sekitar 30 persen suara. Di antara partai-partai Muslim ini, yang memegang dominasi adalah mereka yang memiliki pandangan moderat mengenai peran Islam dalam pemerintahan dan masyarakat. Partai-partai yang sangat menganjurkan Islamisasi kebijakan pemerintah meraih sedikit saja persentase suara dan kursi parlemen.

Angkatan bersenjata menyediakan fasilitas dan program keagamaan di semua kompleks perumahan yang besar untuk para pria dan wanita yang ingin menjalankan ibadah salah satu agama yang diakui. Pusat Pembinaan Mental bertanggung jawab atas fasilitas dan program ini. Setiap cabang angkatan bersenjata memiliki Badan Pembinaan Mental yang dipimpin oleh Ketua Pembina Rohani. Umat Kristen sering melakukan ibadah bersama pada hari Jumat, bersamaan dengan hari dilakukannya salat Jumat bagi Muslim. Sejumlah perwira punya kualifikasi sebagai pengkhotbah dan menjalankan fungsi ini sebagai tugas tambahan yang bersifat sukarela, namun kebanyakan acara peribadahan di pos militer dipimpin oleh pemuka agama dari kalangan sipil. Acara kebaktian yang sudah diatur waktunya dan sembahyang bersama tersedia bagi anggota dari setiap agama yang diakui. Sekalipun setiap kompleks perumahan militer diharuskan menyediakan masjid, gereja Katolik, gereja Protestan, kuil atau pura bagi umat Buddha dan Hindu, kompleks yang lebih kecil jarang memberikan fasilitas untuk semua agama yang diakui, sebagian karena tak ada pemeluk agama minoritas di tempat tersebut.

Kelompok agama dan organisasi sosial harus memperoleh izin untuk menyelenggarakan pertemuan besar keagamaan atau acara publik lainnya. Izin biasanya diberikan dalam cara yang tidak bias, kecuali ada kekhawatiran bahwa kegiatan itu akan menyulut amarah umat agama lain yang tinggal di area tersebut.

Khotbah keagamaan diperbolehkan tertuju kepada umat agama lain sepanjang mereka tidak dimaksudkan untuk mengajak orang berpindah agama. Meskipun begitu, program keagamaan televisi tidak dilarang, dan para pemirsa bisa melihat program keagamaan yang diselenggarakan oleh agama-agama yang diakui. Selain program Muslim yang banyak, mulai ceramah agama hingga acara bincang-bincang mengenai masalah keluarga, ada banyak program Kristen, termasuk program yang menampilkan para penginjil, dan juga program Hindu dan Buddha. Penceramah Islam yang sering tampil di televisi Abdullah Gymnastiar, yang populer dipanggil Aa Gym, menyebut punya 80 juta penonton sepanjang periode pelaporan ini. Seorang penceramah terkenal lain yang sering tampil di televisi, Zainuddin MZ, mendirikan sebuah partai politik.

Beberapa hari keagamaan Muslim, Kristen, Hindu, dan Buddha dirayakan sebagai hari libur nasional. Hari keagamaan Muslim yang dirayakan sepanjang periode yang diliput laporan ini termasuk Isra Mi’raj (4 Oktober), Idul Fitri (6 dan 7 Desember), Idul Adha (12 Februari), Tahun Baru Hijriah (3 Maret), dan Maulid Nabi (15 Mei). Hari raya Kristen yang merupakan libur nasional adalah hari Natal (25 Desember), Paskah (18 April), dan Kenaikkan Isa Al-Masih (30 Mei). Tiga hari libur nasional yang lain adalah hari raya Hindu Nyepi (2 April), hari raya Buddha Waisak (16 Mei), dan Tahun Baru Imlek (1 Februari), yang dirayakan oleh para penganut Khonghucu dan kalangan Cina lainnya. Di Bali, semua hari suci Hindu menjadi hari libur daerah, sehingga pegawai negeri dan yang lainnya tidak perlu bekerja di hari Saraswati, Galungan, dan Kuningan.

Sejumlah pejabat pemerintah serta para pemimpin agama dan politik terlibat dalam atau mendukung kelompok antariman, termasuk Masyarakat Dialog Antariman (MADIA), Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia (GANDI), Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Indonesian Committee on Religion and Peace (singkatannya ICRP juga), Institute for Interfaith Dialog (Interfidei), dan Solidaritas Nusa Bangsa.

Pembatasan terhadap Kebebasan Beragama

Selama periode yang tercakup dalam laporan ini, beberapa kebijakan, undang-undang, dan tindakan pejabat membatasi kebebasan beragama, serta polisi dan militer kadang-kadang membiarkan diskriminasi dan penyerangan terhadap kelompok agama oleh orang-orang yang bergerak sendiri.

Mengingat sila pertama dari dasar negara Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, ateisme dilarang; meskipun begitu tak ada laporan represi terhadap kalangan ateis.

Pemerintah mengharuskan semua siswa sekolah dasar dan menengah pertama menempuh pelajaran agama yang diterapkan dalam cara yang membatasi kebebasan beragama. Para siswa bebas untuk memilih dari lima ajaran agama, Islam, Katolik, Protestan, Buddha, dan Hindu, namun sistem ini tidak mengakomodasi pemeluk agama lain. Lebih lanjut, banyak pemeluk muda dari lima agama yang diakui tidak menerima pendidikan yang sesuai dengan keyakinan mereka karena dalam prakteknya hanya sedikit sekolah yang menyelenggarakan semua pelajaran untuk lima agama dan banyak yang hanya menyelenggarakan satu pelajaran. Akibatnya, seorang siswa sekolah beragama Buddha di Jawa Barat yang didominasi kaum Muslim, misalnya, mungkin harus menerima pengajaran agama Islam. Di sejumlah kasus, sebuah sekolah yang bersimpati mungkin akan mengizinkan si anak tidak mengikuti kelas tanpa sanksi akademis. Beberapa sekolah bahkan akan mencari seorang sukarelawan Buddha dari komunitas setempat untuk memberikan pelajaran agama. Banyak orang tua anak-anak dari agama minoritas menyesalkan bagaimana anak-anak mereka diindoktrinasi. Para pendukung RUU Pendidikan, yang disetujui anggota parlemen pada 11 Juni (lihat Bagian II, Kerangka Kerja Hukum/Kebijakan), menyatakan bahwa peraturan ini akan memecahkan masalah ini. Meskipun begitu, RUU ini, yang menyatakan bahwa setiap siswa berhak untuk menerima pelajaran agama oleh guru yang beragama yang sama, menciptakan keprihatinan luas bahwa kebebasan beragama selanjutnya akan lebih dibatasi lagi di bidang pendidikan.

Saksi Jehovah menyatakan bahwa sekalipun mereka menikmati kebebasan beragama dalam derajat yang tinggi, ada insiden-insiden di mana anak-anak mereka menemui kesulitan di sekolah saat tidak ikut upacara bendera mingguan.

Pemerintah masih melarang kebebasan beragama dari kelompok-kelompok Islam mesianik. Larangan resmi terhadap kegiatan kelompok Jamaah Salamullah, Ahmadiyah, dan Darul Arqam masih berlaku, berdasarkan fatwa tahun 1994 yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Meskipun begitu, pemerintah tidak mengambil langkah apa pun untuk memberlakukan larangan ini sehingga kelompok-kelompok ini tetap beroperasi dengan membentuk perusahaan-perusahaan yang mendistribusikan makanan halal.

Kelompok-kelompok agama garis keras makin meningkatkan penggunaan tekanan, intimidasi, atau kekerasan untuk membungkam suara pihak yang mereka nilai menentang. Di bulan Agustus 2002, Majelis Mujahiddin Indonesia menuntut sebuah stasiun televisi swasta untuk menghentikan penayangan iklan yang menampilkan kata-kata “Islam Warna-Warni,” yang bermaksud mempromosikan toleransi dan keberagaman. Kelompok ini menyatakan iklan ini menghina Islam.

Pada bulan Desember 2002, Forum Ulama dan Umat Islam Indonesia meminta polisi menyidik cendekiawan Islam terkemuka Ulil Abshar-Abdalla, karena menulis sebuah artikel yang menyarankan tafsir doktrin Islam yang tidak sekadar literal. Artikel ini menyatakan beberapa aspek Syariah, seperti potong tangan bagi pencuri, mungkin tak bisa diterapkan dalam budaya dan abad ini. Forum Ulama Umat Indonesia yang berbasis di Bandung, sebuah kelompok yang terdiri dari para ulama, menyebut artikel itu menghina Islam. Mereka berkata bahwa menurut Islam, seorang yang menghina Islam harus dihukum mati. Meskipun begitu, polisi tidak menangkap Ulil, dan para ulama tersebut selanjutnya mementahkan pernyataan itu sendiri, dengan mengatakan mereka tidak bermaksud bahwa Ulil harus dihukum mati.

Pemerintah masih membatasi pembangunan dan pertambahan rumah ibadah, dan mempertahankan larangan penggunaan rumah pribadi untuk peribadahan kecuali komunitas setempat menyetujui dan kantor Departemen Agama di daerah itu memberikan izin. Beberapa umat Protestan mengeluh bahwa persetujuan masyarakat sulit didapat. Bahkan di beberapa daerah, jika masyarakat menyetujui pembangunan gereja baru, aktivis kelompok Muslim yang diduga dari luar tempat itu datang dengan daftar panjang tanda tangan yang menolak proyek itu, dan izin selanjutnya ditangguhkan. Beberapa penganut agama minoritas, terutama Kristen, mengeluh bahwa pemerintah pilih kasih kepada kaum Muslim dalam hal pembangunan rumah ibadah. Selain itu, pemerintah menyatakan secara rutin menerima keluhan dari Muslim di Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan provinsi-provinsi lain, yang melaporkan kesulitan yang ditemui dalam pendirian masjid di wilayah-wilayah itu.

Pemerintah melarang penyebarluasan agama oleh agama-agama yang diakui berdasar anggapan kegiatan semacam ini, terutama di daerah-daerah yang didominasi agama lain yang diakui, berpotensial menimbulkan kerusuhan. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri di tahun 1979 masih berlaku, yang melarang pemeluk satu agama mencoba mengubah keyakinan umat agama lain, termasuk melalui suap, bujuk rayu, atau distribusi materi keagamaan. Penyebarluasan dari pintu ke pintu juga masih dilarang. Meskipun begitu, hukum negara ini memperbolehkan orang berganti agama, dan pergantian semacam ini memang terjadi (Lihat Bagian II, Kerangka Kerja Hukum/Kebijakan).

Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan izin dari Departemen Agama untuk memberikan bantuan dalam bentuk apa pun (ajaran, personel, dan keuangan) kepada kelompok keagamaan di negara ini. Sekalipun pemerintah biasanya mengabaikan persyaratan ini, beberapa kelompok Kristen menyatakan bahwa pemerintah lebih sering menerapkannya kepada kelompok minoritas daripada kelompok Islam yang besar.

Misionaris asing diharuskan memegang visa bekerja, yang disebut sulit didapatkan atau diperpanjang. Misionaris asing yang diberi visa semacam ini relatif bisa bekerja tanpa tekanan, sekalipun ada pembatasan yang diberlakukan di area-area konflik. Meskipun begitu, untuk mendapatkan visa semacam ini pemerintah mengharuskan pemohon menyerahkan: surat dari sponsor si pemohon; surat dari Kedutaan Besar Indonesia di negara si pemohon yang memperbolehkan yang bersangkutan mendapatkan visa tinggal sementara; sebuah resume; bukti yang memperlihatkan bahwa si pemohon punya keterampilan yang tidak bisa dilakukan warga negara Indonesia; sebuah surat persetujuan dari kepala dinas Departemen Agama provinsi; surat dukungan dari Direktorat Jenderal Departemen Agama; surat dari lembaga keagamaan yang menerima yang menyatakan bahwa si pemohon tak akan bekerja lebih dari dua tahun di negara ini sebelum digantikan warga lokal; informasi statistik tentang jumlah pemeluk agama yang bersangkutan di komunitas; dan bagi mereka yang ingin memperpanjang Kartu Izin Tinggal Sementara harus ada izin dari pejabat keamanan setempat; dan persetujuan tertulis dari Kantor Dinas Provinsi atau Kotamadya/Kabupaten Departemen Agama, setelah berkonsultasi dengan pejabat pemerintah lokal. Meskipun begitu, banyak misionaris yang bekerja tanpa visa semacam ini.

Tak ada larangan terhadap penerbitan materi-materi keagamaan, dan buku-buku agama bisa dicetak dan simbol-simbol keagamaan bisa digunakan. Meskipun begitu, penyebaran materi semacam ini ke pemeluk agama lain dilarang. Tak ada laporan yang menyebutkan pemerintah melarang buku-buku karena isi keagamaannya selama periode pelaporan ini. Namun, ada laporan yang belum diverifikasi bahwa kalangan Muslim dan Kristen radikal telah mengedarkan salinan Alquran dan Injil palsu yang berisi ayat-ayat yang tidak akurat dan bersifat menistakan.

Sistem pencatatan sipil masih secara keras membatasi kebebasan beragama bagi orang-orang yang agamanya bukanlah salah satu dari lima agama yang diakui resmi oleh pemeritah. Kaum animis, Khonghucu, pemeluk Baha’i, dan yang lainnya – termasuk banyak orang keturunan Cina, terlepas dari agama mereka – menemui kesulitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pemerintah mewajibkan warga negara membawa sebuah KTP, yang mencantumkan agama pemegangnya. Pemerintah mengharuskan sebuah KTP mencantumkan status perkawinan, cerai, dan kelahiran. Beberapa petugas serta merta menolak penganut agama minoritas mendapatkan sebuah KTP, sementara yang lain mengeluarkan KTP yang tidak secara akurat mencantumkan agama yang dipeluk si pemegang kartu. Misalnya, banyak animis yang memperoleh KTP mendapati agama mereka yang dicantumkan di KTP adalah Islam. Pada bulan November 2002, petugas di Surabaya melaporkan ke polisi seorang pemeluk Khonghucu bernama Anly Cenggana yang bersikeras bahwa ia menerima sebuah KTP yang salah mencantumkan agamanya. Para petugas berkata bahwa Cenggana telah “memaksa” staf kelurahan untuk mengeluarkan sebuah KTP dengan sebuah kolom khusus. Pemerintah Surabaya lantas membatalkan kartu itu, dengan menyebut adanya “kesalahan ketik.” Dalam kejadian yang terpisah, dilaporkan bahwa Bingky Irawan, Ketua Majelis Khonghucu Indonesia Surabaya, tak bisa mendapatkan KTP yang akurat. Kartu yang dikeluarkan untuknya mencantumkan Islam sebagai agamanya. Para pemimpin sejumlah kelompok agama menyatakan bahwa Islam adalah kategori bagi “agama yang tidak diakui”, dan karenanya mencerminkan sebuah upaya sistematis pemerintah untuk melebih-lebihkan jumlah warga Muslim dan mengurangi hitungan umat lain. Beberapa warga yang tak bisa mendapatkan KTP dalam jenis apa pun menemui kesulitan saat mencari kerja. Meskipun begitu, korupsi yang telah menyebar di pemerintahan memungkinkan banyak pencari KTP mendapatkan kartu yang sesuai dengan keinginan mereka.

Laki-laki dan wanita dari agama yang berlainan mendapat hambatan besar untuk menikah dan secara resmi mendaftarkan pernikahan mereka. Menurut kelompok antariman, sangatlah sulit untuk mendapatkan pemuka agama yang bersedia memimpin upacara pernikahan antaragama dan mendaftarkan pernikahan semacam ini ke pemerintah. Akibatnya, beberapa orang pindah agama – kadang-kadang secara superfisial – agar bisa menikah. Yang lainnya pergi ke luar negeri, di mana mereka menikah dan mendaftarkan pernikahan mereka di Kedutaan Besar Indonesia. Selain itu, meskipun merupakan salah satu di antara agama yang diakui secara resmi, umat Hindu menyatakan bahwa mereka sering harus bepergian jauh untuk bisa mendaftarkan pernikahan mereka karena di banyak daerah pedesaan pemerintah setempat tak bisa atau tak mau mencatatnya.

Banyak dari komunitas keagamaan yang mengalami diskriminasi dalam pendaftaran pernikahan, juga menjumpai kesulitan dalam pendaftaran kelahiran anak-anak mereka. Para pemeluk Khonghucu menemui kesulitan khususnya dalam mendapatkan akte kelahiran. Menurut MATAKIN, sebuah kelompok advokasi Khonghucu, kelahiran dari seorang wanita Khonghucu dicatat di Kantor Catatan Sipil sebagai anak di luar nikah. Hanya nama ibunya yang dicatat, sementara ayahnya tidak, sehingga menimbulkan rasa malu dan terhina.

Beberapa kelompok meminta pemerintah menghilangkan kategori agama dari KTP, termasuk kelompok Buddha KASI, yang menyampaikan masalah ini pada anggota parlemen dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah pergerakan mahasiswa Islam di bawah NU. Meskipun begitu, tak ada kemajuan berarti yang berhasil diraih kelompok ini selama periode laporan ini. Kalangan aktivis mencatat adanya resistensi birokrasi untuk berubah, dan menyatakan bahwa mayoritas Muslim melihat persyaratan itu tak perlu dicabut.

Pegawai negeri harus mengikrarkan kesetiaan mereka kepada negara dan ideologi negara, Pancasila,yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di dalam Angkatan Bersenjata, ada sedikit pembatasan dalam kebebasan beragama selama periode laporan ini. Perwakilan berdasarkan agama-etnis di korps perwira jenderal biasanya proporsional dengan agama yang dianut mayoritas penduduk: Muslim Jawa (kelompok etnik tunggal terbesar) mendominasi, namun umat Kristen juga sangat terwakili di jajaran jenderal (boleh jadi mencerminkan standar pendidikan yang biasanya lebih tinggi di antara komunitas-komunitas Kristen). Beberapa orang menuduh bahwa promosi untuk pangkat paling tinggi bagi pemeluk Kristen dan minoritas lain dihalangi oleh “pembatas kaca” yang tak kasat mata. Meskipun begitu, sedikit saja bukti yang mendukung pernyataan ini. Seorang pemeluk Kristen kini menjabat Kepala Staf Angkatan Laut, dan seorang Kristen di masa lalu menjabat sebaga Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia. Selain itu ada perwira-perwira Hindu yang berpangkat tinggi di TNI.

Undang-Undang tak melakukan diskriminasi terhadap kelompok agama manapun dalam lapangan kerja, pendidikan, perumahan, atau perawatan kesehatan; namun, beberapa kelompok minoritas menuduh bahwa dalam kenyataannya ada diskriminasi yang membatasi akses mereka untuk meraih jabatan puncak di pemerintah dan posisi di universitas negeri.

Di Provinsi Aceh, ada kekhawatiran setelah dibentuknya pengadilan hukum Islam (Syariah) pada 3 Maret, menyusul keluarnya Keputusan Presiden pemerintah pusat yang memerintahkan hal ini (lihat Bagian II, Kerangka Kerja Hukum/Kebijakan). Sejumlah warga khawatir Syariah akan diterapkan kepada non-Muslim atau orang Aceh yang tinggal di luar provinsi. Yang lain, termasuk kalangan Muslim, menyatakan keprihatinan bahwa lembaga penegakan hukum akan menggunakan kekuasaan baru untuk mencampuri urusan pribadi, termasuk memaksa orang mengenakan “busana Islami”. Namun, sampai akhir periode laporan ini dibuat, tak ada bukti bahwa para pejabat yang berwenang telah menerapkan aspek apa pun dalam Syariah kepada non-Muslim, atau menghukum Muslim yang melanggar aturan berpakaian ini. Meskipun begitu, tetap ada keprihatinan mendalam di kalangan Muslim arus utama, Kristen, Buddha, Hindu, dan yang lain bahwa penerapan Syariah, sekalipun cuma di satu tempat, akan menggerogoti tradisi negara ini yang berkenaan dengan toleransi dan kemajemukan.

Sejumlah kecil kelompok Islam fundamentalis meminta penerapan Syariah secara nasional dengan menambahkan sebuah kalimat ke UUD yang menyatakan “kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluknya” – yang disebut dengan Piagam Jakarta. Debat mengenai ketentuan ini sudah dimulai sejak pendirian negara di tahun 1945. Di antara yang menolak perubahan Undang-Undang Dasar selama periode pelaporan ini adalah dua organisasi sosial Muslim terbesar, NU dan Muhammadiyah, serta organisasi Kristen, Buddha, Khonghucu, dan Hindu.

Para pemimpin lokal di daerah-daerah yang didominasi Muslim memperkenalkan praktek hukum Islam yang lebih keras selama periode pelaporan ini. Di Kabupaten Pamekasan di Pulau Madura, di seberang pantai Jawa Timur, bupatinya di bulan November 2002 mengeluarkan peraturan mengenai pakaian Muslim, menyisihkan waktu bagi pekerja untuk bisa salat berjamaah, dan menyelenggarakan program kesadaran agama bulanan. Hal ini diikuti penerapan kebijakan serupa

di Kabupaten Maros, Sinjai, dan Gowa di Sulawesi Selatan; dan Kabupaten Cianjur, Indramayu, dan Garut di Jawa Barat. Indramayu adalah sumber pelacuran di daerah itu, dan punya angka perceraian dan anak tidak sah yang tinggi.

Para pejabat setempat menegakkan kampanye moral dan mewajibkan pegawai pemerintah untuk menyisihkan waktu 30 menit sebelum memulai kerja mereka untuk membaca ayat-ayat suci Alquran. Para cendekiawan Muslim mencatat bahwa dalam banyak kasus, peraturan daerah ini diterapkan sebagai tanggapan atas permintaan penduduk yang kecewa dengan tingginya angka kejahatan dan melihat peraturan yang lebih keras sebagai cara untuk mengatasi masalah ini. Laporan dari Sulawesi Selatan mengindikasikan bahwa angka kejahatan nyata-nyata turun tajam menyusul pengenalan praktek Islam yang lebih keras. Meskipun begitu, ada tentangan yang kuat terhadap kebijakan ini. Sejumlah pakar hukum memperingatkan bahwa peraturan ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar negara ini, sementara beberapa penduduk, baik Muslim ataupun non-Muslim, mengeluh bahwa pemerintah telah mencampuri kehidupan pribadi warga.

Di Bali yang mayoritasnya Hindu, sebuah sekolah di ibukota provinsi melarang pemakaian kerudung dan jilbab, membuat beberapa Muslim mengeluh kebebasan beragama mereka telah dilanggar. Sekolah yang bermasalah itu, Sekolah Menengah Pertama Negeri, menyatakan bahwa seluruh 774 siswanya, termasuk 84 orang yang Muslim, harus mematuhi aturan sekolah, dan aturan ini melarang penggunaan kerudung atau penutup kepala.

Di tahun 2002, sebelum bulan puasa Ramadan, Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan peraturan yang melarang kelab-kelab malam dan arena ketangkasan tertentu untuk beroperasi selama Ramadan. Tempat-tempat yang menyajikan musik hidup diperintahkan tutup pada pukul setengah satu pagi. Para pemimpin daerah mengeluarkan perintah serupa di Surabaya dan kota-kota lain. Sekalipun penerapan perintah ini lunak, sejumlah pemeluk agama minoritas dan bahkan sejumlah Muslim mengeluhkan pelarangan ini.

Hukum pernikahan bagi Muslim berdasarkan Syariah dan memperbolehkan laki-laki memiliki istri sampai empat jika si suami bisa berlaku adil. Bagi seseorang yang ingin mengambil istri kedua, ketiga, dan keempat, ia harus mendapatkan izin pengadilan dan persetujuan dari istri pertama. Meskipun begitu, para wanita dilaporkan sulit untuk menolak. Selama periode pelaporan ini, kelompok-kelompok wanita Islam bersilang pendapat mengenai apakah hukum perkawinan negara untuk Muslim seharusnya diubah. Dalam kasus-kasus perceraian, para wanita sering memikul beban pembuktian yang lebih berat daripada laki-laki sebelum tuntutan perceraiannya bisa dikabulkan, terutama di sistem persidangan masalah keluarga yang berlandaskan Islam, yang jumlahnya lebih dari 300 pengadilan di seluruh negeri. Hukum mengharuskan pengadilan mewajibkan bekas suami memberikan tunjangan atau yang sejenisnya, namun tak ada hukum yang mengatur pembayaran tunjangan ini, dan wanita yang bercerai jarang menerima tunjangan semacam ini.

Penyerangan terhadap Kebebasan Beragama

Sekalipun pemerintah melakukan upaya signifikan untuk mengurangi kekerasan antaragama, kekerasan semacam ini terjadi selama periode pelaporan ini, kadang-kadang dengan keterlibatan pejabat. Selain itu, pemerintah dalam banyak kesempatan gagal menghukum para pelaku penyerangan dan mencegah serangan lebih lanjut. Pemerintah dari waktu ke waktu juga mentolerir penyerangan terhadap kebebasan beragama oleh kelompok-kelompok pribadi.

Pada 12 Oktober 2002, pengeboman dua kelab malam yang waktunya hampir bersamaan

di Kuta, Bali, menewaskan sekurangnya 202 orang dan melukai ratusan lainnya. Pengeboman

dilakukan atas nama agama oleh anggota Jemaah Islamiyah (JI), sebuah organisasi teroris yang bercita-cita menciptakan negara Pan-Islam Asia Tenggara. Pemerintah menanggapi serangan ini dengan menangkap sekurangnya 32 orang dan mulai menuntut paling tidak 19 orang dari mereka. Pemerintah juga mengungkap indikasi kuat bahwa anggota JI terlibat dalam belasan serangan teroris di tahun-tahun sebelumnya, termasuk pengeboman gereja-gereja di berbagai daerah di Indonesia di malam Natal 2000 yang menewaskan 19 orang. Pemerintah mendakwa pimpinan JI, Abu Bakar Ba’asyir, melakukan makar dengan mendalangi pengeboman malam Natal. Persidangan Ba’asyir yang dimulai pada bulan April di Jakarta, masih berlangsung sampai akhir periode pelaporan ini.

Daerah Maluku dan Sulawesi tengah mengalami sekian episode kekerasan antaragama dan antaretnis selama periode yang tercakup dalam laporan ini, sekalipun pada tingkat yang jauh lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya. Di Maluku, Sulawesi Tengah, Papua, dan Kalimantan, ketegangan ekonomi antara penduduk pribumi atau lokal (yang didominasi non-Muslim) dan pendatang yang baru saja tiba (didominasi Muslim), yang dilihat oleh penduduk asli lebih unggul secara ekonomi, merupakan faktor penting dalam insiden-insiden kekerasan antaragama dan antaretnis.

Di Maluku, tempat tinggal bagi banyak umat Muslim dan Kristen, paling tidak 30 orang terbunuh dan 282 ribu masih di pengungsian karena kekerasan yang terjadi selama periode pelaporan ini. Pada 27 Juli 2002, di Ambon 53 orang terluka ketika sebuah bom yang disembunyikan di gerobak dorong meledak di tengah pasar yang penuh dengan orang belanja di lingkungan Kristen. Pada 5 September 2002, tiga wanita muda tewas setelah sebuah bom meledak di dekat lapangan olahraga yang digunakan komunitas Muslim dan Kristen yang bermusuhan di kota itu. Pada bulan Januari seorang pengacara bagi para anggota Coker (geng Ambon Kristen) yang ditahan, menyatakan bahwa anggota geng telah mengaku melakukan banyak pengeboman di Ambon antara tahun 2000 dan 2002, termasuk serangan ke sasaran-sasaran Kristen.

BAGIKAN: