Nasib reyog Ponorogo rupanya tak pernah sepi diperebutkan dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan di luar kesenian itu sendiri. Apa yang terjadi sepuluh tahun terakhir dimana Islam, abangan, dan birokrasi terlibat di dalamnya adalah episode yang kesekian kalinya, di samping perebutan secara terus menerus oleh berbagai kelompok social masyarakat Ponorogo sendiri dalam pengertian yang terbatas. Liputan ini hendak menelusur perebutan itu, untuk apa, bagaimana prosesnya, dan apa implikasinya..