Tema kesenian rakyat memang merupak sesuatu yang sudah sangat sering dikaji. Di sejumlah majalah dan jurnal-juga buku-persoalan ini seolah sudah dikupas tuntas hingga ke akar-akarnya. Namun bukan soal latah jika pada edisi kali ini Desantara juga mengangkat tema yang sama : Sebuah kesenian rakyat bernama lengger.
Kendati telah banyak diulas –tanpa hendak mengatakan bahwa ini kajian baru-sajian edisi ini menawarkan paparan yang mengungkapkan gambaran besar tentang kebijakan-kebijakan kebudayaan serta berbagai problem yang ada di sekitarnya. Lengger, sebagaimana kesenian sejenis di tempat lain seperti tayub, tledek, cokek, dan lain-lain, tidak bisa menghindar dari gempuran pencitraan. Selain dengan gegabah kerap dilekatkan dengan ideology haram-komunisme-kesenian semacam ini dianggap sebagai tontonan yang tidak patut dan tidak bermoral.
Dengan alasan itu maka kesenian milik masyarakat petani itu harus disesuaikan, dipoles, dipermak dan dibingkai menurut selera Negara (dan atau agama). Liputan Utama edisi ini akan mengulas secara panjang lebar mengenai persoalan ini. Untuk mempertajam pemaparan, kami sajikan juga wawancara khusus dengan budayawan local Banyumas.