Dalam sebuah sarasehan budaya Betawi, kira-kira empat tahun lalu, seorang tokoh Betawi tiba-tiba menginterupsi pernyataan seorang ilmuwan ketika menyebut kata “Betawi Pinggir”. “Siapa bilang ada Betawi Pinggir atau Betawi Udik, Betawi Tengah. Itu warisan colonial yang mau memecah belah kita. Betawi itu ya satu,”kata sang tokoh Betawi itu mengungkapkan penolakannya atas pengkategorian yang dibuat sang ilmuwan itu.
Ya, sang ilmuwan itu bernama Yasmine Syahab, seorang antropolog lulusan University of London yang pada tahun 1994 menyelesaikan disertasi doktoralnya dengan judul The Creation of Ethnic Tradition: The Betawi of Jakarta. Dalam disertasinya itu, ia mengelompokkan etnis Betawi ke dalam beberapa komunitas: Betawi Kota, Betawi Tengah, Betawi Pinggir dan Betawi Udik. Kata Yasmine kategori itu dibuat tidak secara sembarangan, melainkan diambil dari pandangan masyarakat Betawi sendiri yang menyebut sesame mereka lainnya baik sadar maupun secara tidak sadar dengan sebutan-sebutan seperti itu. Bahkan lanjut Yasmine, kalau dilihat asal-usul keturunan dan agamanya, masyarakat Betawi juga sangat beragam ada Betawi Bangsawan, Betawi Cina, Betawi arab, Betawi Kristen, dan Betawi Baru…
…Tapi sayangnya, meski berusaha memaparkan kondisi sosio-kultural kaum Betawi, gambaran yang dihadirkan itu tetap menyimpan bias-bias yang tidak bisa dielakkan. Betawi Pinggir atau Betawi Udik, misalnya, direpresentasikan sebagai subkultur Betawi yang pendidikannya rendah, di samping secara cultural banyak dipengaruhi kebudayaan Sunda dan tingkat keislamannya yang rendah. Sementara kelompok Betawi Tengah digambarkan berpendidikan dan bercorak Islam dan Melayu dan lebih menganggap dirinya lebih merepresentasikan identitas kebetawian daripada kaum Betawi Pinggir. Akibat stereotip semacam inilah rupanya kaum Betawi Pinggir tidak cukup memiliki peran dalam perumusan identitas kebetawian karena dianggap rendah baik secara social maupun ekonomi…